Oleh: Ramadhanur Putra (Putera Matua, Kabupaten Agam – Mahasiswa PAI UMY)
Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri lahir di bumi Minangkabau, Sumatera Barat. Apalagi dalam dekade belakangan ini Sumatera Barat hampir tidak pernah absen dalam dinamika keagamaan Indonesia. Tentu saja, ini menjadi konsekuensi moral ‘urang awak’ yang hidup dengan falsafah “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” dalam rangka menjaga moralitas umat beragama di negara kebinekaan ini. Di samping itu, secara historis Sumatera Barat dikenal sebagai rahimnya para agamawan, negarawan, dan ilmuwan sehingga dorongan dari dalam untuk menjaga identitas itu harus tetap dipertahankan serta ditingkatkan.
Perihal dialektika, itu adalah ciri khas masyarakat di tanah kelahiran proklamator bangsa ini (Moh.Hatta). Keinginan berkumpul masyarakat Minangkabau adalah keinginan untuk berdialektika, bukan berkonflik. Sungguh pun dalam batas tertentu “konflik” belum tentu buruk, justru pemicu lahirnya argumen-argumen, sebagai jalan keluar. Karena itu, dalam pepatah adatnya dikenal istilah, “bersilang kayu ditungku, maka api baru menyala”.
Kentara dalam istilah ini bahwa konflik yang dimaksud adalah naluri dialektika masyarakat Sumatera Barat itu sendiri. Dalam pepatah lain disebutkan, “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mupakaik”. Dengan mengedepankan prinsip musyawarah, masyarakat Sumatera Barat selalu punya keinginan untuk berdialektika dalam rangka membangun sebuah peradaban. Saya kira, itulah yang kemudian menjadi ihwal Sumatera Barat tidak pernah diam dalam agenda-agenda politik keagamaan lokal maupun nasional.
Baca Juga: Langgam Minang dan Jeritan Pancasila di Perapian Buya Syafii
Peran Kaum Muda Minangkabau
Sudah tidak asing lagi dalam telinga kita tentang euforia kaum muda sebagai generasi yang dicanang-canangkan untuk membangun peradaban. Dalam beberapa topik hangat belakangan, baik itu perihal politik ataupun narasi keagamaan nasional, kaum muda Minangkabau tampak nimbrung dan antusias. Jelas saja, itu adalah bentuk sikap yang tepat bagi kaum muda memberanikan diri menyelam perihal permasalahan ini, ketimbang sibuk dengan hal-hal yang menghabiskan waktu hanya dengan sekadar pargoy, bermedsos ria tanpa substansi, dan memikirkan diri sendiri.
Berdasarkan data empiris yang penulis temui di lapangan, banyak kaum muda Minangkabau yang berpartisipasi aktif dalam menanggapi isu-isu nasional, seperti; soal Pancasila, perkara azan, logo halal, dan isu-isu lainnya. Tentu saja ini sudah menjadi ciri dari kaum muda Minangkabau itu sendiri sebagai generasi “nan capek kaki, ringan tangan” (cepat kaki ringan tangan). Namun, perihal pepatah sebelumnya kaum muda juga harus memperhatikan “capek kaki indak panaruang, ringan tangan indak pamacah” (Cepat kaki tak tertarung, ringan tangan tak memecah).
Maka, sudah gamblanglah di tengah kita semua bahwa memang begitulah idealnya kaum muda sebagai subjek dalam membangun sejarah yang waras dan berperadaban. Kaum muda Minangkabau haruslah progresif dan revolusioner sebagai identitas jati dirinya, bukan kaum muda yang pragmatis, fanatik, ikut-ikutan, sontoloyo, menghabiskan waktu dengan joget-joget di depan kamera berharap imbalan like semata, karena ini bukanlah ciri kaum muda Minangkabau yang diharapkan.
Dalam dua dimensi tadi, kaum muda Minangkabau sebagai generasi penerus dan juga generasi yang lahir dari daerah berbudaya adat alam Minangkabau harus mampu mengelaborasikannya dengan tepat dan akurat. Maka di antara keduanyalah titik moderat sebagai anak muda Minangkabau akan kita temui.
Sebagai bagian dari kawula muda Minangkabau sekiranya kita perlu untuk mempertahankan kearifan lokal ini dengan prinsip-prinsip moderat itu. Moderat yang dimaksud adalah bagaimana generasi muda Minangkabau sebagai generasi adat mampu merespons isu-isu keislaman, kebangsaan, dan kemanusian sebagaimana mestinya. Adapun spesifikasi moderat yang penulis maksud adalah sebagai berikut;
1. Maukua tinggi jo bayang-bayang (Mengukur tinggi dengan bayang-bayang)
Bukan untuk mengerdilkan atau bagaimana, seharusnya kawula muda perlu introspeksi diri. Krisis identitas sedang melanda kaum muda Minangkabau hari ini, entah itu identitas anak muda sendiri sebagai “parik paga dalam nagari” ataupun sebagai pelanjut estafet kepemimpinan yang berintegritas dan juga berkualitas. Sehingga, kaum muda tidak mudah hanyut dalam fanatisme terhadap ke-Minangkabau-annya yang megah. Atau dalam istilahnya, “kama angin kancang, kasitu awak rabah”.
Kaum muda Minangkabau perlu meningkatkan kapasitas keilmuan dan intelektualitasnya. Setidaknya dalam meneladani para pendahulunya dari segi proses dan ketekunan dalam belajar. Sebab ilmu adalah kunci dari segala-galanya, agar setiap amalan-amalan kaum muda Minangkabau adalah amalan yang ilmiah, teoritis, dan tentunya bertanggung jawab.
2. Gadang jan malendo, cadiak jan manjua (Besar jangan menindas, cerdas jangan membual)
Adalah sebuah tanggung jawab moral bagi mereka yang “didahulukan salangkah, dan ditinggikan sarantiang” untuk menjaga moralitas sosial, baik itu dari segi power (kekuasaan) maupun intelektual (keilmuan). Memberikan petunjuk kepada hal yang benar atas pertimbangan yang tepat. Bukan justru memanfaatkan umat untuk kepentingan-kepentingan pribadi/golongan yang dapat memecah belah dan mengundang keriuhan. Baik itu dalam agenda politik maupun keberagamaan dan lain sebagainya. Tentu saja, sudah menjadi konsekuensi logis bagi seorang umara’ dan ulama’ dalam menjaga moralitas umat. Menjadi sumbu penerang, tempat berdiang, tempat berkabar dan bertanya.
3. Dima bumi dipijak, di situ langik dijunjuang (Dimana langit diinjak, di sana langit dijunjung)
Kaum muda Minangkabau perlu menyadari realitas sekitarnya. Indonesia sebagai negara bineka yang penuh keberagaman dan rentan terhadap sentimental golongan (SARA). Prinsip fleksibilitas dan adaptif dalam istilah tadi perlu sekiranya ditimbang lagi untuk kemudian diterapkan pada kepribadian dalam rangka menghindari konflik golongan. Fleksibilitas dan adaptif yang berpendirian adalah sikap moderat yang perlu ditanamkan terhadap kemajemukan bangsa ini dengan mengedepankan prinsip musyawarah serta intelektualitas yang tajam. Dalam pepatah lain dijelaskan, “muluik manih kucindan murah, budi baiak baso katuju”, pepatah ini menyimpan makna tersirat dalam menghadapi realitas majemuk dengan tetap mengedepankan akhlak dan perangai yang baik.
4. Indak lakang dek paneh, Indak lapuak dek hujan (Tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan)
Secara pemahaman terbalik, pepatah ini menjelaskan bahwa adat-istiadat Minangkabau harus tetap dipertahankan sebagai budaya lokal. Lebih dalam dari pada itu, adat Minangkabau adalah budaya yang mesti dijaga sakralitasnya sebagai identitas masyarakat itu sendiri. Tentunya, itu tetap harus berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang rahmatan lil alamin sebagai ‘sandi’ dari adat itu sendiri (adat basandi syara’).
Kawula muda Minangkabau harus bisa memosisikan adat dan agama dengan tepat, yang perlu kita pahami dari falsafah adat basandi syara’, dan syara’ basandi kitabullah adalah pemahaman integralistik bahwa keduanya saling berkaitan dan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Agama dan adat akan menjadi pemahaman yang sekuler jika hanya dipahami sepotong-potong ataupun setengah-setengah. Sekiranya, inilah pemahaman dasar yang harus dipahami oleh kaum muda Minangkabau agar tidak salah kaprah dalam memandang adat dan agama itu sendiri sebagai standar moralitas masyarakat Minangkabau.
Baca Juga: Tarbiyah Islamiyah, Otak Minangkabau, dan Buya Syafi’i Ma’arif
Akhirul Kalam
Purna kata, ini hanyalah sekumpulan kata yang menjelma sebuah opini. Tidak tertutup kemungkinan adanya perdebatan. Namun, tentu adalah kodratnya sebuah pandangan bila bertentangan. Dan yang paling terpenting dari itu semua adalah kesadaran untuk membangun lagi peradaban. Transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Apakah itu secara lokalistik Sumatera Barat maupun secara nasional ke-Indonesia-an. Penulis tutup tulisan ini dengan 2 buah pantun masyarakat Minangkabau.
Sicerek di tapi banda
Jikok rabah tolong tagakkan
Ambo ketek jolong baraja
Jikok salah tolong tunjuakkan
Nak duo pantun saiiriang
Kalilawa di bateh rimbang
Anak ruso mati tadabiah
Kok gawa mintak ditimbang
Kok salah ampun nan labiah
Leave a Review