Peringatan hari santri ini banyak membawa energi positif bagi kita kaum santri di Minangkabau tapi apakah harus membeo pada istilah santri, dan kita mulai asing dengan istilah anak siak? Harus beginikah memaknai ke-Santri-an kita?
Oleh: Andrial Putra
“Bak pimpiang tumbuah di lereng, kamano angin nan kareh ka situ rabah ujuangnyo (bagaikan ilalang tumbuh di tebing, kemana angin kuat ke sana mengarah pucuknya)”.
Peribahasa tua ini sudah sering diucapkan, tetapi masih segar untuk direnungkan ulang. Kita dapat mengutipnya untuk pengantar renungan para santri di Sumatera Barat. Dalam rangka menghayati kembali peranan santri terhadap kemanusiaan.
Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober tentu bukan sebatas perhelatan. Penghayatan nilai-nilai sejarah dan pengabdian sama berharganya dengan upacara perhelatan. Setidaknya begitulah hal-hal ideal yang dituangkan ke dalam logo dan tema hari santri “berdaya untuk menjaga martabat kemanusiaan”.
Sebagai seorang santri dari Sumatera Barat (Minangkabau), saya membaca tema ini dengan batin yang risau. Saya tidak pesimis tentang masa depan ataupun mengutuk masa lalu santri di Minangkabau. Saya hanya menimbang kembali daya kita untuk memanusiakan manusia.
Istilah Anak Siak Hampir Antik
Peringatan hari santri ini banyak membawa energi positif bagi kita kaum santri di Minangkabau. Itu harus kita aminkan. Tetapi pelan-pelan kita telah pula membeo pada istilah santri. Lalu hampir asing dengan istilah anak siak.
Harusnya istilah anak siak ini harus terus dirawat. Bukan semata-mata karena dua suku kata itu. Anak Siak bukan sekadar berarti pelajar agama yang mengaji kitab-kitab klasik. Kalau sesederhana itu, kita boleh menggantinya setiap waktu.
Nilai-nilai sejarah yang terekam bersama istilah anak siak itu berharga dan mesti diwariskan. Karena anak siak yang berarti murid dari urang siak (ulama) merekam salah satu teori awal masuknya Islam di Minangkabau; bahwa Islam ke Minangkabau dibawa dari Siak (sekarang menjadi salah satu wilayah administratif Provinsi Riau) melalui jalur darat terus menuju darek Minangkabau.
Sekalipun teori masuknya Islam ke Minangkabau lewat jalur darat itu perlu bukti lebih akurat, sebagaimana dikutip Hamka (1908-1981) dalam Sejarah Islam di Sumatera. Lalu dinukil ulang Azyumardi Azra (1955-2022) dalam Surau;Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Namun, kita punya tanggung jawab untuk tidak membiarkan perangkat diskursusnya lenyap.
Saya tidak bisa melupakan peristiwa mengisi pengajian di sebuah sekolah agama. Kala itu saya aktif menyapa para pelajarnya dengan sebutan anak siak. Momen yang dihadiri oleh keluarga besar sekolah itu menjadi berharga sebab sebelum sesi saya berakhir, salah seorang gurunya menyela “ketika ustadz menyebut anak siak, saya teringat pengalaman mengaji di Jaho beberapa tahun silam”.
Tentu saja komentar itu tidak spontan membuat saya merasa datang dari masa silam. Tetapi komentar itu membuat saya merenung. Istilah anak siak hampir terasa antik dalam komunitas asalnya di Minangkabau hari ini. Ia hanya dirujuk untuk keperluan mengingat masa lalu. Tidak leluasa digunakan antar waktu.
Dalam komunitas beragama Minangkabau hari ini menyebutkan status sebagai anak siak tidak nyaman lagi. Ada tekanan menambahkan ulasan setelah kata anak siak itu. Sementara istilah “santri” yang kita naturaliasi lebih cepat dimengerti.
Saya tidak dalam rangka membenturkan kedua istilah ini (anak siak dan santri). Lalu harus memenangkan salah satunya. Sebaliknya saya mengajak menggunakan kedua istilah itu dengan selaras. Karena memelihara kelokalan, sama pentingnya dengan menyambungkan hubungan kepada komunitas yang lebih besar, untuk meneguhkan daya dan basis kita.
Warisan Ketokohan Memudar
Pada malam sebelum hari santri kemaren (21/10), kami berbincang dengan beberapa sahabat seputar daya anak siak (santri) Minangkabau. Pembicaraan itu tentu saja bukan standar penilaian untuk seluruh komunitas anak siak di Minangkabau. Namun tidak pula terlalu remeh untuk direnungkan.
Kami mengingat dan menyebutkan beberapa nama besar ulama Minangkabau. Boliau Syekh Abdullah Halaban, Boliau Syekh Saad Mungka, Buya Ruslan, Inyiak Canduang, Inyiak Jaho, Inyiak Parabek, Inyiak DR (Ayah Buya Hamka), adalah diantara nama-nama yang tidak luput dari obrolan itu.
Kami membincangkan pudarnya tokoh-tokoh itu dalam ingatan masyarakat. Selain yang mewariskan sekolah, beberapa dari ulama kenamaan itu hanya diingat maqam dan nama yang tertulis di batu nisan. Yang memilukan sebagian masyarakat di lingkungan jasad ulama itu berbaring, sudah lupa identitas ulama kita itu. Menyedihkan tapi nyata.
Sebagai anak siak yang menjaga mata rantai keilmuan, kita gagal menjaga kehormatan ulama kita. Guru dari pada guru-guru kita. Bahkan tidak berlebihan mengasumsikan anak siak hari ini banyak tidak tahu nama-nama besar itu. Atau tahu tapi abai dengan lokasi maqam mereka. Atau tahu nama-nama besar itu, tahu maqamnya, tapi belum pernah menziarahinya.
Aktivitas ziarah itu penting untuk menjaga warisan ketokohan. Tidak hanya ritual, aktivitas itu juga mengapikan kesadaran masyarakat bahwa di tengah-tengah mereka terbaring seorang tokoh penting pada zamannya. Kesadaran itulah yang akan kita syukuri sebagai upaya menjaga dan mewariskan ketokohan.
Bertumpu pada kesadaran itu, ketokohan akan menjadi tauladan yang mewarnai sikap masyarakat. Masyarakat tetap tercerahkan tanpa harus diceramahi dari waktu ke waktu. Dan di masa depan, kita tidak kehilangan kalimat kalau berniat menyusun buku biografi ulama.
Naluri Berlomba
Sampai pada tahun 2019, pondok pesantren penyelenggara pendidikan agama di Sumatera Barat tidak kurang dari 200-an. Sebagaimana yang tercatat pada pangkalan data pondok pesantren kementerian agama. Jumlah anak siak (santri) yang tercatat mencapai puluhan ribu.
Data itu hanya angka-angka selama anak siak tidak punya iklimnya. Selama tetap hampir tidak ada pembahasan yang benar-benar diciptakan untuk kebutuhan umat. Penasaran umat terhadap pendapat anak siak akan terus menurun.
Wajar saja kalau itu berlaku. Sebab setahu saya, belum ada forum anak siak -yang jumlahnya puluhan ribu itu- bertemu untuk selain ajang perlombaan. Perlombaan menjadi satu-satunya ajang resmi yang mempertemukan anak siak dari berbagai sekolah agama di Sumatera Barat.
Kebiasaan berlomba membuat silaturrahmi kita hambar. Kita selalu menyimpan hasrat menjadi pemenang. Tanpa kepentingan itu seakan tidak terlalu penting bertemu.
Pantas saja kita melewatkan beberapa hal penting. Hal-hal berharga dari ulama masa silam terabaikan. Ulasan-ulasan terhadapnya hanya dibicarakan di kampus dengan atribut perguruan tinggi. Kita sebagai anak siak hampir tidak lagi mendiskusikannya. Kita dibuai lamunan menjadi yang terbaik.
Terakhir, saya suka mengutip sindiran Inyiak Canduang/Buya Siradj dalam buku Pedoman Hidup Di Alam Minangkabau Menurut Garisan Adat Dan Syarak; “Kalau duduak di lapau, atau di simpang jalan rami, kecek tidak lain surat koran. Pinjaik patah di Eropa, bareh taserak di tanah Japang, lalu dihituang dibilangnya. Rumah mandehnyo nan lah condong kok atapnyo bantang-bantangan, lantainyo jungkang-jangkangan, belum pernah dilihatnyo (Kalau duduk di warung, atau di persimpangan jalan ramai, obrolan tidak beralih dari surat kabar. Peniti patah di Eropa, beras tumpah di tanah Jepang, dihitung dan dibilangnya. Rumah ibunya yang sudah condong, atapnya yang sudah usang, lantainya yang sudah rapuh, belum pernah dilihatnya)”.
Leave a Review