Maqashid syari’ah merupakan teori hukum Islam yang saat ini banyak dilirik oleh pengkaji hukum Islam. Teori ini dikembangkan oleh al-Thahir Ibn ‘Asyhur (w. 1973) sehingga menjadi ilmu yang mandiri (‘ilm mustaqil) dalam karya monumentalnya, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah. Dalam pendahuluan buku ini, beliau secara tegas merekomendasikan agar kita meninggalkan ushul fikih dan berpindah kepada maqashid syari’ah. Karena, tampaknya tidak banyak yang diharapkan dari ushul fikih untuk pengembangan hukum Islam kontemporer.
Pernyataan ini mengundang perhatian publik dan menimbulkan polemik di kalangan akademisi. Hasan Hanafi dan Jamaluddin ‘Athiyah termasuk intelektual yang keberatan dengan usulan tersebut. Keduanya menganggap maqashid syari’ah adalah teori inti dalam ushul fikih. Apabila maqashid dipisahkan dari ushul fikih dikhawatirkan progresifitas ushul fikih akan semakin berkurang. Sedangkan beberapa akademisi lain, setuju dengan gagasan Ibn ‘Asyur tersebut. Semisal, Nuruddin al-Khadimi menulis buku dengan judul ‘Ilmu Maqashid Syari’ah dan ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Rabi’ah menulis buku “Ilmu Maqashid Syari’. Pencantuman kata “Ilmu” dalam judul buku ini dinilai Said Agil al-Munawar sebagai bukti kesetujuan mereka atas klaim maqashid syari’ah sebagai ilmu yang independen.
Motivasi ahli hukum untuk mewacakanakan maqashid syari’ah adalah untuk menengahi kesenjangan antara hukum Islam dan tantangan global, serta respon atas stagnansi ushul fikih. Ushul fikih dianggap “tak” berdaya ketika berhadapan dengan isu-isu global dan modern. Ketidakberdayaan tersebut disebabkan oleh masifnya pembahasan kebahasan di dalamnya, sehingga melupakan tujuan dari syari’at itu sendiri. Ada kesan ushul fikih hampir sama dengan ilmu tafsir, yang diperdalam justru teori-teori kebahasan (semisal, amr, nahy, ‘am, khas, dan lain-lain), sementara teori maslahah belum banyak mendapat perhatian. Hashim Kamali menilai beberapa teori dalam ushul fikih terlalu ketat, kaku dan formal, semisal persyaratan qiyas yang sangat ketat. Akibatnya, sangat sulit menegosiasikan kasus modern dengan menggunakan qiyas.
Maqashid Syari’ah dulu dan sekarang
Maqashid syari’ah bukanlah teori baru dalam hukum Islam. Ia ibarat barang lama yang kemudian didaur ulang. Teori ini sudah dikenalkan ulama klasik sedari dulu. Di antara ulama yang dianggap sebagai embrio lahirnya teori maqashid adalah Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H), al-Qaffal al-Syasyi (w. 365 H), al-Juwaini (w. 478), al-Ghazali (w. 505 H), Izzuddin bin Abdul Salam (w. 660 H), Najmuddin al-Thufi (716 H), Ibn Taimiyah (w. 728 H), al-Syatibi (w. 790 H).
Baca Juga: Hukum Islam Itu Bukan Living Law Tanggapan untuk Yusril Ihza Mahendra
Al-Syatibi dianggap sebagai orang pertama yang menulis maqashid syari’ah secara sistematis dan metodologis dalam karya monumentalnya, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Tidak berlebihan bila Thahir al-Musawi menyebutnya sebagai guru pertama (mu’allim al-awwal) dalam bidang maqashid syari’ah. Pasca al-Syatibi belum ditemukan ulama yang menulis buku tersendiri mengenai tema ini. Baru pada abad 20-an, muncul Ibnu Asyhur dari Tunisia dan ‘Allal al-Fasi dari Maroko (penulis buku Maqashid al-Syari’ah wa Makarimuha), yang dinilai sangat berjasa dalam menghidupkan kembali kajian maqashid yang sudah lama mati. Oleh sebab itu, Ibnu Asyhur ditasbihkan sebagai mu’allim al-tsani (guru kedua).
Kendati maqashid adalah barang lama yang didaur ulang, namun ada perbedaan ulama klasik dan kontemporer dalam memposisikan dan mengaplikasikannya. Ada tiga perbedaan yang cukup signifikan antara kedua kelompok ini. Pertama, ulama klasik cenderung memposisikan maqashid sebagai hikmah hukum. Akhirnya ia lebih bersifat apologis semata dan tidak digunakan untuk memproduksi hukum baru. Hal ini berbeda dengan ulama kontemporer yang sudah mulai menggunakan maqashid sebagai metode untuk mereproduksi hukum. Dalam bahasa lain, ulama kontemporer memposisikan “hikmah hukum” setara dengan “illat hukum”.
Kedua, mayoritas ulama klasik menyatakan bahwa basis maqashid syari’ah adalah wahyu (baca: nash). Dalam hal ini, akal tidak terlalu berperan dalam menentukan tujuan hukum. Sebenarnya sudah ada beberapa ulama dulu yang berani memasukan akal sebagai salah satu instrumen maqashid syari’ah, semisal Izzuddin bin ‘Abdul Salam dalam Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam dan al-Thufi dalam risalah kecinya, Risalah fi Ri’ayah al-Maslahah. Namun, pendapat semacam ini tidak terlalu populer di zamannya, bahkan mendapat banyak kritikan.
Hal ini sangat berbeda dengan ulama kontemporer mengizinkan akal sebagai instrumen maqashid syari’ah. Perlu digarisbawahi tidak semua ulama kontemporer sepakat dengan ini. Beberapa di antara mereka lebih menguatkan pendapat ulama klasik tentang otoritas wahyu dan kelemahan akal manusia. Ini sebagaimana tampak dalam karya Said Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah, yang mengkritik penggunaan akal dalam menentukan tujuan hukum.
Menurut Felicitas Opwis, perdebatan mengenai hal ini sangat dipengaruhi oleh latarbelakang pendidikan dan kondisi sosial-politik. Ulama kontemporer yang setuju dengan pendapat mayoritas ulama klasik (wahyu lebih otoritatif ketimbang akal) rata-rata berasal dari besar dalam pendidikan tradisional dan tidak berhadapan langsung dengan isu-isu global dan modern. Karena kebanyakan mereka tinggal di Timur-tengah atau di negara Islam. Ulama kontemporer yang setuju dengan penggunaan akal, semisal Jamaluddin al-Qasimi, ia tumbuh dalam kultur pendidikan modern dan bersinggung langsung dengan isu-isu global pada waktu itu. Apalagi ulama-ulama yang berdomisili di Barat, nuansa rasionalnya terasa lebih kental.
Ketiga, ulama dulu belum sempat menggunakan ilmu humaniora untuk mengelaborasi maqashid syari’ah. Akan tetapi, ulama kontemporer sudah mulai memanfaatkan ilmu humaniora untuk mengembangkan maqashid syari’ah. Tidak ada salahnya, ilmu humaniora diintegrasikan dengan kajian hukum Islam. Sebab pada prinsipnya, ilmu pengetahuan selalu dinamis dan berkembang. Dalam perjalanan pengetahuan, sangat dimungkinkan terjadi evolusi, bahkan revolusi. Begitupula dengan integrasi atau dialog pengetahuan.
Jasser Auda termasuk tokoh garda depan yang memperjuangkan ide ini. Dalam bukunya, Maqashid Syari’ah as Philosophy of Islamic Law: A systems Approach (2007), terlihat jelas bagaimana ia berusaha untuk memapankan maqashid syari’ah melalui alat bantu filsafat sistem. Ilmu humaniora dirasa penting, sebab pengetahuan manusia modern sudah semakin berkembang dan untuk menganalisis hukum tidak cukup hanya menggunakan satu perspektif saja. Dalam memberikan fatwa tentang politik misalnya, para ulama harus membaca perkembangan teori politik modern sebelum melontarkan fatwa atau paling tidak mendialogkan ilmunya dengan ahli politik.
Orientasi Maqashid Syari’ah
Maqashid syari’ah bertujuan untuk merumuskan hukum yang shahih li kulli zaman wa makan (relevan untuk setiap waktu dan tempat). Sebab pada hakikatnya hukum Islam dinamis, fleksibel, memudahkan, adil, dan berdampak positif. Hakikat hukum Islam ini hendaknya senantiasa dijadikan filosofi tertinggi dan acuan dalam memproduksi hukum. Apabila ditemukan hukum atau fatwa yang bertentangan dengan tujuan syariat tersebut, maka hukum dan fatwa itu bisa dibatalkan ataupun dikritisi. Sangat tepat bila Ibn Qayyim menafsirkan syariat sebagai sesuatu yang memiliki hikmah, memberi kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan. Jika ditemukan aturan yang mengatasnamakan syari’at, tetapi melenceng dari tujuan syariat, maka aturan tersebut tidak bisa dikatakan syari’at.
Misalnya poligami, memang ada dalil yang membolehkan poligami dengan syarat mampu berlaku adil. Tetapi yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika poligami itu merusak hubungannya dengan istri pertama dan anak-anaknya? Bukankah tujuan dari pernikahan itu untuk mewujudkan keluarga yang nyaman dan aman? Jika menggunakan pendekatan ushul fikih, pertimbangan dari maqashid nikah ini tidak terlalu mendapat perhatian, karena ushuly biasanya lebih fokus kepada teks. Melalui perspektif maqashid kita bisa mengatakan bahwa poligami tidak boleh dilakukan apabila merusak tujuan dari pernikahan, semisal istri pertama dan anaknya tidak menerima, prustasi, dan kecewa berat.
Begitupula dengan isu penerapan hukum pidana di Indonesia, semisal qishash dan rajam. Dalam al-Qur’an sangat jelas dikatakan bahwa hukuman bagi pembunuh adalah qishash dan rajam bagi orang yang berzina (muhshan). Pertanyaannya, apakah hukum tersebut mesti dipaksakan di Indonesia? Yang mana Indonesia memiliki masyarakat yang multikulral dan sistem pemerintahannya berbeda. Menurut penulis, hukum seperti ini tidak perlu dipaksakan di Indonesia. Sebab akan menimbulkan kemudaratan jika akan diterapkan. Bisa jadi yang terjadi nanti adalah ketegangan antar umat beragama. Ketika hukum pidana Islam diterapkan tentu akan mengundang polemik bagi non-muslim.
Terkait masalah ini, kaidah tamyiz bayn al-wasail wa al-ghayah (bedakan antara sarana dan tujuan). Penulis lebih cenderung memahami bahwa qishash dan rajam hanyalah sebagai sarana untuk menciptakan keadilan dan efek jera. Apabila dalam suatu negara diputuskan hukuman lain yang berbeda dengan teks yang bersifat spesifik, maka hukuman tersebut harus dijalani dan dipatuhi selama ia mampu menjamin tujuan-tujuan umum syari’at.
Agenda besar para maqashidi adalah mengawal cita-cita dan tujuan syariat ini. Mereka harus mampu membuktikan bahwa syari’at Islam benar-benar rahmat lil ‘alamin. Dikatakan rahmat lil ‘alamin karena Islam tidak hanya memberikan manfaat untuk komunitas muslim saja, namun non muslim, tumbuhan dan binatang sekalipun. Oleh sebab itu, banyak ulama yang mengutuk keras tindakan teroris, kekerasan atas nama agama, diskriminasi perempuan, ekploitasi alam yang berlebihan, merusak lingkungan, membunuh hewan, dan lain-lain.[]
Leave a Review