“melalui sikap sosial yang tersirat, terpantul cahaya terang benderang, dan tak ada salahnya kita mengapresiasi sekaligus menjadikan kompas untuk menyeimbangkan kapal kehidupan”
Syekh Sulaiman Arrasuli yang akrab disapa Inyiak Canduang merupakan ulama kharismatik nan penuh daya pikat. Kharismatik tersebut hadir dari pandangan masyarakat yang menganggap beliau adalah seorang yang ketat terhadap laku ibadah. Baik itu ibadah vertikal maupun horizontal. Laku beliau tertuang dalam berbagai elemen, entah itu di surau, lapau, sakolah, pamarintahan, ataupun di lingkungan sosial.
Selain kuat dalam ibadah vertikal, Syekh Sulaiman Arrasuli juga kuat dalam ibadah horizontal. Pengalaman saya membaca beberapa karya beliau, seperti Nasihat Siti Budiman, Pertalian Adat dan Syara’, Sabil al Salamah, dan lain-lain, membuahkan imajinasi saya kepada membayangkan sosok inyiak muda sampai tuanya sebagai manusia yang memiliki pribadi transpersonal. Ibadah tidak hanya cukup jika selalu menengadah ke atas, tetapi perlu juga menyandingkannya dengan menjamah seluruh permasalahan umat. Sekira-kira begitu.
Kemarin saya membaca kitab inyiak canduang, bermaksud menghamburkan rindu kepada beliau yang terkubur lebih 50 tahun di tanah Canduang nan bertuah itu.
Kitab Sabil al Salamah, karangan beliau yang dicetak untuk kedua kalinya pada tahun 1934, di percetakan For De Kock, Bukittinggi, Sumatra Barat. Kitab yang lebih kurang 16 halaman itu berisi kumpulan wirid yang diajarkan oleh nabi Khidir kepada Sulaiman al taimi. Wirid yang sebelumnya diajarkan oleh nabi Muhammad Saw kepada nabi Khidir AS.
Di bagian awal, Syekh Sulaiman Arrasuli menjelaskan asal muasal wirid, sebagaimana paparan di atas. Di pertengahan sampai akhir kitab, Syekh Sulaiman menuliskan ganjaran pahala bagi mereka yang membaca wirid tersebut, kemudian dilanjutkan dengan menuliskan secara sistematis urutan wirid. Seperti karya beliau yang lain, kitab Sabil al Salamah ditulis menggunakan huruf arab melayu khas Minangkabau.
Uniknya, setelah memaparkan wirid dan mengakhirinya dengan tanggal dan nama beliau, di bagian cover belakang terdapat satu kalimat yang membuat hati saya tersentuh. Perasaan itu tidak hadir begitu saja, tetapi melalui proses perenungan yang sedikit panjang di suatu warung kopi daerah Yogyakarta. Perenungan yang menghasilkan kesimpulan adanya keseimbangan yang tercipta dan itu menjadi laku harian seorang ulama nan ahli syair itu. Keseimbangan antara relasi vertikal dan relasi horizontal.
“Keuntungan (penjualan kitab ini) untuk penolong membangunkan Sekolah Tinggi Tarbiyah Islamiyah Bukittinggi” begitu kira-kira tulisannya setelah dialihkan aksarakan. Satu kalimat ini saja bisa menjadi anti tesis terhadap mereka yang skeptis terhadap Inyiak Canduang sebagai ulama yang hanya berorientasi pada keuntungan individu dan penganut poligami yang taat saja. Jika ditinjau melakui psiko analisa, enunsiasi dari kalimat yang keluar semacam itu ada pesan tersirat yang ingin beliau utarakan, yaitu menggalakkan wirid sosial. Kutipan di cover belakang Sabil al Salamah tidak sama dengan sinopsis atau kutipan kata orang-orang hebat untuk menarik simpatisan pembeli sebagai bagian dari teknik marketing, tapi ia lebih dari itu. Ada kesadaran bermasyarakat yang hadir melalui “apa yang ada” dibalik teks tersebut.
Dan juga, keseimbangan itu terlihat dari isi dan cover kita tersebut. Substansi kitab berbicara mengenai bagaimana meningkatkan hubungan dengan tuhan (relasi vertikal) dengan wirid yang sesuai dengan syariat, sementara cover belakang berbicara mengenai kemanfaatan individu untuk kepentingan komunal (relasi horizontal). Kecenderungan sosial yang tinggi dituangkan melalui gerakan membuat ruang intelektual ini, beliau hadirkan kepada masyarakat. Karena dengan kecerdasan, entah itu kecerdasan berpikir, emosi, dan lainnya, satu bentuk masyarakat ideal dapat dihadirkan. Kesesuaian ini dapat diselaraskan dengan trilogi tema besar yang dibawa perahu PERTI, yaitu pendidikan, sosial, dan dakwah.
Tidak hanya pada karya Sabil al Salamah saja, di beberapa karya beliau, kecenderungan untuk wirid sosial melalui gerak dalam ranah intelektual juga kelihatan. Misalnya dalam kitab Dawa’ al Qulub. Kitab ini bercerita tentang kisah nabi Yusuf AS dengan Zulaikha beserta keluarganya. Uniknya, terdapat satu bab khusus yang berisi kritikan tajam kepada Angku Lareh semasa itu yang bersikap jauh dari kemerdekaan manusia yang termarginalkan; pribumi. Inyiak canduang menghantam dengan tombak kata-kata relung hati para pembaca, sekaligus memperingatkan angku-angku lareh agar jangan menyalahi amanah yang diberikan. Nampak sekali keterwakilan pandangan kaum marginal, yang tidak mau dibelenggu oleh tirani kekuasaan yang bobrok, seperti kekuasaan angku lareh yang bersumber dari kolonial Belanda.
Jika masih mau untuk meneguk wirid sosial Syekh Sulaiman, mari kita jelajahi karya beliau yang lain. Ada banyak karya beliau yang berkaitan dengan hubungan horizontal, dan tak lupa pula untuk menyisipkan pesan dan ajaran agama di dalamnya. Karya beliau antara lain: Nasehat Siti Budiman, Pedoman Hidup Di Alam Minangkabau, Pertalian Adat dan Syara’, dan masih banyak lagi. Semua itu hemat saya adalah representasi dari wirid sosial inyiak canduang.
Bahkan jika kita menjelajahi kata-kata orang tua di Canduang yang bertemu dengan beliau, akan kita dapati wirid sosial beliau seperti apa. Seorang antan (panggilan kakek di daerah Canduang) mengabarkan bahwa Inyiak Canduang berjasa untuk pengairan dari mata air yang berada di utara madrasah. Beliau meminta kepada Belanda untuk memberikan pipa yang kemudian disalurkan ke masjid, yang berada tepat di depan madrasah. Air tersebut tidak hanya dimanfaatkan oleh jamaah masjid dan anak siak saja, tapi juga dimanfaatkan oleh masyarakat yang berada di sekitar madrasah. Suatu sikap sosial yang patut diapresiasi.
Pada akhirnya, kita semua akan merenungkan keberadaan dan posisi kita sebagai manusia posmo yang memiliki ketimpangan relasi vertikal dan horizontal. Apakah hanya menguatkan salah satu saja (vertikal atau horizontal saja), atau mengikuti jejak langkah yang masih membekas dari kaki maha guru Persatuan Tarbiyah Islamiyah itu. Semua tergantung kepada kita. Merelakan integritas itu mengikuti jalur duniawi, atau menceburkan diri dalam kubangan mutiara ukhrawi.
Leave a Review