scentivaid mycapturer thelightindonesia

Metafora Terjemahan Bahasa Arab ala Pakiah di Minang

Metafora Terjemahan Bahasa Arab ala Pakiah di Minang
Ilustrasi/Dok.Nurul Yaqin El Imrany

Metafora Terjemahan Bahasa Arab

Tulisan ini hendak merefleksikan sebuah keunikan dalam ihwal penerjemahan beberapa kosa kata bahasa Arab yang terdapat dalam al-Qur’an atau kitab-kitab ulama klasik oleh Pakiah (baca: Anak Siak/Santri) di Minangkabau. Tanpa bermaksud menggeneralisasi, tulisan ini hanya akan mengulas sedikit pengalaman saya ketika mengaji di Surau (baca: Pesantren). Namun, meskipun begitu, saya sangat yakin bahwa kasus yang akan dibicarakan di sini juga banyak terjadi di setiap penjuru Minangkabau bahkan Indonesia, mungkin.

Sebagai bukan penutur dan pemangku bahasa Arab, tentu menjadi sebuah keniscayaan bagi orang Minang untuk menerjemahkan al-Qur’an dan kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab ke bahasa yang dimengerti, guna dapat memahami dan menguras ilmu yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana yang juga dilakukan oleh non-Arab manapun.

Di Indonesia umumnya, proses ini berlangsung dengan cara meng-down to earth-kan teks-teks berbahasa Arab tersebut ke bahasa lokal masing-masing. Jika di Jawa, ke bahasa Jawa, jika di Minang, ke bahasa Minang. Begitu seterusnya. A. H. Johns menyebut fenomena ini dengan vernakularisasi. Ringkasnya, teks-teks bahasa Arab tersebut diterjemahkan ke bahasa lokal di mana teks itu hadir agar bisa dipahami dengan mudah oleh si pembaca.

Uniknya, di Minang, khususnya di daerah saya, lebih khusus lagi di Pondok kami, Pondok Pesantren Nurul Yaqin, ada sedikit keanehan. Beberapa kosa kata dalam bahasa Arab tidak hanya diterjemahkan dengan memindahkan makna dalam bahasa aslinya (Arab) ke bahasa Minang saja, tapi terjemahan itu dihadirkan dalam bentuk memetaforkannya (majaz). Contohnya, kata “tasliyah”, “ikhtilaf”, dan “mujrim”. Jika hanya diterjemahkan secara alih bahasa Arab-Indonesia saja, maka makna kata-kata tersebut adalah: hiburan/penghibur; perbedaan/perselisihan; dan Orang berdosa. Jika Arab-Minang, maka maknanya; hiburan/pembujuk; perbedaan/perselisihan/; dan Urang Badoso.

Baca Juga: Kearifan Lokal Pengajaran Bahasa Arab di Surau Minangkabau

Sayangnya, kita tidak menerjemahkannya demikian. Kata “tasliyah” diterjemahkan sebagai “pisang sasikek” (sesisir pisang). Metafora terjemahan ini mengandaikan makna bahwa Pisang Sasikek adalah hiburan atau tanda suka bagi siapa saja yang sedang bersedih hati atau gundah gulana. Saya tidak tahu persis bagaimana konteks sejarah yang membentuk metaforisasi hiburan dengan “pisang sasikek di Minang masa lampau. Pastinya, hal ini bukan milik generasi milenial sekarang. Karena kalau milik generasi milenial, tentulah metaforanya akan menggunakan “Pizza Sakotak”, atau “Martabak pakai topping”.

Kata itu biasanya kita temui dalam Tafsir Jalalain bersanding dengan kalimat “li al-nabiyyi shallallahu alaihi wa sallam”. Maka, biasanya dibaca “Pisang sasikek bagi Nabi Shallallaaahu ‘alaihi wa sallam.” Tentu hal ini akan jadi repot kalau tidak dimaknai secara majazi, karena saya tidak yakin apakah Nabi Saw. akan benar-benar terhibur dengan “Pisang Sasikek”. Untungnya kekayaan orang Minang dengan tradisi kato bamisa-nya menimbulkan kepekaan secepat kilat terhadap makna-makna sebenarnya dari kata-kata majazi.

Adapun “ikhtilaf”, biasanya dimaknai dengan “Kuok Kambiang” (kuap kambing). Pelukisan lafal majaz di sini jadi lebih unik lagi. Perselisihan dilukiskan dengan kambing menguap. Kenapa? Karena, bisa dibayangkan, proses kambing menguap adalah dengan menyilangkan rahang atas dan rahang bawahnya. Sehingga membentuk sebuah penggambaran akan suatu kesatuan yang sedang berselisih dan berbeda arah.

Sedangkan lafal “mujrim” dimaknai dengan “Urang Jerman” (Orang Jerman). Saya tak tahu persis apa landasan metaforisasi yang sangat rasis ini. Sekadar menduga, mungkin karena kedekatan lafal ja-ra-ma dengan Jerman. Atau mungkin juga karena alasan masa lalu Jerman dengan Hitler dan Partai Nazinya. Sekali lagi, Ini hanya sekadar dugaan tak beralasan.

Tadarusan rutin Tafsir dan Tarekh saat bulan Ramadan di Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan

Hari ini, pemaknaan seperti yang telah dijelaskan di atas, hanya kami temui ketika tadarusan rutin Tafsir dan Tarekh saat bulan Ramadan di Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan. Karena hanya saat itu kami bertemu dalam satu majelis (mangaji duduak) dengan senior-senior dan guru-guru lama yang biasa menggunakan makna-makna majazi tersebut.

Baca Juga: Tarbiyah Islamiyah Sarang Seniman Menerjemahkan Zakar dengan Cinonot

Terlepas dari itu semua, sangat disayangkan kalau tradisi pemaknaan majazi tersebut harus rela dikubur perkembangan zaman yang sudah jadi milik generasi milenial nan ingin serba praktis. Lebih-lebih kenyataan pahit ini dibantu oleh negara melalui program Musabaqah Qiraatil Kutub Nasional, di mana para santri seluruh Indonesia harus berlomba memaknai kitab-kitab dengan bahasa Indonesia yang sesuai EYD. Demi keseragaman dan nasionalisme, katanya. Tak ayal kalau para Pakiah di Minangkabau hari ini juga harus terseret arus besar itu.[]

Jawa, 11 Mei 2020.

Metafora Terjemahan Bahasa Arab

Shafwatul Bary
Alumni PP Nurul Yaqin Ringan-ringan