Hakikatnya, kadar kesulitan yang menimpa setiap orang pasti setara dengan kesanggupannya. Adanya kesulitan bukan untuk menyulitkan, tetapi untuk memelihara kelestarian dan kesadaran hidup manusia itu sendiri. Jangan cepat-cepat berburuk sangka kepada Allah Swt. Banyak hal yang harus kita pahami dari persoalan kesulitan ini.
Memahami karakter kesulitan dalam kacamata yang benar, insyaallah akan cukup meringankan kita dalam menyikapi kesulitan itu sendiri. Kegentaran hanya akan melahirkan pribadi-pribadi lemah yang akan digilas oleh kerasnya perputaran zaman. Semua manusia yang hidup di dunia ini pasti akan menemui kesulitan dalam hidupnya. Allah Swt. berfirman:
وَلَـنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَـوْفِ وَالْجُـوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِ ۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155).
Kita tidak perlu berangan akan dibebaskan dari kesulitan sama sekali. Sebab, kenyataannya semua orang telah memiliki jatah agenda kesulitan sendiri-sendiri. Karena kesulitan adalah sunnatullah, yaitu suatu hukum yang telah Allah tetapkan secara permanen. Mau atau tidak mau, suka atau terpaksa, manusia pasti akan berhadapan dengan kesulitan selama masih hidup di dunia. Karena Allah Swt. telah menetapkan sebagai bagian dari liku-liku hidup manusia, dan cepat atau lambat ujian pasti akan datang.
Tentu saja, di balik setiap kesulitan ada karunia kemudahan. Semua orang tentu ingin mengejar kemudahan. Islam mengajarkan, letaknya kemudahan itu ada di balik kesulitan. Dengan demikian, jika ingin mengejar kemudahan, kita harus berani menyongsong kesulitan. Bagi mereka yang mendapatkan ujian kesulitan hidup, hendaknya menjadikan kesabaran sebagai hiasan kehidupannya.
Tak hanya itu, bagi mereka yang diberi kemudahan dan kesejahteraan hidup, hendaknya mampu menunjukkan keteladanan nyata sebagaimana Rasulullah Saw. dan para sahabat contohkan, yaitu kemauan untuk berbagi dengan sesama, kepedulian, dan tolong-menolong, serta membantu orang-orang sekitar yang berada di bawah garis kemiskinan.
Jangan dilupakan, kesadaran bahwa yang dimiliki sekarang dalam wujud kekayaan atau lainnya, sejatinya hanya titipan belaka. Itu artinya, jika Yang Maha Memiliki mengambilnya, tidak akan merasa kehilangan sedikit pun karena hanya titipan. Kapan saja Sang Pemilik berkehendak akan menarik dan mencabutnya. Tentu, kesiapan dalam bentuk yang demikian ini agak sulit dipraktikkan oleh mereka yang merasa memiliki segalanya.
Salah satu kesulitan yang dilewati oleh orang cerdas adalah kesulitan ketika berbasa-basi. Ini dikarenakan orang cerdas ingin membicarakan berbagai hal besar, seperti ilmu pengetahuan, seni, dan filosofi yang jarang ditemui ketika berbasa-basi.
Kebiasaan-kebiasaan ini membuat orang cerdas sering kesulitan bersosialisasi, karena hanya ingin berbicara tentang hal yang penting saja. Orang cerdas memiliki pemikiran mencari sebuah solusi, maka akan banyak proses berpikir dalam otaknya dibanding harus berbicara. Hal ini tercermin juga kebiasaan mereka yang lebih sulit berbicara.
Kenapa demikian? Karena mereka hanya ingin menyampaikan berbagai fakta yang telah didapatkan dibanding kebohongan atau perbincangan tanpa makna. Maka dari itu, perlu kita pahami bahwa hakikat kehidupan dunia hanyalah ladang akhirat untuk mempersiapkan kehidupan yang abadi dan juga hanya sekedar permainan dan senda gurau (sebagaimana sudah dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Hadid [57]: 20).
Maka bisa dimengerti kenapa kita sebagai muslim yang meyakini kebenaran semua informasi yang datang dari Allah Swt. harus mengisi kehidupan ini sesuai dengan ajaran Islam. Karena hanya orang-orang yang hidup di dunia ini di bawah tuntutan dan petunjuk agama sajalah yang akan mendapat ampunan Allah Swt. dan keridhaan-Nya di akhirat kelak. Selain itu akan mendapatkan azab yang keras dari-Nya.
Sekurang-kurangnya, hemat penulis, jika manusia ingin terhindar dari kehidupan yang bernuansa permainan, perhiasan, senda gurau dan sikap berbangga-bangga yang merupakan perbuatan sia-sia dari perbuatan setan, maka ada 4 hal yang harus diperhatikan.
Pertama, Islam mengajarkan manusia hidup untuk ibadah. Artinya, manusia dalam gaya hidupnya secara umum ada tiga macam yakni, Islam, kafir, dan munafik. Adapun gaya hidupnya Islam yang sesungguhnya adalah makan untuk hidup, hidup untuk beribadah, beribadah untuk hidup selama-lamanya di akhirat.
Sedangkan orang-orang kafir sebaliknya. Artinya, gaya hidup mereka sama saja dengan
kehidupan hewani. Kemudian gaya hidup orang-orang munafik pada kenyataannya suka berbohong, suka memberi janji tapi ingkar janji, diberi kepercayaan dia khianat. Allah Swt. berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat [51]: 56).
Akan tetapi, ibadah yang dimaksudkan dalam ayat ini bukanlah semata-mata berbentuk kegiatan ritual saja, karena ibadah dalam Islam maknanya sangat luas melainkan terkait dengan semua kegiatan hidup manusia sehari-hari yang diridai oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya. Maka dari itu, sebelum melakukan aktivitas, sangatlah dianjurkan untuk memulai dengan “Basmalah” agar menjadi nilai ibadah disisi-Nya, sekaligus untuk mendapatkan keberkahan hidup dalam segala aktivitasnya. Jadi, intinya ibadah kepada Allah Swt. adalah menjalin hubungan dengan baik kepada Sang Khaliq.
Kedua, menjalin hubungan yang baik dengan Allah Swt. Kita tahu, hubungan hamba kepada Allah Swt. merupakan suatu keharusan mutlak bagi semua manusia dan lebih khusus kepada umat muslim, sehingga setiap muslim akan merasa dekat dengan-Nya. Bila hubungan itu sudah terasa dekat, maka dimana pun dia berada, kemana pun dia pergi dan bagaimana pun situasi dan kondisi yang dihadapinya, seorang muslim akan selalu merasa diawasi oleh Allah Swt.
Kalau perasaan ini sudah tertanam pada jiwa manusia, maka dia tentu tidak berani menyimpang dari jalan Allah Swt. Adapun cara untuk menjalin hubungan dengan Allah Swt., yaitu mengintensifkan zikrullah dimanapun berada, karena dengan membaca kalimat tauhid tersebut kita akan selalu terawasi.
Lebih dari itu, kedudukan ingatan hamba kepada Allah berbeda dengan ingatan Allah kepada hamba-Nya. Ingatan hamba kepada Allah adalah “ibadah”. Sedangkan ingatan Allah kepada hamba adalah “limpahan rahmat dan ampunan-Nya”. Apabila ingatan itu sudah dimiliki hamba, maka dia pun sudah memiliki hakikatnya (keberkahan hidup di dunia).
Selanjutnya, kedudukan syukur kepada Allah Swt., adalah “ibadah juga kepada-Nya”. Maksudnya, kita diberikan fasilitas oleh Allah Swt. berupa harta, jabatan dan lainnya, itu semata-mata untuk dipakai beribadah kepada-Nya. Lalu ibadah yang dilakukan selama ini, hakikatnya adalah persiapan kehidupan kita di akhirat kelak.
Ketiga, menjalin hubungan yang baik kepada sesama manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri-sendiri. Setiap manusia pasti membutuhkan kepada manusia lainnya. Maka dari itu, manusia harus menjalin komunikasi yang intens dan hubungan yang baik antara sesamanya.
Islam melarang manusia saling bermusuhan, mengadu domba, memfitnah, menggunjing, mencaci maki, mengupat dan membuka aib saudaranya sampai pada iri hati, dengki dan lain lain yang merupakan aktivitas hati. Sebaliknya, manusia diharuskan agar senantiasa berbuat baik antara sesama, menjalin persaudaraan, menjaga persatuan dan kesatuan, saling tolong menolong dalam kebaikan, sayang-menyayangi, bahu-membahu, saling memberikan hadiah.
Keempat, berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada Tuhan yang satu (Allah Swt), mengikuti nabi yang satu (Nabi Muhammad Saw), berkiblat yang satu (Ka’bah), berpedoman kepada kitab yang satu, yakni al-Qur’an, dan Hadis sebagai penjelas dari al-Qur’an.
Jika hal ini dipahami oleh semua umat Islam, maka umat Islam tidak mudah di adu domba oleh umat-umat yang lain. Juga, jika keempat elemen tersebut diaplikasikan dalam kehidupan, maka akan tercipta kelestarian dan kesadaran dalam rangka memaknai kehidupan. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Leave a Review