scentivaid mycapturer

Mestinya, Duka Itu Tak Datang Bersamaan

Mestinya, Duka Itu Tak Datang Bersamaan
Ilustrasi dok. https://www.istockphoto.com/id/foto/pengamat-nomor-5-gm1153637630-313392214

Tak seperti biasanya. Gadis Konjo[1] itu tampak gelagapan melihat warga berbondong-bondong ke rumahnya. Pemandangan ganjil menuntunnya lekas berlari. Tepat di mulut pintu, ia menyaksikan seseorang berbaring di ruang tamu tertutupi sarung. Buru-buru ia melompat. Ia membuka sarung itu. Tampak wajah ayahnya pucat, tubuhnya dingin terbujur kaku. Gadis itu menggelinjang, rasa perih di hatinya tak terbendung. Rupanya, sang ayah mengakhirkan usianya di angka lima puluh tahun. Mendadak dada gadis itu tersengal-sengal melihat ayahnya terbaring tak bernyawa. Setelahnya, gadis itu pun semaput.

Setelah siuman, gadis itu mulai menata getir perasaannya. Berserah pada takdir yang menimpa ayahnya. Bertahun-tahun sebelumnya gadis itu bersampan di atas samudera cinta. Samudera dengan ombak bergulung-gulung yang ada pada lelaki perkasa itu, ayahnya. Namun, pada akhirnya yang bernyawa harus berpulang. Mendayung di atas samudera cinta Tuhan menuju alam keabadian. Gadis itu hendak menyusul, namun Tuhan belum mengizinkan. Masih banyak hal yang harus ia selesaikan di dunia ini. Meskipun ayanya telah jauh di seberang sana. Ia harus tetap bersampan.

Warga mulai mengusung keranda. Gadis Konjo, ibu, dan kakaknya pun mengantar jenazah sang ayah ke pusara. Tubuhnya bergetar hebat tatkala ayahnya perlahan-lahan dimasukkan ke dalam liang lahat. Ia berusaha menahan laju air dari kelopak matanya yang nyaris melabrak tanpa jeda.

Apalah daya, tubuh sang ayah kini ditelan habis oleh mulut pusara. Perlahan tangan gadis itu beringsut, menyisir lekuk-lekuk batu tanah gundukan di hadapannya. Gadis itu mengangkat tangan seraya berdoa untuk keselamatan sang ayah yang bersampan ke alam keabadian. Ia menjatuhkan kepalanya di batu nisan ayahnya. Beberapa kali ia menubrukkan ke batu itu. Ia bisikkan sesuatu di sana. Suaranya pelan, hampir tak terdengar di antara angin siang yang sedikit kencang.

“Papa. Bisakah aku saja yang menggantikanmu di pusara ini?” Lirihnya. Lama gadis itu terdiam setelah ia meminta bertukar tempat dengan ayahnya. Ia tak menunjukkan sama sekali tanda beranjak dari pusara. Akhirnya, sang ibu merayunya untuk menenangkan pikiran di rumah.

***

Malam harinya. Saat rembulan menyala. Langit berawan tipis. Puncak Lompo Battang bermandi cahaya. Tumpukan-tumpukan awan begitu menawan di pelupuk mata. Kidung jangkrik terdengar lirih. Di sudut kamar yang mungil, kerlingan mata gadis yang bernama Maidah itu berkaca-kaca mengerling gambar ayahnya terpampang rapi di etalase. Potret itu mulai lapuk selapuk perasaannya yang getir. Kerap kali kerinduan menyeruak dalam sendi-sendi ingatannya. Rasa perih laksana belati yang menyayat dadanya. Belati itu jua mencungkil hatinya layaknya psikopat. Sesudah itu, imajinasinya melayang-layang. Kadang terkekeh-kekeh, kadang pula tersengut-sengut. Tampak layaknya orang gila. Sesudah itu, ia normal kembali.

Malam itu, Maidah tak kuasa menahan laju pikiran yang kadang menyeretnya masuk dalam cerita yang menggembirakan, kadang juga mengajaknya mengingat hal-hal konyol bersama ayahnya. Hal di mana ia bebas tertawa terbahak-bahak manakala saling beradu kentut dengan ayahnya. Kadang kentut ayahnya mengalahkan kentutnya. Kadang pula kentutnya yang menang. Sekumpulan peristiwa-peristiwa itu kini menjadi kenangan dalam genangan duka yang menganga. Tak ada kentut yang bisa diadu lagi. Hanya jatah duka yang tertancap di hatinya.

Meskipun ayahnya tak lagi menyata di alam fana, namun Maidah selalu merapalkan anak-anak doa untuk sang ayah. Malam itu ia berdongeng untuk dirinya sendiri. Kenangan-kenangan indah bersama sang ayah menyempurnakan dongengnya sebelum ia mengakhiri malam dan hanyut dalam mimpi. Ia memohon pada Tuhan agar diberi kesempatan bersua di alam mimpi dengan ayahnya. Walaupun esoknya saat terbangun hanya mampu beranjangsana ke pusara ayahnya untuk menabur bunga kamboja.

***

Sangat jelas. Kualitas rasa berbeda setelah ayahnya tiada. Biasanya pagi selalu diawali dengan elusan hangat dari tangan ayahnya. Tangan itu selalu membangunkannya untuk mencicipi seduhan kopi berlabel “Senandung Kopi Kahayya”. Produk asli dari desanya, desa Kahayya. Kiwari, pagi itu berbeda. Maidah dibangunkan oleh suara keras kentongan dari arah Barat yang berjarak 500 meter dari rumahnya. Ia tersentak. Dari bunyinya, jelas kentongan itu dipukul berulang kali dan cepat sembari meneriakkan “usir, usir usir! Mereka buat malu kampung.” Bunyi kentongan dan teriakan itu semakin mendekat. Siapa gerangan yang diusir, pikirnya. Segera ia berlari ke teras. Hampir berbarengan dengan ibunya yang keluar dari dalam rumah sambil membawa ember berisi bunga kamboja yang disiapkan untuk menabur di pusara ayahnya. Keadaan kacau balau. Rupanya warga justru mendatangi rumah mereka. Kerumunan warga sudah menyemut hingga di ujung bawah tangga.

“Ada apa bapak-bapak, ibu-ibu?” Tanya ibu Maidah.

“Anakmu si Marsan buat malu desa Kahayya. Dia bawa lari anak orang.” Jawab salah satu warga.

“Siapa yang dibawa lari?” Tambah ibu Maidah penasaran.

“Itu anakmu si Marsan bawa lari anak pak Rusman, Tiara. Laporan itu kami terima dari Daeng Seru. Tindakan anakmu itu bikin malu desa. Sebelum pak Rusman datang mengamuk ke desa ini, lebih baik kalian pergi saja. Kalau kalian tetap ngotot tak mau pergi, warga akan membakar rumah kalian.” Ancam kepala desa.

Maidah yang sedari tadi menguping percakapan mereka sontak mengucurkan air mata. Ia menyeka bulir air mata di pipinya. Bagaimana mungkin di tengah duka yang masih menganga atas kepergian ayahnya kemarin, kini harus menanggung duka berikutnya. Ia tak akan  meninggalkan kampung halamannya. Kepolosan Maidah membuatnya melompat ke luar membela ibunya.

“Kalian jahat. Kami tidak mungkin meninggalkan rumah yang telah dibangun ayahku. Kami bertahun-tahun bermukim di rumah ini. Ini tempat kami berteduh satu-satunya. Apakah kalian tega mengusir kami yang sedang berduka? Mana rasa kemanusiaan kalian?”

Celoteh Maidah tak dihiraukan oleh warga. Apa pun alasannya. Salah satu keluarga mereka telah membuat malu desa Kahayya. Kakaknya telah menciptakan aib dengan membawa lari anak pak Rusman. Namun, Maidah meragukan tuduhan warga. Kakaknya belum tentu tersangka. Ia menduga kakaknya hanya korban fitnah. Tetapi, ia juga mempertimbangkan ucapan warga. Tak mungkin warga menuduh sebab laporan itu diterima dari Daeng Seru yang dipastikan kejujurannya. Selama ini Maidah tahu Daeng Seru adalah sahabat ayahnya. Akhirnya, Maidah menjatuhkan dugaan kuat itu pada malaikat pembagi duka. Baginya,  tampaknya malaikat sudah mulai keliru dalam membagi jatah duka. Mestinya, duka itu tak datang bersamaan. Kematian ayahnya dan pengusiran warga.

Maidah beringsut menuruni anak tangga. Ia membelah kerumunan warga. Ia berlari ke arah puncak Lompo Battang. Ia akan menggugat malaikat pembagi duka di hadapan Tuhan. Pontang-panting ia berlari dengan terompah Swallow-nya yang sudah hampir putus karena gundukan-gundukan kerikil tajam. Puncak itu semakin dekat. Tanjakan semakin kuat membebani kakinya. Ia terjatuh separuh perjalanan. Namun, ia tak akan menyerah untuk mencapai puncak itu. Baginya, perlu berdiri di puncak agar Tuhan tidak tuli mendengar gugatannya. Akhirnya, ia pun menginjakkan kakinya di puncak Lompo Battang. Ia pun mulai membaca surat dakwaan untuk malaikat pembagi duka.

“Wahai Paduka pemilik segala keadilan. Hari ini aku menggugat. Aku akan bacakan surat dakwaan untuk malaikat pembagi duka.” Maidah mengadu.

“Kesalahan pertama. Malaikat ini keliru dalam tugasnya membagi duka. Sebab kami harus dirundung duka secara bersamaan. Kesalahan kedua. Malaikat ini tak tahu rasanya berduka. Sebab ia bukan manusia, maka ia tak pantas seenaknya membagi duka. Kesalahan ketiga. Malaikat ini datang membagi duka tanpa mappatabe[2] kepada kami. Mestinya ia mengetuk pintu rumah kami terlebih dahulu. Kesalahan keempat. Malaikat ini tidak mencerminkan keagungan-Mu sebagai Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Maha Adil. Mohon Paduka menerima surat dakwaan ini dan menghukum malaikat pembagi duka dengan seberat-beratnya.” Celoteh Maidah.

Maidah membacakan surat dakwaan itu dengan lantang dan lugas. Ia meyakini rerumputan, bebatuan, binatang, angin, gemericik air sedang meruncingkan pendengarannya. Ia meyakini alam mendengarkan seksama tiap poin gugatannya. Alam pasti tahu jatah duka yang keliru untuknya. Alam pasti berpihak padanya. Usai membacakan surat dakwaan itu, bisikan Tuhan tak menggema di langit. Ia telah menggugat namun Tuhan dan para penghuni langit sedang membisu.

“Kenapa Paduka tak berbicara? Jangan-jangan Paduka yang keliru mengutus malaikat pembagi duka. Baiklah. Jika Paduka tak menyahut, aku juga menantang-Mu di puncak Lompo Battang ini. Aku akan mengambil jatah dukaku sendiri. Aku yakin Paduka tak mampu menghalangi rencanaku.” Tantang Maidah.

Maidah memutuskan bertarung dengan Tuhan yang paling berkuasa mengutus malaikat pembagi duka yang keliru membagi duka. Ia bersumpah tak akan membiarkan dukanya menjadi urusan Tuhan dan malaikat pembagi duka. Ia hanya mau mengambil dukanya karena ia sendiri yang menghendakinya. Ia akan mematahkan tulangnya sendiri. Ia yakin itu adalah duka yang dipilihnya. Alasan itulah, ia lompat dan menukik tajam dari puncak Lompo Battang ke jurang Donggia. Namun, duka patah tulang yang dikehendakinya tak terjadi.

Pasti ada yang tak beres dalam pertarungan ini. Maidah telah menghitung secara detail kedalaman jurang Donggia kisaran 200 meter ke bawah. Permukaan tanah sangat padat. Berat badannya 65 Kilogram. Kecepatan gaya gravitasinya 10 m/s. Maidah yakin semestinya tulang-tulang di tubuhnya patah. Harusnya ia menang sebab memilih dukanya. Tampaknya Tuhan telah berbuat curang.

Setelah pertarungan itu, Maidah pun tak lagi berniat menggugat malaikat pembagi duka. Tak ada gunanya. Ia telah kalah. Ia pasrahkan takdir itu pada Tuhan saja. Tapi, akhirnya ia tahu kuasa Tuhan di alam ini. Duka bukan haknya memilih.

“Terserah Paduka saja.” Gumamnya.

Maidah pun mulai meyakini pasti ada rahasia di balik duka yang diterimanya. Barangkali ini cara Tuhan mendewasakan pikirannya. Ia pun kembali ke rumah dan merayu ibunya bergegas meninggalkan kampung halaman saja daripada menantang Tuhan di puncak itu. Keluarga itu pun berdomisili ke Kajang. Berat meninggalkan kampung halamannya. Tapi, Maidah yakin bahwa yang diutus Tuhan pada episode kali ini adalah malaikat pembagi bahagia.


[1] “Konjo” merupakan salah satu suku yang berada di Sulawesi Selatan.

[2] Meminta izin.

Wahyu Ciptadi Pratama
Wahyu Ciptadi Pratama, lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 02 September 1995. Ia menyelesaikan studi S1-nya di Institut Agama Islam As'adiyah Sengkang Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat Islam tahun 2019. Saat ini, ia juga berstatus sebagai mahasiswa penerima program beasiswa PBSB Kemenag di Universitas Islam Bunga Bangsa Cirebon Fakultas Manajemen Pendidikan Islam Jurusan Manajemen Pendidikan Islam. Selain itu, ia pernah mondok di PP Syekh Muhammad Ja'far Banyorang Kabupaten Bantaeng, Sulsel.Lalu, di PP Nurul Falah Borongganjeng Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Lalu, di PP As'adiyah Sengkang Kabupaten Wajo, Sulsel. Terakhir, di PP Darul Ulum Ad-Diniyah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ia juga aktif sebagai relawan PMI di Kabupaten Wajo, serta, menjabat sebagai Wakil Ketua BSO Moragister Kemenag Periode 2021-Sekarang. Dan, saat ini bekerja sebagai Wartawan di Bimas Islam Kementerian Agama RI. FB: Wahyu Ciptadi Pratama Ig: Wahyu Ciptadi Pratama Twitter: Wahyu-Mho