Dalam berbagai kesempatan kehidupan sehari-hari kita biasa memberikan penilaian atas bahasa yang dipakai. Acap kali kita yang menilai bahasa orang, ada pula saatnya bahasa kita yang dinilai orang. Apapun label penilaian yang diberikan atau diperoleh atas bahasa yang dipakai seseorang pada dasarnya berkisar pada dua nilai saja: tepat (correct) atau tidak tepat (incorrect). Di sini bahasa diartikan sebagai media komunikasi. Jadi sifatnya sangat umum, di mana bahasa verbal (kata-kata yang berasal dari suara manusia) hanyalah salah satu dari sekian banyak bahasa dalam arti umum ini. Dia bisa bisa berupa tulisan atau teks, bahkan bisa hanya berupa warna suara, logat dan intonasi, mimik wajah, gestur tubuh, gaya pakaian dan lain sebagainya. Tindakan menggunakan bahasa ini dapat disebut sebagai tindakan simbolis (symbolic act).
Maka demikianlah, dalam Pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, dikenal istilah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, suatu istilah yang diperkenalkan J.S Badudu dalam salah satu rubrik di majalah Intisari sejak tahun 1977 dan tetap jadi pameo sampai saat ini. Ada lagi istilah bahasa yang “baku” dan “tidak baku.” Dalam komunikasi formal, lisan maupun tulisan, yang memakai Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar adalah ukuran untuk menilai! Ukuran inilah yang dipakai guru Bahasa Indonesia di kelas V SD untuk memberikan ponten buruk kepada salah satu muridnya. Misalnya, karena si murid memulai karangan tentang pengalaman pakansi ke rumah nenek dengan kalimat, “Waktu libur kemaren, gue diajak bokap pergi ke rumah nenek di desa. Di sana gue dan adik-adik maen di sawah dan melihat kebo membajak.” Letak tidak baik dan tidak benarnya kalimat yang dibikin anak SD ini adalah karena kata “gue”, “bokap”, “maen”, “kebo” adalah kata bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar karena tidak baku dan tidak boleh dipakai dalam karangan formal di dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
Penilaian seputar tepat atau tidak tepat tadi juga berlaku di dalam konteks kehidupan lain, seperti ketika seseorang memakai bahasa (kata-kata, intonasi, nada suara dan lain sebagainya) yang bukan miliknya sehingga tidak pas dengan posisi dan setatusnya. Ketika seorang politisi yang selama ini dikenal memakai bahasa yang selalu bersayap dan abu-abu, tiba-tiba memakai bahasa yang tanpa tedeng aling, langsung menohok tujuan. Misalnya, ketika dia ditanya seorang wartawan tentang suatu kejadian politis, dia langsung menjawab, “Saya tidak setuju dengan kejadian itu.” Akibat dari pernyataan ini terjadilah kegaduhan politik dalam partai tempat dia bernaung, gara-gara jawabannya terlalu terus terang dan membahayakan posisi partainya dalam percaturan politik. Akhirnya, pihak partai menilai bahwa si politisi telah memakai bahasa dengan cara tidak tepat ketika menjawab pertanyaan wartawan.
Baca Juga: menilai ketepatan berbahasa arena dan kuasa simbolis
Tepat atau tidak tepatnya berbahasa juga dipersoalkan dalam konteks yang lebih halus, yakni budaya dominan. Cara berbahasa dan pemakaian bahasa dinilai tepat atau tidak tepat berdasarkan pandangan yang dominan di dalam suatu budaya. Seorang akademisi dalam sebuah seminar tentang pemberdayaan masyarakat tanpa sadar mengeluarkan kata-kata kasar (cacian) kepada pemerintah yang menurutnya masih belum memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Akademisi lain menuliskan kata-kata umpatan sebagai contoh penggunaan bahasa dalam tulisannya. Kedua tindakan berbahasa akademisi ini kemudian mendapat penilaian dalam budaya akademik sebagai tidak tepat: “Sebagai seorang intelektual seharusnya tidak memakai bahasa preman pasar seperti itu. Seorang akademisi semestinya berbicara secara ilmiah,” begitu kira-kira penilaian yang muncul atas tindakan berbahasa tadi. Sebaliknya di sebuah warung kopi di dekat terminal, umpamanya, beberapa orang sopir mengobrol tentang kenaikan harga BBM dan krisis ekonomi. “Makin lama makin sengsaralah hidup kita kalau begini terus bah. Subsidi BBM akan dicabut pemerintah untuk melawan inflasi,” kata seorang sopir berdarah Batak. Kawan-kawannya yang sedang menikmati kopi di warung itu langsung tertawa terbahak-bahak mencemooh “Sok intelek lu. Mending lu urusin tuh ban lu yang udeh botak” kata sopir lain yang asli Betawi. Yang lain menimpali, kali ini temannya dari Jawa Tengah, “Bajinguk koe le. Inflasi itu sebangsa telo bakar atau telek gosong yo?” Cemooh di warung ini lahir karena perkataan si sopir tentang kenaikan BBM tadi dinilai tidak tepat oleh kawan-kawannya sesama warga terminal.
Kemudian akhir-akhir ini kita menemukan meme atau foto-foto di internet yang menunjukkan kesalahan –artinya ketidaktepatan—berbahasa Inggris. Foto-foto ini dimuat di dunia maya untuk bahan lucu-lucuan, istilah sekarangnya “bisa bikin ngakak.” Misalnya dapat dilihat dalam https://www.brilio.net/life/50-foto-kesalahan-penulisan-bahasa-inggris-ini-bikin-ketawa-ngakak-151209b.html dan http://chirpstory.com/li/270260. Kasus kesalahan dalam memakai bahasa Inggris dalam contoh-contoh ini sebenarnya hampir sama dengan soal berbahasa Indonesia yang baik dan benar seperti dijelaskan di awal tadi. Tepat atau tidak tepat diukur dengan standar ukuran yang ditetapkan oleh ahli-ahli bahasa. Perbedaannya di sini terjadi pula dominasi. Penertawaan itu terjadi karena ada hubungan dominasi antara yang menertawakan dengan yang ditertawakan (si pemakai bahasa Inggris yang salah). Yang menertawakan merasa “lebih” dari yang ditertawakan. Lebih di sini tidak hanya sekadar berarti merasa lebih tahu cara berbahasa Inggris namun juga merasa lebih berbudaya dan lebih maju. Perasaan superior ini tidak lepas dari posisi bahasa Inggris sebagai bahasa dominan dalam budaya sehari-sehari masyarakat Indonesia saat ini, yang di zaman kolonial dulu sepadan dengan Bahasa Belanda.
Kejadian lucu akibat bahasa juga terjadi ketika dua pemakai dialek berbeda dari bahasa yang sama berinteraksi. Kelucuan muncul karena terjadi relasi dominasi di mana satu dialek, yang entah mengapa dan sejak kapan, didaulat menjadi dialek yang dominan dan karenanya menjadi ukuran untuk menilai dan menertawakan dialek yang inferior. Dalam bahasa Minangkabau misalnya, terdapat beberaa dialek daerah atau wilayah yang seringkali jadi bahan lelucon oleh orang-orang yang sama-sama memakai bahasa Minangkabau, kerap kali terjadi relasi dominasi. Kita sehari-hari mengenal dan mengalami lelucon cara berbahasa dari dialek tertentu yang entah mengapa ketika dibandingkan dengan cara berbahasa kita terasa sangat lucu.
Dalam kasus bahasa Minangkabau, ada dialek daerah-daerah tertentu yang menjadi bahan lucu-lucuan oleh dialek daerah lain, misalnya judul film Indonesia tahun 1980-an “Bernapas dalam Lumpur” yang diplesetkan ke dalam dialek salah satu luhak nan tigo menjadi “ongok-ongok dolam boncah” atau kata “cuduh” yang dipakai di nagari sekitar salah satu Madrasah Tarbiyah Islamiyah dekat Bukittinggi yang merupakan padanan kata “cako” atau “tadi” di nagari-nagari lain di Minangkabau.
Penilaian yang paling banyak ditemui dalam fenomena berbahasa sehari-hari adalah penilaian terhadap pemakaian bahasa namun disandarkan pada penilaian etis. Artinya, baik atau buruk seseorang dari sisi etika dinilai dari bahasa yang dia pakai. Yang jadi persoalan di sini bukanlah persoalan etika atau perangai orang itu an sich, melainkan penilaian baik atau buruk etikanya didasarkan pada bahasa yang dianggap tepat atau tidak tepat dipakainya. Ini terjadi ketika dia memakai atau meminjam bahasa yang menurut penilaian orang menilai bukan bahasa dia. Sebagai contoh, seorang santri pondok pesantren terdengar memakai kata-kata ejekan dan sumpah-serapah yang biasa digunakan oleh pengangguran yang pekerjaannya nongkrong di pasar atau persimpangan jalan. Si santri akan dinilai kurang ajar, tidak mencerminkan orang bersekolah agama gara-gara kata-kata yang dia pakai itu. “Seperti preman terminal kelakuannya,” kata orang menilai dia. Penilaian ini lahir karena dia dianggap tidak tepat memakai bahasa premen terminal.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa peristiwa-peristiwa penilaian seperti di ilustrasi di atas bisa terjadi?
Penyebabnya adalah kehidupan komunikasi sehari-hari tempat kita memakai bahasa ibarat arena tempat berlaga atau bertanding. Untuk masuk ke dalam sebuah arena syarat mutlak yang harus dimiliki adalah kemampuan yang sesuai. Selain kemampuan fisik yang memadai, kemampuan pertama dan utama yang perlu dimiliki oleh seorang petinju sebelum naik ke ring adalah kemampuan bertinju itu sendiri. Kemampuan dasar ini harus diperkaya dengan kemampuan-kemampuan lain seperti gaya melangkah Muhammad Ali, pukulan upper cut gaya Mike Tyson, dan kemampuan mental Oscar Dela Hoya misalnya. Kemampuan tidak akan masuk hitungan –dengan kata lain, dianggap tidak kompeten– jika yang terjadi seseorang dengan kemampuan bertinju tapi ingin berlaga di gelanggang karate atau gulat Sumo.
Dalam berbahasa, kemampuan tersebut –yang lazim diistilahkan dengan kompetensi linguistik (linguistic competence)– diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan (memakai) bahasa yang tepat secara tata bahasa, menerima dan secara lebih kurang memahami lawan bicara sekaligus sebagai kemampuan menempatkan pemakaian bahasa tersebut tepat dan pantas secara sosial. Di sini yang jadi kata kunci adalah sekaligus karena kefasihan atas suatu bahasa secara tata bahasa tidak akan ada artinya jika diiringi dengan kepintaran memakai bahasa tersebut secara tepat dan pantas dalam kehidupan sosial. Kedua kompetensi linguistik ini adalah syarat seseorang untuk disebut “bisa berbahasa.” Secara gegabah, barangkali hal inilah yang bisa dijadikan salah satu tafsiran dari istilah “hayawan Natiq” dalam khasanah pelajaran Mantiq. Uraian yang sedikit teoretis ini hanya ingin menegaskan bahwa bahasa bukanlah sebagaimana yang dipelajari dalam buku-buku pelajaran di sekolah atau madrasah, melainkan sebagaimana dipakai untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari oleh orang dengan orang.
Kembali pada ilustrasi tentang ring tinju atau arena pertandingan tadi. Di dalam sebuah arena selain ada dua pihak yang berseteru, sudah pasti ada yang diperebutkan dan pasti pula ada aturan main. Dalam arena berbahasa juga demikian adanya. Yang diperebutkan dua orang yang berkomunikasi bukanlah piala atau sabuk juara seperti dalam pertandingan tinju atau silat, melainkan pengakuan (recognition) akan keberadaannya sebagai seseorang yang berbicara. Pengakuan ini bisa dalam bentuk afirmasi maupun negasi/resistensi. Kalau afirmasi, jelas bahwa lawan bicara meng-iya-kan apa yang kita katakan padanya, misalnya dengan menganggukkan kepala atau berujar “bana kato” (benar kata [Anda]) atau “iyolaaaah” (iya) seperti yang kita dengar dalam tradisi pasambahan dalam budaya Minangkabau. Dengan jawaban afirmatif ini, keberadaan si pembicara diakui lawan bicara. Pengakuan akan keberadaan juga bisa disampaikan lewat penolakan. Walaupun lawan bicara menolak dan melawan entah dengan kata-kata “Tidak benar itu”, “Kamu bohong”, atau cemoohan “Entah iya entah tidak” atau dengan perangai seperti mata melotot, membuang muka atau hanya diam menunduk, namun semua penolakan ini tetap mengakui keberadaan si pembicara. Komunikasi jadi batal, tindakan berbahasa jadi macet, ketika lawan bicara tidak memberikan pengakuan ini sama sekali. Si pembicara tidak ada bagi lawan bicara! Inilah kejadian yang paling malang bagi manusia berbahasa. Saat keberadaannya tidak diakui oleh orang lain. Dalam bahasa sehari-hari derajat manusia yang dipandang tidak ada oleh lawan bicara ini setara dengan orang gila di pinggir jalan. Bukankah orang gila di jalanan ada yang berceloteh memakai bahasa warga sekitar, namun adakah yang melawannya berkomunikasi? Dia dianggap bukan “orang” lagi oleh warga.
Selanjutnya aturan. Di dalam ring tinju atau arena pertandingan yang merepresentasikan atau mewakili aturan adalah wasit. Dalam kehidupan berbahasa wasit ini tidak tertulis namun ada. Tidak seperti aturan dalam bentuk undang-undang atau peraturan yang tertulis, aturan dalam berbahasa tidak eksplisit namun ada dan terasa efeknya. Di rumah sakit misalnya, para pengunjung tidak akan ada yang bercerita satu sama lain dengan suara keras-keras seperti di tempat keramaian lain, semisal pasar atau warung kopi. Orang yang membesuk temannya yang diopname tidak akan bercerita dengan keluarga temannya tentang kawannya yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan teman yang dia jenguk ini. Aturan arena berbahasa di rumah sakit mengharuskan dia untuk menjaga omongan yang salah! Kalau aturan ini dilanggar, wasit yang tidak kelihatan akan langsung menjatuhkan sanksi padanya. Itulah sebabnya mengapa dalam keseharian terdengar ada gunjingan keluarga si sakit tentang si anu yang tidak tahu menjaga mulut gara-gara menceritakan kondisi orang lain yang meninggal dunia akibat penyakit yang sama dengan yang diderita anggota keluarganya. Oleh karena itu, aturan yang tidak eksplisit di masing-masing arena berbahasa tadi memiliki otoritas (wewenang) untuk membenarkan dan menyalahkan tindak berbahasa.
Ilustrasi-ilustrasi yang disampaikan di awal tadi adalah kasus-kasus di mana otoritas (wewenang) dicoba untuk diwakili, ditubuhkan kepada dirinya sendiri, oleh salah satu pihak yang berkomunikasi. Kewenangan untuk membenarkan atau menyalahkan, kewenangan untuk menyatakan tepat atau tidak tepat bahasa lawan bicara yang sebenarnya berbentuk kewenangan abstrak dicoba untuk diwakili oleh pembicara. Dalam kasus anak SD kelas V yang dapat ponten jelek, otoritas itu ditubuhkan oleh guru Bahasa Indonesia, dalam kasus politisi ditubuhkan oleh perwakilan atau juru bicara partai, dalam kasus seminar oleh akademisi yang menyatakan bahasa temannya adalah bahasa preman, dalam kasus warung kopi terminal oleh si sopir yang mencemooh temannya sebagai sok intelek, dalam kasus bahasa Inggris oleh orang yang merasa menguasai bahasa Inggris, dalam kasus dialek oleh orang yang memakai bahasa dominan dan begitu seterusnya.
Untuk melihat masalah ini lebih jauh lagi bisa dibayangkan kira-kira apa yang terpikir oleh kita jika seorang petinju sekaligus bertingkah dan bertindak sebagai wasit. Di dalam pertandingan olahraga, hal tersebut memang tidak masuk akal dan konyol secara akal sehat, namun di dalam kehidupan berbahasa justru itulah yang terjadi. Hanya saja dalam kehidupan berbahasa dapat dipilah antara penubuhan otoritas itu terjadi secara sah atau tidak, legitimed atau tidak. Di titik inilah kita bisa bicara tentang legitimasi kewenangan untuk menilai tepat atau tidak tepat yang jadi pangkal tulisan ini. Legitimasi itu dibentuk dan diberikan secara sosial –artinya terikat langsung dengan struktur sosial tempat suatu bahasa dipakai. Dalam kasus bahasa Indonesia anak SD tadi, sang guru adalah otoritas yang punya legitimasi untuk memberikan penilaian. Dalam kasus santri yang memakai bahasa preman pengangguran, jika penilaian ketidakpantasan bahasanya keluar dari ustaz atau kiai pesantren tempat si santri belajar, maka sang kiai adalah otoritas yang legitimet dalam penilaiannya. Sebaliknya, dalam kasus warung kopi di terminal si sopir dengan latar belakang pendidikannya yang tidak memadai dan jangkauan pergaulannya yang sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia intelektual, penilaian dia atas pernyataan temannya menjadi tidak sah: otoritas dia dalam mencemooh temannya tidak legitimet.
Baca Juga: dialek madrasah tarbiyah islamiyah
Masalah legitimasi otoritas dalam menilai ketepatan berbahasa ini sangat pelik, karena legitimasi itu bisa dipersoalkan apakah dia dimiliki karena diberikan atau diusahakan/dicari; apakah legitimasi itu bisa tanggal dan berkurang atau makin kuat dan bertambah. Meski sangat pelik, akan tetapi topik legitimasi berbahasa ini menarik dan sungguh penting. Apalagi jika dikaitkan hubungan ulama sebagai pewaris nabi dengan ummat. Bukankah modal dan kekuatan ulama sesungguhnya ada pada bahasanya?
Namun baiklah untuk saat ini dicukupkan saja dulu paparan seputar topik yang dalam ilmu humaniora di sebut dengan bahasa dan kuasa simbolis ini.[]
Leave a Review