scentivaid mycapturer thelightindonesia

Merindukan Sosok Pahlawan

SEJUMLAH PHOTO PAHLAWAN
Ilustrasi/Sumber: Kompasiana

10 November adalah satu bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Hari itu, terjadi perperangan akbar di Surabaya antara para pejuang dengan pasukan sekutu yang dipimpin oleh Inggris. Para pahlawan mati-matian di medan perperangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam pertempuran itu, banyak menewaskan pejuang, sebuah perjuangan yang dihiasi oleh darah dan air mata. Bung Karno pernah menyebutnya sebagai sebuah peristiwa heroik dengan semangat macan. Berdasarkan historis tersebut, maka ditetapkanlah sebagai hari Pahlawan Nasional.

Sebuah kebanggan bagi bangsa Indonesia, karena tercatat dalam tinta sejarah Indonesia pernah memiliki generasi emas para pejuang yang rela darahnya tumpah demi cintanya terhadap bangsa dan negara. Bangsa tanpa pahlawan sama artinya bangsa tanpa kebanggaan. Jika sebuah bangsa tak mempunyai tokoh yang bisa dibanggakan, bangsa itu faqir harga diri. Ia bahkan bisa menjadi bangsa kelas teri. Oleh sebab itu, setiap bangsa mestinya memiliki tokoh yang disebut pahlawan.

Selain itu, sosok pahlawan juga sangat penting karena ia mencurahkan inspirasi dan semangat. Inspirasi untuk selalu melakukan keberanian menumpas ketidakadilan. Inspirasi agar bangsa ini terus bangkit dan melakukan perubahan. Inspirasi agar bangsa lebih mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Karena menurut KBBI pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani.

Baca Juga: Masa Tenang Waspadai Kampanye Terselubung

Perjuangan belum berakhir, Indonesia belum merdeka. Indonesia masih terjajah. Musuh Indonesia saat ini adalah kemiskinan, kebuntuan intelektual, kesewenang-wenagan para pemimpin, korupsi, keterbelakangan  dan lain sebagainya.

Jumlah penduduk miskin tak ada habis-habisnya bahkan tambah meningkat. Padahal, pembangunan terus dilakukan. Sekarang kemiskinan bertambah 0,86 juta dari September 2014 sebesar 27,73 juta, hingga Maret 2015 mencapai 28,59 juta. Ini merupakan bukti bahwa pemerintah saat ini gagal memberikan proteksi ke masyarakat miskin. Menurut data World Bank, Indonesia menempati peringkat sembilan dalam daftar negara dengan jumlah orang miskin terbesar di dunia.

Jika kita lihat ke pinggir perkotaan sana atau ke pelosok desa masih banyak masyarakat yang belum merasakan kemerdekaan. Mereka masih ditindas oleh kelaparan, keterbelakangan, belum mendapatkan tempat tinggal yang layak, masih banyak yang membikin gubuk di bawah kolong jembatan atau pun rel kereta api dan lain sebagainya. Menurut hasil perhitungan Bappenas dan BPS, dari 74.093 desa di Indonesia, sebanyak 20.167 desa atau 27,22 persen tergolong desa tertinggal, 51.022 desa atau 68,86 persen tergolong desa berkembang, dan 2.904 desa atau 3,92 persen tergolong desa mandiri.

Katanya Indonesia negara kaya. Negara yang kaya, namun bodoh. kekayaannya dirampas oleh pihak asing. Tanah Papua tanah yang kaya emas, misalnya. Seandainya emas Papua dikelola dengan baik tentu tidak akan membuat masyarakat Papua menderita. Tapi faktanya Papua masih menjadi daerah tertinggal. Pendidikanya masih terbelakang dan pembangunanya masih tegolong rendah. Dan begitu juga saat ini bencana kabut asap, para masyarakaat menderita ditanahnya karena ulah pihak yang tidak bertangguang jawab demi memperkaya diri mereka.

Baca Juga: Membaca Kemunculan Jamaah Shalahuddin, Lembaga dakwah Kampus (LDK) Tertua di Indonesia

Dan begitu juga korupsi, sepertinya ini sudah menjadi kultur bagi pengurus negara ini, baik di tingkat yang paling rendah RT sampai ke level elit negara. Mereka berlomba-lomba memperkaya diri dengan mengunakan jabatan yang disandangnya. Hampir diseluruh jajaran, baik yudikatif, legislatif, maupun eksekutif, terjangkit penyakit korupsi kronis. Bahkan baru-baru ini terdengar kabar bahwa hampir semua partai politik yang kadernya terlibat kasus korupsi.

Namun yang yang lebih mengerikan lagi, Indonesia juga tidak lagi memiki sosok hero untuk keluar dari penjajahan sosial tersebut. Apakah para punggwa bangsa ini terlena dengan kemerdekaan sehingga lalai dan tak tahu harus berbuat apa dalam mengisi kemerdekaan ini. Indonesia tak lagi memiliki sosok yang disegani oleh negara asing. Indonesia miskin pahlawan dan tak lagi memilki kebangaan.

Pahlawan Idaman: Melawan Korupsi

Justifikasi agar keluar dan bangkit dari rezim ini sudah mesti dilakukan karena sesungguhnya rakyat sangat menantikan kemerdekaan yang sesungguhnya. Bangsa Indonesia merindukan sosok pahlawan. Pahlawan yang berani memberantas korupsi, berani memperbaiki perekonomian negara ini, siap tempur menumpas ketidak adilan dan menyelamatkan masyrakat dari penderitaan. tokoh yang mengayomi,  memberi inspirasi dan kebanggan bagi bangsa Indonesia.

Baca Juga: Meneguhkan Kearifan Lokal

Sudah saatnya para politisi dan punggawa negara ini bersatu dan bekerja sama untuk menyelamatkan negeri ini. Singkirkan keegoisan diri, kelompok, RAS dan singkirkan keegoisan politik praktis. Sudah saatnya berbicara bagaimana masa depan Indonesia ini.

Dalam waktu dekat ini, Indonesia akan melangsungkan Pilkada. Di sini ditumpangkan harapan rakyat Indonesia. Agar para pemenang dalam pesta demokrasi di daerah itu menjadi sosok pahlawan bagi daerahnya, melahirkan primus interpares. Jika dari daerahnya telah  memiliki pahlawan, mudah-mudahan di nasional juga muncul para pahlawan. Dan yang terakhir, di  momen yang bersejarah ini perlu sejenak direnungkan bahwa sesunggunya pahlawan yang berjuang pada zaman dahulu jelas punya cita-cita mulia agar bangsa ini dapat berdiri kokoh dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Mereka rela berkorban agar anak cucunya tidak diremehkan dan dipandang sebelah mata  oleh bangsa lain. Kita semua memang harus bisa bangkit bukan sebagai negara juara satu termiskin,terkoruptor, terbodoh dan terbelakang namun menjadi negara yang nomor satu dalam kesejahteraan, keadialan, kecerdasan, kemajuan serta kejujurannya.[]

Habiburrahman Rakik
Alumni Ponpes Ashabul Yamin, saat ini kuliah di jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.