scentivaid mycapturer thelightindonesia

Moderasi dan Modernisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah Perti)-Milad Ke 93: (5 Mei 1928-5 Mei 2021)

Moderasi dan Modernisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah Perti)-Milad Ke 93 (5 Mei 1928-5 Mei 2021)

Modernisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah Modernisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah Modernisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah Modernisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah

Oleh: Duski Samad, Ketua Pimpinan Pusat  Persatuan Tarbiyah Islamiyah  (Tarbiyah Perti)

Pada 5 Mei 1928 atau bertepatan dengan 15 Zulqaidah 1349 H, Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung sebagai upaya memodernisasikan sistem pendidikan Islam di Sumatera kala itu yang kemudian memicu berdirinya MTI-MTI lainnya di berbagai daerah.

Pada 19-20 Mei 1930, Inyiak Canduang mengumpulkan ulama-ulama yang juga pimpinan-pimpinan MTI dan surau untuk bermusyawarah dan bermufakat dalam kongres pertama MTI yang hasilnya diantaranya adalah membentuk organisasi Islam Ahlussunah wal Jama’ah Asysyafiiyah dengan nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan menetapkan 5 Mei 1928 sebagai hari lahir Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Tepat 5 Mei 2021 ini, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah-PERTI) telah memasuki usianya yang ke-93 tahun. Usia yang tergolong tua bahkan sepuh sebagai organisasi Islam dan bahkan disebut merupakan ormas Islam terbesar ke-tiga di Indonesia setelah NU dan Muhammadiyah.

Dalam usianya yang sepuh itu, Persatuan Tarbiyah Islamiyah telah banyak mewarnai sejarah perkembangan dunia pendidikan dan kebudayaan Islam di Indonesia. (Artikel dalam Platform Medsos, Tarbijah Islamiyah, diunduh 3 Mei 2021).

Tarbiyah Perti dan Modernisasi Islam

Jejak sejarah pergumulan pemikiran Islam modern Islam dengan tradisional  yang digambarkan oleh Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1940 menempatkan Perti sebagai salah poros pergerakkan yang ikut berkontribusi dan saling memperkuat dengan gerakan modern pemikiran dan pendidikan Islam.

Deliar Noer menulis (1980:336) golongan tradisi tidak pula senantiasa berdiam diri dan bersikap statis. Merekapun mengadakan perubahan-perubahan dalam kalangan mereka, pada mulanya dengan mengorganisasi diri dalam Nahdlatul Ulama (1926) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1928) dan juga mengadakan perubahan lain. Mereka mengadakan perubahan dalam sekolah yang mereka dirikan dengan memperkenalkan sistim kelas disertai kurikulum. Mereka mencontoh cara-cara kalangan moderen dalam propaganda, seperti mengadakan tabligh, bukan saja di Masjid, tetapi juga ditempat lain; mereka menerbitkan majalah dan brosur. Dalam tahun 1935 Perti malah memperkuat pendapat terdahulu di kalangan moderen Islam bahwa harta pendapatan harus tunduk pada hukum faraidh.

Hamka dalam bukunya Ayahku (1982:290-298) menulis satu pasal Ulama-ulama yang menentangnya yaitu Syekh Saad Mungkar, Syekh Khatib Ali, Syekh Sulaiman Arrasuli,  Syekh Muhamnad Zein Simabur, dan Syekh Muhammad Djamil Jaho. Ketika menjelaskan hubungan Syekh Muhammad Jamil Jaho dengan ayahnya ia menuliskan bahwa pandangan Syekh Muhammad Jamil Jaho tentang harta pusaka Minangkabau jauh lebih radikal dari pandangan ayahku. Dan terhadap Terikat Naqsabandi berjauhan pendapat dengan Syekh Sulaiman Arrasyuli dan berdekat dengan ayahku.

Tulisan lain yang menunjukkan bahwa kaum tua atau golongan tradisi adalah pengerak paling awal dari  kebangkitan Islam, Gerakan Padri dan perjuangan kebangsaan ada pada karya Christine Dobbin, judul bukunya Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Minangkabau 1784-1847.(terj.2008: 198-225)…kira-kira tahun 1784 seorang Syekh yang ternama menjadi kepala surau Syathariyah di Kota Tua. Dia adalah Tuanku Nan Tua, seorang guru istimewa yang menarik ribuan murid ke Kota Tua dan surau Syathariyah di sekitar desa itu. Surau-surau ini sejak dahulu membaur dengan damai dalam panorama agraris….muridnya yang terkenal Jaluddin mendirikan surau di Koto Lawas…ia mulai mengajarkan aspek hukum Islam  dan hukum lainnya, termasuk hukum dagang.

Fakta sejarah di atas menunjukkan pada semua pihak bahwa perjalanan panjang ormas Persatuan Tarbiyah Islamiyah dalam mendinamisasi pergerakan umat adalah bahagian yang tak terpisahkan dari gerakan modern Islam. Perbedaan pendekatan, metode dan sikap pembaharuan yang dijalan oleh ulama, aktivis dan jamaah Perti lebih memilih berjalin berkelindan dengan adat dan budaya lokal, khususnya budaya Minangkabau adalah ijtihad ulama yang mesti dihargai dengan baik.

Pemahaman dan gerakkan keislaman moderen yang diusung sejak awal sampai usia mendekati satu abad ini masih tetap kukuh mengembangkan paham moderasi dalam aqidah pola pemahaman Ahlusunah wal jamaah, As’ariyah maturidiyah. Dalam ibadah mengikuti mazhab dan dalam tasawuf mengikuti Imam Al ghazali  serta mengamalkan thariqat.

Baca Juga: Madrasah: Lokomotif Transformasi Negeri (Refleksi 93 Tahun Madrasah Tarbiyah Islamiyah)

Perti dan Moderasi Beragama

Membaca sejarah, khittah, tradisi dan arah pemahaman keagamaan Tarbiyah Perti dapat ditarik benang merahnya bahwa sejatinya adalah garda terdepan dalam gerakan moderasi dalam beragama. Penghargaan tinggi terhadap perbedaan dalam teologi, perbedaan dalam furu’ yaitu mazhab, serta pengamalan tarekat ulama Perti Tarbiyah adalah fakta empiris bahwa moderasi beragama jauh sebelum dipromosikan Kementrian Agama RI, tahun 2015 lalu, sudah tumbuh subur di lingkungan Tarbiyah Perti.

Moderasi beragama  yang dimaksud disini adalah sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan kepada praktik beragama pihak atau orang lain yang berbeda pemahaman, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai, sehingga tercipta toleransi dan kerukunan.

Secara konseptual esensi moderasi beragama dimana pemeluk agama  saling belajar melatih kemampuan mengelola  dan mengatasi perbedaan pemahaman keagamaan di antara mereka, karena esensi agama adalah untuk menjaga martabat manusia dan moderasi agama adalah untuk mengembalikan esensi agama. Moderasi beragama aslinya ditujukan sebagai sikap  dalam merawat keindoseniaan yang multikurtural.

Pentingnya moderasi beragama adalah untuk menjawab tantangan sosial dimana hidup yang penuh dengan lautan data/informasi, dihadapkan pada pilihan-pilihan rumit di era pascakebenaran (post-truth) sehingga banyak dibantu oleh teknologi informasi yang bisa mengakibatkan degradasi nilai dan rasa sosial kemanusiaan. Moderasi agama hadir untuk mengatasi persoalan- persoalan di atas.

Lebih dari itu moderasi beragama dimaksud kan untuk memantapkan toleransi.  Moderasi dalam kerukunan beragama haruslah dilakukan, karena dengan demikian akan terciptalah kerukunan umat antar agama atau keyakinan. Untuk mengelola situasi keagamaan  yang sangat beragam, dibutuhkan visi dan solusi yang dapat menciptakan kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan keagamaan, yakni dengan mengedepankan moderasi beragama, menghormati keragaman, serta tidak terjebak pada Intoleransi, ekstremisme dan Radikalisme. Toleransi beragama bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Tidak juga untuk saling bertukar keyakinan dengan kelompok agama yang berbeda-beda. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial), sehingga adanya batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi moderasi dalam bingkai toleransi di mana masing-masing pihak diharapkan bisa mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.

Kaum Terdidik Tarbiyah Perti

Tahun 1983 ketika penulis menjadi moderator Diskusi yang dilaksanakan DPD PERTI Sumatera Barat di Hotel Padang dengan narasumber almarhum Sanusi Latief yang baru saja promosi Doktor dengan Disertasinya Kaum Tua di Minangkabau, masih tersimpan kuat di memory penulis pernyataan peneliti Kaum Tua ini, bahwa IAIN Imam Bonjol adalah payung besar yang memayungi alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah.  IAIN besar sumbangannya mensatuatapkan alumni MTI, Thawalib dan Perguruan Muhammadiyah.  Buahnya terjadi mobilitas ulama, ntelektual dan cendikiawan dari Tarbiyah Perti yang begitu meluas. Realitasnya dilapangan interaksi lintas alumni telah membawa warna baru gerakan moderen Islam.

Dinamika pemikiran yang ada di Perguruan Tinggi Islam, IAIN kini UIN Imam Bonjol telah membawa perubahan besar dalam sikap, apresiasi dan interaksi antar alumni MTI dan Perguruan Thawalib serta alumni Madrasah atau sekolah non afiliasi paham keagamaan.

Fakta sosiologis bahwa alumni MTI yang kuliah di Perguruan Tinggi Islam dan Perguruan Tinggi umum telah menghadirkan generasi cerdas, terdidik dan memberi warna dalam perkembangan pemikiran Islam dan kemasyarakatan.

Kaum terdidik Tarbiyah Perti sampai era reformasi ini telah mengisi ruang kehidupan elit di hampir semua lapangan kerja. Namun, dalam optimalisasi peran kaum terdidik ini belum dapat dimaksimalkan organisasi, karena faktor sejarah Tarbiyah Perti yang terlalu lama lupa pada khittah awalnya. Ketidaksiapan berakrobat politik aktivis organisasi  telah menyandera peran sejarah kaum terdidik dan ulama orisinil.

Harapan pada Ishlah

Setelah 46 tahun terpecah dua sejak tahun 1970, akhirnya dua organisasi keagamaan Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Perti menyelenggarakan Munas dan Muktamar bersama. Acara tersebut sebagai penanda islahnya kedua organisasi tersebut pada 21-23 Oktober 2016 di Hotel Menara Peninsula, Jakarta.

Konsolidasi organisasi pada priode awal ishlah ini tentu terus berlanjut dan diharapkan pada akhir tahun 2021 ini dapat diselenggara kan Munas. Pentingnya Munas tepat waktu adalah sebagai ikhtiar kolektif untuk menjaga semangat ishlah dan sekaligus menata ulang khittah dalam bingkai NKRI. Modal historis, sosial, pendidikan, intelektual, aktivis,  dan jamaah Tarbiyah Perti yang sudah menusantara adalah asset untuk dapat diberdayakan bagi kepentingan strategis yang lebih luas.

Baca Juga: Tarbiyah-Perti Rejang Lebong Seminarkan Moderasi Adat dan Syarak

Perubahan konstelasi politik sosial budaya dan perkembangan era 4.0 menuju 5.0 adalah alam baru yang harus dibaca dengan multi disiplin ilmu. Oleh karena spirit ishlah mesti dibaca semua lapis generasi dengan cerdas dan prospektif. Memberikan ruang lebih pada kaum muda terdidik sebagai motor perubahan adalah keharusan sejarah yang tak boleh dibelokkan. Menempatkan generasi pendahulu sebagai penjaga moral dan marwah Tarbiyah Perti adalah keniscayaan.

Meningkatkan khidmat organisasi pada khittah, Pendidikan, Dakwah dan Amal Sosial mesti menjadi ruh dan gerak jihad semua pihak yang mencintai organisasi yang didirikan ulama Minangkabau. Tarbiyah Perti dari Nagari, kini Menegara adalah modal sejarah masyarakat Sumatera Barat, yang diharapkan mendapat perhatian oleh Pemerintah.

Satu di antara yang sedang diperjuangkan adalah disetujui oleh Pemerintah pendiri Tarbiyah Perti Syekh Sulaiman Ar Rasuli Candung sebagai pahlawan nasional. Pahlawan nasional bukan sebatas kebanggan artifisial, akan tetapi adalah akan menjadi motivasi, dan penghargaan atas dedikasi ulama dalam kemerdekaan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. DIRGAHAYU KE 93 TARBIYAH PERTI. 030521.

Prof. Duski Samad
Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Sumatera Barat dan Ketua Pimpinan Pusat Tarbiyah Perti Masa Khidmat 2016-2021