Minangkabau dapat diartikan sebagai salah satu kelompok etnis yang ada di Nusantara yang memiliki bahasa dan adat istiadat tersendiri. Dari segi pengaruh kebudayaan, Minangkabau tidak hanya meliputi kawasan daratan Sumatera Barat akan tetapi juga meliputi pantai barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, separuh daratan Riau, bagian barat Jambi, bagian utara Bengkulu, dan bahkan Negeri Sembilan Malaysia. Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang egaliter dan demokratis serta terkenal menganut adat matrilineal (garis keturunan berdasarkan keturunan Ibu). Suku Minangkabau telah melalui proses perjalanan panjang sampai hari ini dengan segala kekayaan falsalahnya. Namun dalam ini saya tidak akan bercerita soal sejarah lahirnya nama Minangkabau ataupun asal usul nenek moyang orang Minangkabau itu sendiri.
Awal Mula Masuknya Islam ke Minangkabau
Berkaitan dengan awal mula masuknya Islam ke Minangkabau, terdapat perbedaan pendapat tentangnya. Ada yang berpendapat bahwa Islam masuk ke Minang sekitar pertengahan abad ke 14. Namun pendapat ini kemudian terbantahkan oleh pernyataan Buya Hamka dalam bukunya “Ayahku” mengatakan bahwa (berdasarkan almanak Tiongkok) pada tahun 674 Masehi (42 tahun setelah Nabi wafat) telah didapati satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera Barat. Lebih lanjut Hamka mengatakan bahwa pada tahun 1514, berdiri sebuah kerajaan Islam di Aceh oleh Sultan Ali Al-Mughayat Syah. Kerajaan Aceh yang kedua itu kemudian menjadi “Benteng Islam” terkuat melawan Portugis, yang kekuasaan kerajaannya saat itu sudah meliputi daerah Tiku, Pariaman, Padang dan Salido.
Ada pula pendapat lain mengatakan bahwa masuknya Islam ke Minangkabau ditandai dengan pulangnya Syekh Burhanuddin Ulakan, Pariaman (w. 1691 M) ke kampungnya pada tahun 1680 M setelah belajar di Aceh kepada seorang ulama besar saat itu yakni Syekh Abdurrauf Singkel. Namun pendapat ini kurang tepat karena Islam sudah masuk ke kerajaan Pagaruyuang pada tahun 1600 Masehi (satu abad sebelum Syekh Burhanuddin Ulakan). Hal itu ditandai dengan telah berkuasanya seorang raja Pagaruyuang beragama Islam saat itu yang bernama Raja Alam Alif.
Dahulu sebelum Islam datang, Minangkabau sudah memiliki aturan sendiri yang disusun secara teratur. Kedatangan Islam ialah memperkokoh peraturan yang ada. Islam diterima di Minangkabau secara damai tanpa ada konflik dan peperangan sedikitpun. Seiring berjalannya waktu, Islam pun ikut mengambil peranan dalam menyusun adat tersebut dengan jalan mufakat. Keputusan yang diambil dengan jalan mufakat atau musyawarah itulah setinggi tinggi keputusan, sebagaimana pepatah berbunyi, “bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat”. Dalam hal ini, keputusan bukanlah berdasarkan suara terbanyak “separuh tambah satu” melainkan harus bulat atau disetujui oleh keseluruhan orang yang kemudian terkenal dalam pepatah “bulek sagolongan, picak salayangan”.
Hukum-hukum dalam syariat tidaklah dijalankan langsung begitu saja, kalaulah tidak melalui mufakat, sesuai dengan pepatah yang berbunyi “syara’ mangato, adat mamakai”. Maksudnya hukum yang dikatakan oleh syara’ secara tegas itu haruslah dijalankan dan diperkuat oleh adat melalui jalan mufakat. Dan tentunya ini akan menjadi nilai positif serta kekuatan besar bagi syara’ sebab, hukum-hukum yang dikatakan oleh syara’ tadi akan menjadi undang-undang adat yang harus dilaksanakan. Sederhananya, adat Minangkabau disusun, dipakai dan dijadikan alat oleh Islam untuk melancarkan kehendaknya dalam mengatur masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Dalam proses penyusunan undang-undang adat itu, Islam tidak menerima adat secara total atau menolaknya seratus persen. Mana adat yang sesuai dengan ajaran Islam serta memiliki nilai-nilai baik maka diterima oleh Islam (upaya seperti ini bisa disebut dengan “‘urf” dalam istilah ushul fiqh), sedangkan adat yang jelas bertentangan dengan syariat Islam maka dengan tegas Islam menolaknya. Namun ada pengecualian terhadap beberapa perkara seperti larangan menikah sesuku dan sistem pewarisan harta pusaka.
Baca Juga: Mengapa Harus ABS-SBK?
Falsafah “Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”
Ketika disebut kata “Minangkabau” maka yang langsung terbayang di kepala adalah Islam. Kata “Islam” tidak bisa dilepaskan dari adat Minangkabau atau orang yang bersuku Minang itu sendiri. Maka tak heran jika kemudian sering terdengar kalimat “Minangkabau berarti Islam, bila ada orang Minang yang tidak beragama Islam maka dia bukan orang Minangkabau”. Kalimat ini lahir dari hasil penafsiran terhadap adagium yang sangat bernilai filososfis itu, “Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang kemudian disingkat menjadi ABS-SBK.
Lahirnya istilah “Adaik Basandi Sayarak, Syarak Basandi Kitabullah” dilatarbelakangi oleh konflik yang terjadi pada akhir abad ke-19 antara kaum ulama dan kaum adat di Minangkabau yang pada puncaknya meletuskan perang Paderi. Konflik atau perpecahan antara kedua belah pihak ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya karena kemunduran semangat dan jiwa alam Minangkabau, semakin rapuhnya hubungan antara agama dan adat, dan sebagainya. Ditambah lagi adanya hasutan adu domba dari pihak penjajah Belanda yang ingin mengambil alih kekuasaan terhadap Minangkabau. Longgarnya aturan-aturan adat saat itu merupakan celah bagi berlakunya kembali adat-adat lama jahiliyyah, seperti sabung ayam, judi, minum tuak, dan sebagainya. Ya, inilah yang membuat geram kaum ulama saat itu yang kemudian melakukan pemberantasan dengan cara keras. Gerakan-gerakan pemberantasan atau perlawanan ini “terinspirasi” dari gerakan pemberontakan kaum Wahabi di Makkah ketika itu. Terlepas dari perbedaan pendapat apakah kaum ulama (kaum paderi) menganut paham Wahabi atau bukan, yang pasti gerakan Kaum Paderi telah menyumbang banyak dalam upaya menyebarkan dan mempertahankan Islam, mempertalikan adat dengan syarak, serta berjuang keras memerangi Belanda selama enam belas tahun lamanya (dari tahun 1821 sampai 1837).
Adapun konflik yang terjadi antara kaum ulama dan kaum adat pada akhirnya berbalik arah kepada kompeni Belanda sendiri. Hal ini disebabkan karena munculnya kesadaran dari kedua belah pihak, bahwa mereka adalah bersaudara, sedangkan musuh yang sebenarnya harus diperangi adalah kaum penjajah Belanda. Hal ini tentunya juga tidak bisa dilepaskan dari peran kaum cendekiawan (cadiak pandai) untuk mempersatukan kaum adat dan ulama. Mereka sadar bahwa perpecahan antara sesama hanya akan membuat lemah alam Minangkabau. Oleh karenanya, perdamaian antara kedua belah pihak wajib adanya, yang selanjutnya perdamaian itu diproklamirkan di suatu tempat bernama Bukit Marapalam. Kemudian dikaranglah piagam perdamaian yang berbunyi:
1. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
2. Syarak Mangato, Adat Mamakai
3. Adat-adat yang bertentangan dengan syarak (sabung ayam, judi, minum arak, dll) harus dihabiskan. Sedangkan aturan adat yang tidak berlawanan dengan syarak harus terus dilestarikan (seumpama larangan nikah sesuku dan sistem pewarisan harta pusaka).
Piagam sumpah setia tersebut diperkokoh dengan rangkaian upacara pemotongan kerbau lalu dagingnya dimakan, darahnya “dicacah”, tanduknya dibenamkan ke tanah, dimulai dengan alfatihah dan diakhiri dengan doa. Siapa yang melanggar sumpah akan dimakan biso kawi, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat, di tengah-tengah digirik kumbang. Artinya hidupnya sengsara dan tidak berkah, bahkan lebih dari itu.
Baca Juga: Ranah Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau
Apa makna dari ABS-SBK?
ABS-SBK dapat dikatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum di Minangkabau, sebagai dasar berpikir dan pandangan hidup orang minangkabau. ABS-SBK adalah seluruh adat yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau harus sesuai atau bersendikan (basandi) kepada syariat Islam, yang pada gilirannya didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah (syarak basandi kitabullah).
Lalu apakah pengertiannya hanya sampai disitu? “Syarak” yang bagaimana kah yang dimaksud dalam ABS-SBK tersebut?
Seorang Ulama besar Minangkabau yang juga ahli adat, bernama Syekh Sulaiman Arrasuli atau yang akrab disapa Inyiak Canduang (1871-1971 M) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Syarak” pada adagium ABS-SBK tersebut adalah agama Islam dalam I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah (mengikut paham Syekh Abu Hasan `Ali al-Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al-Maturidi), sedangkan dari segi fikih bermazhabkan kepada al-Imam al-Syafi’i atau Syafi’iyyah. Dan terakhir, bertasawuf. (Lihat: Buku Ayah Kita karya KH. Bahruddin Rusli).
Terkait Ahlussunnah wal Jamaah, sebagaimana dalam hadis sahih, bahwa Nabi bersabda yang artinya: “Bahwasanya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu. Para Sahabat yang mendengar ucapan ini langsung bertanya: Siapakah yang satu itu Ya Rasulallah? Nabi pun menjawab: Ialah orang yang berpegang (beri’tiqad) dengan peganganku (i’tiqadku) dan pegangan sahabat-sahabatku” (HR. Al-Tirmidzi dalam Sahih Tirmidzi).
Adapun yang dimaksud satu firqoh pada hadis di atas adalah Ahlussunnah wal Jamaah yang mengikut rumusan (paham) Abu Hasan al-Asy`ari dan Abu Mansur al-Maturidi. (Lihat: Ihtihaf Sadatul Muttaqin karya Imam Azzabidi). Sedangkan yang dimaksud 72 golongan di antaranya adalah: 22 aliran Syi’ah, 20 aliran Khawarij, 20 aliran Mu`tazilah, 5 aliran Murji`ah, 3 aliran Najariyah, 1 aliran Jabariyah, dan 1 aliran Musyabbihah. (Lihat: I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah karya Buya Sirajuddin Abbas).
Selanjutnya, syarak yang dimaksud dalam ABS-SBK adalah bermazhabkan kepada al-Imam al-Syafii. Mengapa harus mazhab Syafii? Karena mazhab ini merupakan mazhab yang paling moderat dibandingkan mazhab yang lain, sekaligus dipakai oleh mayoritas penduduk muslim di Indonesia. Maka tak heran jika kemudian mazhab ini ikut mempengaruhi cara pandang dan pola pikir umat Islam di Indonesia dalam memahami agama tak terkecuali masyarakat Minangkabau sendiri. Oleh sebab itu, ironis kiranya jika orang Minangkabau yang kokoh berpegang teguh dalam I’tiqad ASWAJA dan mazhab Syafi’iyyah ini dianggap sebagai masyarakat yang intoleran, eksklusif, radikal dan sebagainya. Berpegang teguh di sini adalah dalam ranah akidah dan amaliah-ibadah. Sedangkan dalam urusan sosial? Silahkan saja terbuka (open minded) dan berpandangan jauh ke depan. Ya, dengan prinsip yang seperti inilah kemudian akhirnya melahirkan anak-anak Minangkabau yang berpikir dan berjiwa besar, katakanlah seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang), Syekh Haji Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul), Buya Hamka, Bung Hatta, Haji Agus Salim, Muhammad Nasir, Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, dan lain-lain.
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Sulaiman Arrasuli, sang tokoh sentral dari Kaum Tua sekaligus pendiri organisasi Perti di Minangkabau, bahwasanya mazhab Syafii telah berurat berakar dan mendarah daging pada bangsa ini. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa upaya mendongkel-dongkel syafi’iyyah adalah merupakan suatu pelanggaran dalam hukum adat, sesuai pepatah yang berbunyi: “mangguntiang nan lah bunta, manyumbiang nan lah rato (menggunting barang yang bundar, menyumbing barang rata). Ya, beliau tegas dalam “kaji” tapi tetap terbuka dalam ranah sosial dan perkembangan zaman. Beliau sangat tidak suka kepada orang yang berpaham bak baling-baling di atas bukit, ke mana angin berarah kesana pula ia menghadap. Artinya tidak istiqomah dalam bermazhab. Terakhir, ulama besar Ahlussunnah wal Jamaah itu telah meninggalkan wasiat bagi kita, masyarakat Minangkabau, pengikut Ahlussunnah wal Jamaah dan Syafi’iyyah semuanya. Wasiat itu berbunyi, “Jalan jan diasak urang lalu, cupak jan dipapek rang manggaleh, kaji jan diubah pakiah singgah (Jalan jangan digeser oleh pemakai yang lewat, takaran jangan dikurangi oleh pedagang, agama jangan sampai dirobah oleh musafir kemalaman/orang yang baru paham agama). Namun, sangat disayangkan hari ini ada segelintir orang yang mencoba “membelokkan dan memperkosa” makna yang terkandung dalam “Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” itu sesuai dengan kepentingannya. [] Wallahu a’lam.
Leave a Review