scentivaid mycapturer thelightindonesia

Merefleksikan Kembali Makna dan Hakikat Masjid di Masa Sekarang

Merefleksikan Kembali Makna dan Hakikat Masjid di Masa Sekarang

Buku Bagaimana Masjid di Masa Rasulullah dan Bagaimana Seharusnya Masjid di Masa Kini ini terdiri dari 141 halaman. Buku ini merupakan sumbangan pemikiran yang luar biasa untuk masyarakat terutama para aktivis masjid.

Ada beberapa pertanyaan penting yang telah dijawab dalam buku ini, yakni, apa pentingnya masjid untuk umat, dan bagaimana peran masjid dalam upaya memakmurkan masyarakat? Pertanyaan ini kelihatan berangkat dari kegelisahan tentang fenomena di tengah masyarakat. Pembangunan masjid lebih difokuskan pada pembangunan fisik dan lupa membangun ruh masjid, sehingga banyak orang gagap dalam memahami makna dan hakikat masjid hari ini.

Dulu orang memandang masjid adalah tempat ibadah dan tempat memecahkan masalah serta tempat menimba ilmu pengetahuan agama khususnya, bisa juga tempat belajar apa saja. Namun seiring dengan perjalanan waktu, pergeseran makna hakiki soal masjid inilah kemudian memicu Buya Hendri Junaidi, Lc. M.A untuk menuliskan hasil renungan mendalam menjadi sebuah buku.

Buku ini sampai ke tangan saya pada hari Sabtu sore tanggal 28 Januari 2023. Tak menunggu lama, buku tersebut langsung saya baca. Kata pengantar dipersembahkan oleh Ketua MUI Tanah Datar, saya baca pelan terasa dan terbayang bahwa buku ini sangat membantu masyarakat untuk memaknai ulang atau bahkan harus kembali meluruskan niat untuk menghidupkan kembali ruh masjid. Saking penasarannya dengan isi buku ini, sejak sore Sabtu sampai hari Ahad pagi saya berhasil menyelesaikan sekeping buku ini.

Sebagai pembaca, saya harus memberikan apresiasi atas terbitnya buku ini, buku ini ditulis dengan hati dan penuh kehati-hatian untuk menjernihkan masalah-masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat hari ini. Argumen-argumen dalam buku ini sangat mendalam karena diambil dari berbagai kitab primer dan cara menarik hukumnya sangat tepat sasaran.

Di sepanjang buku ini, tak ditemukan nada penghakiman tentang pihak yang benar dan pihak yang salah terkait persoalan masjid di masa kini. Melalui buku ini para pembaca justru diajak untuk berfikir dan merenungkan trend macam apa yang terjadi di tengah masyarakat hari ini? Apa yang ingin ditunjukkan oleh masyarakat Islam dengan megahnya masjid? Dan apa pengaruh masjid yang megah terhadap ibadah yang dilakukan? Kenapa para guru-guru kita dulu yang hanya berdiam di surau biasa bahkan jauh dari keramaian tapi amalannya seiring pula dengan akhlaknya yang luar biasa bisa jadi teladan?

Jujur, sebenarnya beberapa tahun ini saya sering berfikir dan merenungkan kenapa masyarakat berlomba-lomba untuk mempermegah masjid? Di media sosial, misalnya, ketika saya menemukan video masjid lama dirobohkan, saya merinding. Padahal masjid lama itu masih layak untuk dijadikan tempat sholat dan masih kokoh menampung kegiatan masyarakat. Jika masyarakat membutuhkan ruang penting dalam masjid tentu saja para pengurus dan masyarakat sama-sama berembuk bagaimana caranya untuk menambahkan ruang yang diperlukan, tanpa harus mengganti dengan yang baru. Ketika segala persoalan dimusyawarahkan tentu saja akan ditemukan solusi.

Saya yakin dan percaya kerancuan masyarakat dalam memahami masjid adalah sebuah kesalahan, namun kesalahan tentu saja bisa diperbaiki ketika kita sama-sama mau berbenah diri dan saling berbagi untuk mulai melakukan pembenahan. Lantas bagaimana caranya untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi? Jika kita membaca buku ini, rasa-rasanya bisa lah kita dapat bayangan tentang jalan yang akan ditempuh, langkah yang akan diayun. Buku ini memberikan tawaran jalan keluar yang mudah dipahami. Menurut pendapat saya, buku ini memberikan sitawa-sidingin penawar kegelisahan yang selama ini cuma berhenti pada kegelisahan saja. Ibarat rumah tampak, jalan tak tahu.

Melakukan pembenahan tentu saja tidak harus total akan tetapi berangsur memperbaiki keadaan dan memilih jalan benar. Pelan-pelan melakukan perubahan atau bertransformasi adalah bentuk ikhtiar kembali pada jalan yang benar.

Lalu, apa yang menarik dari buku ini sehingga saya berpendapat seperti di atas?

Buku ini dimulai dari gambaran bagaimana Rasulullah Saw membangun masjid. Rasulullah membangun masjid tidak mulai membangun dari bentuk fisiknya. Akan tetapi mulai membangun dari menghidupkan ruh dan fungsi masjid. Apa itu yang menjadi ruh masjid? Ruh masjid adalah memakmurkan masjid dengan mengelola dan menghidupkan masjid sesuai dengan tata kelola yang telah dilakukan oleh Rasulullah. Intinya masjid tidak boleh menjadi beban jamaah.

Meskipun pada zaman Rasulullah para jamaah dari suku Aus dan Khazraj menyambut kedatangan dan mendukung Nabi untuk membangun masjid, Nabi tetap memilih untuk menerapkan prinsip ‘kemandirian’. Kemandirian masjid bertujuan agar penghargaan masyarakat terhadap masjid itu benar-benar murni karena masjid tidak menjadi beban jamaah, apalagi kalau masjid selalu dalam keadaan berhutang hanya untuk memperindah fisik, sementara ruh masjid tidak dibangun sama sekali.

Tak kalah menariknya di Bab III, ada tiga hal yang beliau sampaikan. Pertama, masjid adalah pemersatu umat agar tidak terpecah-belah. Meski dalam masyarakat ada yang berbeda pendapat namun perbedaan itu jadikan untuk menghargai pendapat orang terhadap pilihannya dalam beribadah. Tidak ada yang perlu diributkan. Kiranya kita harus malu pada Rasulullah kalau ada yang baper gara-gara berbeda pendapat dengan pengurus atau imam masjid, lalu memilih tidak lagi pergi ke masjid itu. Seyogyanya, yang tak berilmu sadar akan kebodohannya dan belajar dari kebodohannya, yang berilmu pengetahuan rela berbagi pengetahuan dengan cara santun dan meluruskan pemahaman yang bengkok.

Kedua, tidak menjadikan mimbar masjid untuk mengungkit masalah-masalah khilafiyah yang tidak akan pernah selesai sampai kapanpun. Masalah khilafiyah jika didiskusikan dengan tenang dan damai bisa memberikan ilmu pengetahuan, pencerahan serta pendewasaan dalam perbedaan. Namun akan berbahaya bagi umat jika masalah khilafiyah dijadikan untuk mengangkatkan satu kelompok dan merendahkan kelompok lain. Kalau ini yang terjadi, saya yakin ujung kaji untuk meraih keredhaan Allah tidak akan didapatkan.

Ketiga, berebut menjadi pengurus masjid. Menjadi pengurus masjid memiliki posisi penting di tengah masyarakat meski tidak akan menguntungkan secara materi, namun posisi pengurus masjid itu menggiurkan. Jadi meluruskan niat untuk menjadi pengurus masjid itu sangat perlu. Jika ada salah niat dalam mengurus masjid maka perpecahan dan kerenggangan di tubuh masyarakat dipastikan akan terjadi. Bab akhir buku ini banyak bicara bagaimana seharusnya pengurus sebuah masjid yang bisa dijadikan sebagai role model, bagaimana dia menemukan cara memakmurkan masyarakat dan menghidupkan ruh masjid. Saya rasa orang yang ingin mengetahui lebih banyak bagaimana jadi pengurus masjid yang bisa dijadikan role model, apa saja kegiatan yang harus diadakan, bagaimana cara masjid mengelola perawatan masjid dan sebagainya sangat dianjurkan membaca buku ini.

Kesimpulannya, bagaimana baiknya masjid masa kini? Tentu saja harus menjaga ruh masjid yakni, menjaga kemandirian, menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas sosial kemasyarakata serta masjid harus menjadi sarana pemersatu umat. Inilah ruh masjid sesungguhnya, bukan hanya kemegahan masjid.

Identitas Buku

Judul : Bagaimana masjid di Masa Rasulullah dan Bagaimana Masjid di Masa Kini
Penulis : Yendri Junaidi, Lc, M.A, dia adalah seorang dosen di STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, serta Ketua Bidang Fatwa dan Hukum MUI Tanah Datar serta salah satu anggota Dewan Pendidikan Kota Padang Panjang.
Penerbit : Haura Utama (2023)

Devi Adriyanti
Alumni Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta