Sastra dalam Pengalaman Anaksiak
Tulisan ini merupakan hasil notulen dari diskusi dari anaksiak yang berjudul “Sastra dan Anaksiak” yang diadakan pada 25 Juli 2020.
Sastra, identiknya sebagai sebuah kata yang digunakan untuk mewakili seorang puitis dan bijak dalam berkata-kata. Sarat dengan nilai estetika, sastra juga sering disertakan oleh para ulama dalam menuliskan kitab. Biasanya, anaksiak mengenal fiqh, nahwu, balaghah, mantiq, dan seterusnya sebagai sebuah ilmu yang berisi qaul mushannif semata. Kadang terkesan kaku dan serius dalam setiap isi kandungan kitab yang harus dipelajari untuk dipahami. Namun pada kenyataannya, dalam kebanyakan kitab ditemukan berbagai pelajaran yang memuat syair-syair dengan pola kalimat yang sangat tinggi dalam tingkatan sastra.
Berbicara sastra dalam pengalaman anaksiak, merupakan sesuatu yang sudah biasa dan menjadi asupan sehari-hari dalam setiap kegiatan mengaji. Bahkan sastra sering dianggap sebagai pakaian yang begitu melekat pada tubuh seorang anaksiak. Kendati demikian, sayang sekali ketika ditemukan persepsi mengenai pergeseran makna sastra dalam pandangan setiap orang dan anaksiak khususnya. Dewasa ini, sastra seringkali dianggap sebagai sebuah quotes, kata mutiara, atau sebuah novel populer tentang percintaan. Padahal sastra sebenarnya dapat bermakna lebih luas daripada sekadar quotes.
Baca Juga: Sastra Anak Siak; Sebuah TOR Ota Lapau Anak Siak Online
Disadari atau tidak, kehidupan dan keseharian anaksiak merupakan suatu kehidupan yang sastrawi. Sebagai contoh, Zeni Wimra sekaligus narasumber juga memberikan gambaran mengenai kehidupan sastrawi anaksiak dalam pelajaran tasawuf. Kajian tasawuf yang sarat dengan nilai sastra dengan menggunakan metafora-metafora yang dapat beriringan hingga akan ditemukan spirit yang sama ketika disandingkan dengan metafora sastra yang biasa kita kenal, khususnya di masyarakat Minangkabau. Sebagai seorang yang senantiasa bergelut dengan dunia sastra, anaksiak dilatih untuk memahami kalimat yang tersirat dari untaian kata yang tersurat. Seringkali mushannif menjelaskan ilmu di dalam kitabnya dengan menyertakan majas-majas ataupun contoh syair yang mendalam. Ketika seorang anaksiak telah terlatih membaca sastra ulama di dalam kitab, semestinya pergeseran nilai tadi harus menjadi sesuatu yang tabu dalam kehidupan. Sebab dengan kebiasaan membaca karya fenomenal dari para ulama, sehingga tidak dapat dinafikan mengenai kemungkinan agar dapat menerapkan hal tersebut dengan melahirkan berbagai macam karya dalam bentuk tulisan. Dengan kata lain, maraknya kegiatan literasi dan berkarya di kalangan mereka.[]
Leave a Review