scentivaid mycapturer thelightindonesia

Menilik Demokrasi Sosial

sebuah Buku Demokrasi sosial kita dari bung hatta

Segala hal mengenai kepentingan umum dipersoalkan bersama-sama dan keputusan diambil dengan kata sepakat “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”

Mohammad Hatta

Kali ini, kita akan berbicara lagi tentang “pemikiran” Bung Hatta yang telah disinggung juga dalam rubrik ulasan sebelumnya; Hatta dan Kelompok Muda pada H-1 KemerdekaanPelajaran Hidup dari Mohammad Hatta, dan Bung Hatta: Pendidikan Politik. Buku ini berjudul “Demokrasi Kita”, cetakan pertama Segaarsy 2008, jumlah halaman 155. Dalam pengantar penerbit disebutkan bahwa Hatta dapat dikatakan sebagai peletak dasar demokrasi Indonesia sesungguhnya. Konsep demokrasi yang ditawarkan oleh Hatta mengacu pada kehidupan demokrasi asli Indonesia, yaitu sistim kehidupan yang berlangsung di dalam masyarakat desa.

Penulis             : Mohammad Hatta
Judul Buku      : Demokrasi Kita
Penerbit          
: Segaarsy, 2008.
ISBN              
: 979-98635-15-4
Halaman          : 155 halaman.

Hatta mengatakan bahwa banyak orang yang menyangka bahwa kebangsaan dan kerakyatan sudah tidak berlaku lagi karena sudah lahir semangat internasional (halaman 15). Namun bagi Hatta, kebangsaan dan kerakyatan sangat diperlukan dalam pergerakan Indonesia di masa sekarang. Roh kebangsaan adalah hal yang penting dalam pergerakan kemerdekaan yang tidak dapat disia-siakan, sekalipun oleh mereka yang tidak menyukainya.

Riwayat dunia membuktikan bahwa bangsa yang bergerak menuju kemerdekaan, cita-cita kepada internasionalisme, kalah oleh semangat kebangsaan (lihat halaman 18). Hatta adalah salah seorang yang menggawangi PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) yang menjadikan kerakyatan sebagai dasar gerakan menuju kemerdekaan. Hal tersebut dilakukan supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasar kepada keadilan dan kebenaran. PNI juga meniscayakan keinsyafan rakyat untuk menentukan harga diri, nasib, cara hidup dan bergaul, dalam artian rakyat adalah Raja atas dirinya.

Baca Juga: Lelaki Minang Tak Berjodoh dengan Kampungnya (Bagian 1)

Konsep Demokrasi Bung Hatta

Dalam buku ini, kita akan menemukan persamaan dan perbedaan antara demokrasi “asas kedaulatan rakyat” versi PNI dengan demokrasi yang berasas volkssouvereiniteit versi Barat. Hatta menuliskan bahwa asas demokrasi Barat dinamai dengan moderne demokratie. Moderne demokratie adalah rakyat memerintah diri sendiri dengan perantaraan badan-badan perwakilan yang dipilih oleh rakyat. Akan tetapi, asas demokrasi tersebut kontras dengan realitas, yang berlaku hanya menurut kepentingan golongan masing-masing. Sebab itu, muncul conservative demokratieliberale democratie, dan sociale demokratie (lihat halaman 29).

Hatta mengatakan bahwa demokrasi di Benua Barat dikendalikan oleh golongan kapitalisme, karena mereka berpengaruh besar. Oleh karena itu, demokrasi di sana memakai bentuk kapitalistiche democratie atau burgerlijke democratie. Cita-cita moderne democratie yang begitu “bagus” (rakyat menentukan nasibnya sendiri) tidak terdapat dalam kapitalistiche democratie, karena dengan golongan yang sedikit mereka menguasai penghidupan rakyat banyak. Jadi, demokrasi di Benua Barat sekarang tampak pincang, dalam artian menyimpang dari cita-cita demokrasi asli yang disandarkan kepada volkssouvereiniteit (kedaulatan rakyat).

Cita-cita volkssouvereiniteit merupakan anak daripada teori dan semangat individualisme yang dibangkitkan oleh beberapa ahli ilmu sosial pada abad XVII dan abad XVIII. Ahli ilmu Sosial yang ternama pada waktu itu adalah J.J Rosseau. Ia menyebutkan bahwa “manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka”. Cita-cita volkssouvereiniteit tersebut menjadi pedoman pergerakan besar di tahun 1789 yang meruntuhkan feodalisme. Sebab itu, revolusi Perancis dijunjung tinggi oleh orang Barat sebagai sumber demokrasi sekarang.

Cita- cita Demokrasi Sosial lahir dikarenakan oleh tiga sumber, diantaranya: Pertama, paham sosialis Barat. Kedua, ajaran Islam. Ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kepada kolektivisme.

Kepincangan demokrasi Barat terdapat dalam hal politik dan hak, sedangkan dalam hal perekonomian dan pergaulan sosial masih berlaku otokrasi. Rakyat yang banyak masih menderita kemegahan kaum kapitalis dan majikan. Wujud demokrasi Perancis adalah “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan” tidak pernah tercapai. Yang tercapai hanya politieke democratie, sedangkan economische democratie bertambah jauh. Hatta mengatakan bahwa demokrasi Barat yang dilahirkan oleh revolusi Prancis tidak membawa kemerdekaan rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme (lihat halaman 37).

Baca Juga: Syekh Sulaiman Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural

Berangkat dari hal itu, Hatta menuliskan bahwa volkssouvereiniteit (asas kedaulatan rakyat) yang dibawa oleh Rosseau berbeda dengan PNI. Bagi Rosseau volkssouvereiniteit berdasarkan kepada semangat individualisme, sedangkan bagi PNI berdasarkan kepada rasa bersama (kolektivitet). Hatta menambahkan kedaulatan rakyat tidak saja dalam pergaulan politik, melainkan juga dalam urusan ekonomi dan sosial.

Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat atas dasar permusyawaratan. Kedaulatan rakyat memberi kekuasaan yang tertinggi kepada rakyat, sekaligus tanggung jawab yang besar. Dasar pemerintahan kepada kedaulatan rakyat pada hakikatnya lebih teguh, karena didukung oleh tanggung jawab bersama, supaya terciptanya rasa kewajiban untuk mencapai keselamatan bersama. Maka dengan sendirinya akan tertanam negara yang kokoh.

Menurut Hatta, kedaulatan rakyat lebih sempurna sebagai dasar pemerintahan Republik Indonesia. Kedaulatan rakyat mencakup demokrasi politik dan ekonomi. Karena dalam kedaulatan rakyat terdapat dua sifat, yaitu: Pertama, mengambil keputusan secara mufakat dengan musyawarah adalah dasar dari demokrasi politik. Kedua, yaitu tolong menolong dan gotong royong adalah sendi yang bagus untuk menegakkan demokrasi ekonomi.

Baca Juga: Manusia dan Penampakan Kusam Ingatannya

Demokrasi Kita

Bung Hatta membuat tulisan “Demokrasi Kita” ketika ia mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, demi menghindari logika demokrasi terpimpin yang dipaksakan diberlakukan oleh presiden Soekarno. Dalam buku ini juga disebutkan beberapa tindakan pemerintah yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, salah satunya adalah dengan mengeluarkan dekrit Presiden. Sekalipun tindakan Presiden tersebut bertentangan dengan konstitusi, ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak dalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Presiden Soekarno mencela demokrasi cara Barat yang berdasarkan free fight, hantam-menghantam. Free fight democracy menimbulkan perpecahan nasional, sehingga usaha-usaha pembangunan jadi terlantar. Soekarno hendak mengganti demokrasi liberal dengan demokrasi yang ia sebut dengan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin yang dimaksud adalah suatu cara bekerja dalam melaksanakan suatu program pembangunan yang direncanakan dengan suatu tindakan yang kuat di bawah suatu pimpinan. Akan tetapi, konsepsi Presiden Soekarno tentang demokrasi terpimpin dipaksakan kepada partai-partai dan masyarakat untuk menerimanya. Ketika itu, Hatta menilai bahwa demokrasi terpimpin membuat kehidupan demokrasi Indonesia berada di ambang kehancuran.

Di sisi lain, situasi Indonesia juga mengalami kebobrokan di segala sektor kehidupan, semisal dalam sektor ekonomi dan keamanan yang tak terkendali, serta situasi politik yang semakin memanas. Demokrasi Terpimpin juga mengakibatkan munculnya peristiwa 30 September 1965, yang menyebabkan berakhirnya sistem Demokrasi Terpimpin itu sendiri. Antisipasi Hatta dibuktikan sejarah, yaitu bahwa sistem Demokrasi Terpimpin telah membawa petaka bagi bangsa Indonesia.

Baca Juga: Lapau Maota dan Adakah Teater di Sana?

Hatta mengatakan bahwa cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita- cita Demokrasi Sosial lahir dikarenakan oleh tiga sumber, diantaranya: Pertama, paham sosialis Barat. Kedua, ajaran Islam. Ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kepada kolektivisme. Meskipun negara Indonesia lama adalah negara feodal yang dikuasai oleh raja dan otokrat, sistem demokrasi sosial terus berlaku di desa-desa, tumbuh dan hidup sebagai adat istiadat. Dalam buku ini kita juga dapat menemukan surat-surat Hatta kepada Presiden Soekarno. Surat- surat tersebut berisi tentang koreksi dan kritik terhadap  pemerintahan Presiden Soekarno. Salah satunya adalah tentang realita kehidupan masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh konsepsi Presiden Soekarno (demokrasi terpimpin), kebijakan-kebijakan Presiden yang merugikan masyarakat, pembentukan konfederasi negara-negara yang berasal dari bangsa Melayu, dan proyek Asahan. Di balik itu, Hatta juga memberikan anjuran-anjuran kepada Presiden Soekarno.[]

Rahmi Jailani
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Warga Surau Tuo Institute Yogyakarta