scentivaid mycapturer thelightindonesia

Menimbang “Quo Vadis” Minangkabau

MENIMBANG QUO VADIS MINANGKABAU (2)
Foto bukudioleah dari akun Facebook https://www.facebook.com/mhd.irsyadi

Menimbang “Quo Vadis” Minangkabau

Bagaimana potret Minangkabau tempo dulu, sudah saya dengar dari cerita-cerita bijak di kampung dan pembacaan sejarah di lingkungan pendidikan, dirasa cukup membawa saya kepada nostalgia kehebatan masa lalu. Akan tetapi, jika pertanyaan muncul; bagaimana Minangkabau sekarang atau Minangkabau di masa akan datang. Dengan berat hati saya akan menunduk, dengan wajah bimbang dan keraguan bersemayam dalam hati dan pikiran. Segala gambaran ketidakpercayaan diri, dan kehilangan identitas itu menghantarkan pembacaan pertama saya terhadap buku “Menimbang Minangkabau” ini. Buku ini bercerita tentang saya, anak Minang yang dirundung kebingungan kultural, pudar menatap masa depan nagari. Lebih lanjut, anggapan saya justru menemui kesadaran yang berbeda. Menimbang Minangkabau tidak cukup dengan keluh-kesah dan kerisauan saja, lebih dalam lagi, upaya menimbang Minangkabau adalah proses batin, kerja kritis terhadap kompleksitas permasalahan yang melekat di tubuh Minangkabau itu sendiri, tetapi tidak pesimis menatap masa depan.

Melihat Minangkabau modern, sama dengan “mancaliak urang gaek babaju baru” (melihat orang yang sudah tua, memakai baju baru), baju yang baru tidak akan bisa menyembunyikan, tubuh yang sudah dipakai bertahun-tahun, sudah usang dimakan waktu. Tidak akan sekuat ketika muda dahulu. Begitupun adat Minangkabau, perubahan dan tantangan arus global menjadi tantangan tersendiri untuk dijawab. Upaya melakukan transformasi baru tanpa melepaskan nilai tradisional dan semangat yang mendasari merupakan usaha untuk tetap bertahan di tengah modernisasi dan arus global tersebut. Meski “mamancuang ndak sakali putuih mandayuang indak sakali sampai” (tidak instan), upaya sekecil apapun mesti tetap dan terus dilakukan.

Di tengah kemelut transisi tersebut, kumpulan tulisan esai, opini dan artikel dalam buku ini menjadi bentuk respons. Sebuah pembacaan awal atau catatan kritis terhadap peristiwa kebudayaan yang dialami. Ini merupakan album ingatan seorang anak nagari, bahwa pada satu setengah dekade (2003-2008) ada peristiwa kebudayaan yang semangatnya pernah dicatat secara personal. Peristiwa kebudayaan yang dimaksud di sini terangkum dan muncul dalam teks-teks diskursus seputar isu-isu adat, seni-budaya, spritualitas-keagamaan, dan kebangsaan yang ditulis, diterbitkan di beberapa media sejak 2003 hingga 2008. 

Baca Juga: Kata yang Tidak Tumbuh Menjadi Diri

Diantara ulasan yang dipaparkan buku ini tentang “Komunitas Adat dan Proyek Industri Otak yang Mangkrak”. Di tengah kompleksitas masalah yang hinggap di tubuh minangkabau, pertanyaan-pertanyaan terkait identitas dan kualitas cendekiawan Minang pasca reformasi menguap di tengah-tengah kecamuk, sehingga cendekiawan Minang pun ikut dipertanyakan kontribusinya terhadap adat, agama dan negara. Pada masa transisi tersebut. Mobilitas sosial, terutama pasca reformasi 1998, telah memunculkan beragam organisasi masyarakat, LSM, LBH, komunitas-komunitas, yang mengusung identitas kultur, etnis, HAM, bahkan agama yang pada satu sisi perlu dicurigai, jangan-jangan gerakan-gerakan sejumlah organisasi tersebut hanya ajang menularkan ekspresi; curi fokus; atau persinggahan para sarjana yang belum berkerja dan berkesempatan mengecap fasilitas negara secara layak, pada sisi lain menandakan kegelisahan generasi hari ini terhadap warisan kebudayaan mereka yang makin tidak berkarakter, perlu didekostruksi dan direkonstruksi lagi. Kecurigaan ini lebih lanjut dikritik dan dipaparkan pada catatan untuk Dewan Kesenian Sumatera Barat 2007-2010.

Identitas Buku

Judul Buku : Menimbang Minangkabau Kesenian, Spritualitas, dan Isu-isu Kebangsaan
Penulis : Zelfeni Wimra
Cetakan Pertama, Juni 2020
Perancang Sampul dan Isi: Harry ArafatPenyelaras Bahasa: Indrian Koto
Penerbit : Jual Buku Sastra (JBS) Jalan Wijilan, Gg. Semangat Nomor 10 Kraton Yogyakarta
Email    : jualanbukusastra@gmail.com
Kontak : +62 818 0271 7528
Berkerjasama dengan: Sehati Law Office, bakaba.co
Email    : puskalbangsa@gmail.com
Kontak : +62 857 6333 0762
ISBN     : 9786239216597

Penting dijelaskan, hal yang paling menarik dari sprit budaya Minangkabau adalah keberanian merombak sistem yang dilakukan atas dasar “baiyo batido” (asas musyawarah) tanpa menghancurkan sistem sebelumnya. Upaya pencarian jalan keluar terus diusahakan, kritik dan harapan pada lembaga pendidikan yang ada di Minangkabau (Sumbar), ditawarkan penulis sebagai titik temu antara kegelisahan sejarah dan kerisauan menatap masa depan anak nagari Minangkabau. Lembaga pendidikan diimpikan menularkan para cendekiawan baru yang berlian. Begitu juga dengan permasalahan lembaga kesenian di Sumatera Barat, terlepas dari permasalahan yang hadir, tetap menyimpan optimisme, bahwa sesungguhnya masyarakat kesenian sumbar tidak akan berhenti berdialektika dengan karya hanya karena kemacetan koordinasi, atau penyempitan ruang dalam mobilitas kepentingan kesenian.

Pendapat bahwa Minangkabau adalah ide yang penuh konflik. Minangkabau adalah sengketa yang tiada putus, memang tidak dapat terelakkan dari diskursus keminangkabauan mutakhir. Tetapi, mentalitas dan kepiawaian orang Minang dalam menghadapi konflik juga tidak bisa diragukan. Dengan tegas orang Minang mengungkapkan “basilang kayu di tungku, di sinan api mako kaiduik” (bersilang kayu di tungku, di sana api bisa/besar menyala). Lebih lanjut semangat yang dibangun adalah kesadaran konflik yang dari dahulunya sudah bersemayam dalam kerangka berfikir dan tingkah laku orang Minang. Harapan seperti ini menjadi sisi lain yang perlu diselami dari buku ini.

Baca Juga: Sikap Batin Masyarakat Minangkabau dalam Penyelesaian Masalah

Sebagai pembaca sekaligus yang mengikuti karya-karya penulis yang lain, buku “Menimbang Minangkabau” ini merupakan rekomendasi yang penting untuk dibaca dan diselami, menjadi pintu masuk untuk melihat, memandang, dan kemudian menimbang sejumlah diskursus yang pernah ada dan sedang terjadi dalam kehidupan orang Minang mutakhir, lebih lanjut, sebagai pemancing diskursus dalam rangka perwujudan harapan yang tersirat dalam falsafah bahwa Adat Minangkabau “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujang” (terpakai sepanjang masa). []

Mahlil Bunaiya
MAHLIL BUNAIYA, lahir di Batang Silasiah, kabupaten Agam, Sumatra Barat,09 Juni 1995. Sedang Menyelesaikan Studi Magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. mahlilbunaiya@gmail.com