Etnis Minangkabau dikenal sebagai komunitas yang kuat memegang identitas sebagai muslim dan pemegang teguh aturan-aturan adat. Ajaran Islam sangat merasuk dalam kehidupannya, sehingga Islam dapat menjadi parameter dalam lingkup sosial-budaya mereka. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam pepatah nan sangat indah; Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato Adat Mamakai (Adat Bersendikan Syari’at, Syari’at Bersendikan Kitabullah, Syari’at Berkata Adat Memakai), yang bermakna ajaran Islam menjadi dasar perilaku etnis Minangkabau di setiap lini kehidupannya.
Dalam sejarahnya, menyatunya Islam dalam ruang sosial etnis Minangkabau merupakan bentuk penerimaan nilai yang sama sekali baru ke dalam budaya yang sudah terwujud secara mapan (Syarifuddin Amir, 1982). Namun, kehadiran budaya baru ke dalam budaya yang sudah ada ini tidak meruntuhkan nilai-nilai dan menghilangkan jati diri budaya lama. Dalam pertemuan dua budaya baru sangat memungkinkan terjadinya ketegangan. Sebagaimana dalam akulturasi yang berproses di generasi kedua keturunan India Amerika yang pada gilirannya terjadi konflik di antara keluarga.
Dalam budaya Minangkabau, ketegangan tersebut juga tak terhindarkan dengan terjadinya pergolakan antara respons kalangan tradisional terhadap gerakan pembaharu. Bahkan sampai terjadi peperangan (Zaim Rais, 1994).Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, Islam dan budaya Minangkabau justru mengalami perpaduan yang saling menguntungkan. Islam dijadikan sebagai bagian dari identitas sosial untuk memperkuat identitas yang sudah ada sebelumnya. Kesatuan Islam dan adat Minangkabau pada proses berikutnya melahirkan makna khusus yang berasal dari masa lalu dengan menyesuaikan kepada prinsip yang diterima oleh keduanya. Pertemuan arus kebudayaan melahirkan model adaptasi yang berbeda, bahkan sama sekali baru dengan yang sudah ada sebelumnya.
Minangkabau; Islam Nusantara yang “Sempurna”
Unsur budaya yang universal dan sekaligus menjadi isi dari semua kebudayaan adalah sistem religi, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian dan sistem teknologi peralatan. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut mencakup seluruh kebudayaan manusia dan, kombinasi dari ketujuh unsur ini pula yang menentukan nilai-nilai kehidupan dalam suatu masyarakat (Koentjaraningrat, 1990).
Dalam kebudayaan Minangkabau, unsur-unsur tersebut dikemas menjadi sebuah konsep yang disiapkan secara turun-temurun yang pada gilirannya konsep ini menjadi modal sosial orang Minangkabau di manapun mereka hidup, dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan, kesejahteraan, dan keharmonisan. Konsep ini dalam budaya Minangkabau di simpul menjadi tali tigo sapilin (tali tiga seikat) yang terdiri dari agama, pendidikan, serta nilai kekeluargaan yang, konsep itu melekat dan dilekatkan pada diri setiap individu Minang.
Islam yang dianut oleh etnis Minangkabau adalah contoh Islam Nusantara yang sempurna. Dengan proses akulturasi yang berjalan beriringan, maka dua arus kebudayaan yang bertemu melahirkan integrasi. Jika ini disebut sebagai model, maka dapat pula menjadi sebuah solusi. Pembentukan identitas yang sudah selesai kemudian memerlukan klarifikasi dari unsur luar. Di tahap awal tentu akan menimbulkan konflik. Tetapi dalam proses yang ada justru terjadi proses restrukturisasi (Meike Watzlawik, 2012). Ini pula yang muncul dalam beberapa ritual yang ada dalam kebudayaan Islam Minangkabau.
Tradisi Islam Arab yang hadir tidak serta merta secara utuh diterima sebagaimana apa yang sudah ada. Tetapi dilakukan penyesuaian dengan ritual dalam tradisi budaya Minangkabau, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip keagamaaan dalam Islam maka ritual tersebut tetap dipertahankan dengan melakukan penyesuaian secara harmonis. Penerimaan Islam sebagai ajaran, tidak menghilangkan “wajah lokal” yang diwarisi secara turun temurun. Model adaptasi seperti ini kemudian lahir dari adanya strategi penerimaan yang memungkinkan adanya integrasi dua budaya yang bertemu. Dengan adanya pengakuan masing-masing kehadiran dua budaya selanjutnya memunculkan penyatuan.
Masuknya Islam dengan membawa ajaran “baru” bagi kebudayaan Minangkabau kemudian memengaruhi tradisi yang sudah ada. Namun berubahnya budaya yang sudah ada merupakan penyesuaian atas pandangan dan pengakuan kebenaran agama yang diterima. Kemudian budaya Minangkabau hadir dalam bentuk nilai dan standar yang baru pula sesuai dengan hasil pertemuan dua budaya. Keselarasan dan sinkronisasi tersebut dapat terjadi karena antara agama Islam dan budaya Minangkabau dapat digandengkan dengan terbukanya pertimbangan para pelakunya. Walaupun wujud diferensiasi, tetapi ada identitas kolektif yang bermakna kemudian digunakan untuk memaknai tradisi masa lalu dengan kehadiran Islam sebagai agama yang baru diterima.
Temuan Irfan Ahmad menunjukkan adanya kritik yang tidak menempatkan tradisi sebagai bagian beragama. Padahal dalam pembentukan nilai selalu saja masa lalu masih memiliki posisi yang khas dalam setiap kebaruan yang muncul (Irfan Ahmad, 2011). Secara fungsional, tradisi bisa saja menolak perubahan dan menggantinya dengan ajaran agama yang datang. Pada sisi lain, justru legitimasi untuk kemudian mengikat budaya yang ada dengan legitimasi pandangan hidup, keyakinan, pranata dan aturan dengan kerangka Islam terbentuk menjadi sebuah kesatuan yang baru.
Dua pola yang muncul dalam akulturasi budaya dengan agama adalah bentuk dialogis dan integratif. Jika dalam budaya Jawa, Islam dan budaya mengambil pola dialogis, maka sebaliknya dalam tradisi Melayu mengambil bentuk integratif. Pada budaya Jawa, Islam berhadapan dengan budaya Kejawen bahkan muncul dalam bentuk ketegangan ketika Islam mulai menyebar di masa kolonial. Ada pula resistensi dari budaya lokal dan tradisi yang sudah mengakar. Sehingga muncul perbedaan pandangan antara penafsiran legal dengan penafsiran mistis. Respons terhadap keyakinan dalam budaya senantiasa menunjukkan toleransi yang memadai, kalau tidak dikatakan sebagai penerimaan (Jonathan Mark Crosby, 2011).
Baca Juga: Ranah Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau
Sementara pola integrasi, Islam berkembang dan masuk menjadi penyanggah terpenting dalam struktur masyarakat, termasuk dalam urusan politik. Gambaran bentuk integratif ini terlihat dalam budaya Melayu. Islam terbentuk menjadi karakter bagi kelangsungan budaya di lapisan masyarakat. Ini semakin dipermudah dengan tersedianya struktur kerajaan dan kesultanan yang masih tetap berdiri berdampingan dengan nilai-nilai demokrasi. Secara kultur kemudian terjadi model yang berjalan sebagaimana struktur masyarakat yang ada. Sebagaimana diajukan pertama kali oleh Durkheim dengan melihat posisi agama dan masyarakat. Dalam perkembangan masyarakat Australia, situasi ini berada dalam kondisi di mana arus modernisme berlangsung. Agama tetap menjadi salah satu tumpuan, termasuk dalam kondisi ketika tidak menerima salah satu agama apapun.
Adapun dalam budaya Minangkabau, Islam melembaga menjadi kekuatan sosial. Penghargaan terhadap pribadi orang Minangkabau ditentukan pada kemauan dan kemampuannya menjaga Kato nan Ampek; Raso, Pareso, Malu, dan Sopan (Kata yang Empat; Rasa, Periksa, Malu, dan Sopan). Pelembagaan Kato nan Ampek ke dalam kehidupan sosio- kultural dan kemudian mengamalkan secara intens yang pada gilirannya melahirkan harmoni kehidupan. Kelindan ini menegaskan bahwa citra orang Minangkabau sebagai penganut agama yang taat dan juga pemegang teguh ajaran adat yang telah diwariskan leluhur secara turun temurun, adalah tipikal Islam Nusantara yang sangat mengesankan. Mulder memandang bahwa ini dapat saja terjadi karena adanya keserasian dalam tradisi keagamaan sehingga terserap dalam tradisi yang sudah mapan. Sekaligus ajaran agama yang datang dalam statusnya yang asing menemukan lahannya dalam budaya lokal (Niels Mulder, 1999).[]
*Tulisan ini dapat juga dibaca di islamkepulau.id dengan judul Islam Nusantara (di) Minangkabau
Jadi, Islam di Minangkabau adalah Islam yg paling nusantara. Karena paling khas dengan perpaduan budaya matrilinealnya. Padahal Islam secara nasab menganut patrilineal. Sedangkan orang Minangkabau memproklamirkan ABS SBK