scentivaid mycapturer thelightindonesia

MTI yang Me-Negeri: Riwayat MTI Tanjung Pauh dan MTI Sebukar, Kerinci

Jlan Sunyi Perti di Bumi Kerinci
Ilustrasi/Dok. Penulis

Lain ladang lain belalang, beda lubuk beda pula ikannya. Bolehlah kiranya pepatah ini digunakan untuk menjelaskan warna-warni sekolah agama bernama Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di berbagai tempat. Meski sama-sama menggunakan nama “Tarbiyah Islamiyah”, nasib mereka ternyata tidaklah sama.

Bukan cerita baru lagi bahwa dari sekian ratus sekolah Tarbiyah Islamiyah yang tersebar di berbagai penjuru, sekarang ada yang masih hidup dan ada yang sudah mati. Saya gunakan istilah “hidup” dan “mati” untuk menyebut kondisi ini, karena lembaga Pendidikan Tarbiyah Islamiyah, sebagaimana juga lembaga pendidikan lainnya, adalah nyawa bagi sejarah, nyawa bagi peradaban.  Hanya yang bernyawa yang mengalami hidup dan mati.

Sekolah Tarbiyah yang masih hidup itu beragam pula ihwalnya. Ada yang terus berkembang dengan pesatnya, ada yang stagnan alias jalan di tempat, dan ada yang antara hidup dan mati. Kondisi terakhir ini kerap diistilahkan dengan “la yamutu wala yahya, tidak bermutu karena kurang biaya”.

Dari semua itu, lika-liku kisah sekolah Tarbiyah yang agak berbeda dapat dijumpai di negeri Kerinci, Jambi. Jika di daerah-daerah lain jarang atau hampir tidak ditemukan sekolah Tarbiyah yang bertransformasi menjadi sekolah negeri, di sini setidaknya ada dua sekolah yang dapat dikisahkan.

MTI Tanjung Pauh

Sekolah pertama yang hendak dikisahkan adalah MTI Tanjung Pauh. MTI ini didirikan di Desa Tanjung Pauh, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Jambi. Seperti tergambar pada nama kecamatannya, Keliling Danau, perkampungan ini berada di pinggir Danau Kerinci, danau vulkanik seluas 5000 meter persegi yang terletak di kaki Gunung Rayo dan pernah dikunjungi Bung Hatta pada 1953 saat menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia. Belakangan, Tanjung Pauh dimekarkan menjadi dua desa, yakni Tanjung Pauh Hilir dan Tanjung Pauh Mudik. Orang Kerinci, dulu bahkan hingga kini, tidak akrab dengan istilah-istilah penanda arah mata angin: timur, barat, selatan, dan utara. Mereka lebih akrab dengan istilah penanda arah aliran sungai: hilir dan mudik. Hilir berarti arah ke atau mendekati Gunung Kerinci, sedangkan mudik berarti arah menjauhi Gunung Kerinci.

MTI Tanjung Pauh didirikan oleh Buya Ya’kub Qari (1914-1993) Bersama masyarakat Tanjung Pauh pada tahun 1937.  Ya’kub Qari adalah murid generasi pertama MTI Jaho, sekolah yang didirikan dan diasuh oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho (Inyiak Jaho). Berdasarkan keterangan istri kedua beliau, Ummi Kalsum, Buya Ya’kub Qari mulai belajar di Jaho pada tahun 1928. Itu berarti tepat di tahun pertama Surau Inyiak Jaho di Tambangan-Jaho bertransformasi menjadi MTI dengan sistem klasikal (kelas).

Setelah menamatkan pelajarannya sampai tujuh tahun, Ya’kub Kari sempat mengabdikan diri sekitar dua tahun di almamaternya. Kemudian ia pulang kampung dan mendirikan MTI di tanah kelahirannya, Tanjung Pauh, Kerinci. MTI Tanjung Pauh pun mulai beroperasi pada 1937. Inilah MTI pertama di alam Kerinci yang didirikan oleh murid generasi pertama MTI Jaho.

Periode pendirian MTI Tanjung Pauh beriringan dengan Pesantren Thawalib Islamiyah Rawang (yang diinisiasi oleh Hamka dan ayahnya, Dr. Abdul Karim Amrullah) yang lokasinya sekarang berada di Kecamatan Hamparan Rawang, Kota Sungai Penuh. Dari lokasi MTI Tanjung Pauh ke Pesantren Thawalib Islamiyah Rawang terpauh jarak sekitar 20 km arah barat laut.

Inilah dua pesantren dengan sistem klasikal tertua di Kerinci. Kedua jejaring pesantren ini merepresentasikan dua kutub dalam dinamika keagamaan antara Kaum Tuo dan Kaum Mudo di Minangkabau pada masa itu. Namun menariknya, di Kerinci mereka lebur seolah satu kesatuan atau tak butuh dibeda-bedakan mana yang tuo dan mana yang mudo. Bahkan, setiap anak Kerinci yang pergi belajar ke pesantren-pesantren di Minangkabau disebut “belajar ke Parabek”, walaupun sebagian mereka sebenarnya belajar di MTI, bukan di pesantren Sumatera Thawalib Parabek semata.

(Catatan: Parabek adalah nama Jorong [setingkat dusun] di Nagari Ladang Laweh, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Di jorong ini terdapat pesantren Sumatera Thawalib Parabek yang didirikan oleh Syekh Ibrahim Musa [Inyiak Parabek]. Dalam percakapan keseharian masyarakat, pesantren ini telah terasosiasi dengan nama jorongnya, sehingga istilah “belajar di Parabek” maksudnya adalah belajar di Pondok Pesantren Sumatera Thawalib yang didirikan oleh Syekh Ibrahim Musa di Jorong Parabek.)

Kehadiran MTI Tanjung Pauh dan sosok alim seperti Buya Ya’kub Kari telah memupuk semangat belajar agama para remaja dan pemuda Kerinci. Mereka tidak hanya berduyun-duyun datang ke MTI Tanjung Pauh untuk belajar agama, tetapi sebagiannya melanjutkan petualangan intelektualnya ke MTI Jaho, almamater Buya Ya’kub Kari, dan MTI-MTI lainnya di Sumatera Barat. Di masa itu pula, di Nagari Jaho terdapat satu surau yang disebut “Surau Kurinci”, yaitu surau tempat bermukimnya santri-santri MTI Jaho yang berasal dari Kerinci. Surau Kerinci pun didiami dari generasi ke generasi.

MTI Tanjung Pauh, sebagaimana juga MTI-MTI lainnya, didirikan bukan dengan kekuatan dana atau modal ekonomi, tetapi dengan modal sosial dan kultural yang terhimpun pada masyarakat Tanjung Pauh (dan Kerinci secara umum). Ada keyakinan dalam diri mereka bahwa menuntut ilmu agama adalah tugas yang berat sekaligus mulia. Tidak semua anak dapat mengemban tugas itu, karena selain kemauan dan tekad yang kuat, juga dibutuhkan dukungan finansial yang lumayan besar, mengingat fasilitas pendidikan berupa pesantren pada saat itu hanya ada di luar Kerinci. Namun sekarang, seorang anak muda nan alim kelahiran Tanjung Pauh bernama Ya’kub Kari hadir dengan membawa harapan bahwa Tanjung Pauh akan memiliki pesantren tempat mengajarkan ilmu-ilmu agama pada anak-anak mereka. Masyarakat turun tangan bahu-membahu, tidak ketinggalan dukungan dari tokoh adat dan tokoh masyarakat. Niat baik bertemu orang baik, lalu bersemailah kebaikan demi kebaikan itu hingga mekar menjadi keberkahan berwujud MTI Tanjung Pauh yang mulai menyelenggarakan pendidikan semenjak 1937.

Buya Ya’kub Kari didukung sepenuhnya oleh gurunya, Inyiak Jaho. Di tahun-tahun awal MTI Tanjung Pauh berdiri, Inyiak Jaho mengutus sejumlah santri MTI Jaho ke Tanjung Pauh untuk membantu Buya Ya’kub Kari, sekaligus sebagai syiar bahwa pendidikan agama di MTI Tanjung Pauh itu sungguh semarak. Para santri MTI Jaho itu baru dipulangkan ke Jaho setelah satu dua tahun, sekira-kira MTI Tanjung Pauh mulai stabil berjalan. Di antara santri itu berasal dari Aceh, karena memang MTI Jaho memiliki kedekatan dengan sejumlah tokoh ulama di Aceh Selatan, terutama setelah Inyiak Jaho mengangkat Syekh Muda Waly Aceh menjadi menantunya (dinikahkan dengan putrinya, Ummi Rabi’ah)

MTI Tanjung Pauh didatangi oleh murid-murid yang tidak hanya dari Kerinci, tetapi juga daerah sekitar, seperti Muko-Muko, Bengkulu, Bangko, Sarolangun, Bungo, Tebo, dan sekitarnya. Setelah menamatkan pendidikannya di MTI Tanjung Pauh, sebagian mereka kemudian mengembangkan pendidikan agama di kampungnya masing-masing.

Buya Ya’kub Kari dikenal karena kealimannya dalam berbagai bidang keilmuan. Ia bahkan sangat menonjol dalam ilmu nahwu (gramatikal Arab). Tidak mengherankan, karena MTI Jaho, almamaternya, semenjak dulu masyhur dan bertuah dalam ilmu Nahwu, sehingga ada ungkapan di kalangan para penuntut ilmu di Minangkabau, “kalau hendak mendalami nahwu pergilah ke Jaho, kalau hendak mendalami fikih pergilah ke Canduang”.

Dari MTI Tanjung Pauh, tersebarlah MTI-MTI lainnya di alam Kerinci, seperti MTI Sebukar (yang salah satu pendirinya adalah alumni MTI Canduang), MTI Koto Petai (yang didirikan oleh Buya Abdul Malik Imam, alumni MTI Jaho setelah generasi Buya Ya’kub Kari), MTI Talang Kemuning, dan sebagainya. Di momen-momen tertentu, di hari baik bulan baik, tidak jarang sekolah-sekolah di Kerinci ini dikunjungi oleh para buya di Minangkabau, terutama pengasuh MTI tempat para pendiri sekolah itu menuntut ilmu dulunya, misalnya Inyiak Jaho yang mengunjungi Buya Ya’kub Kari di MTI Tanjung Pauh dan Buya Abdul Malik Imam di MTI Koto Petai.

Tradisi mengunjungi murid ini terus dirawat, bahkan setelah Syekh Muhammad Jamil Jaho wafat, tradisi ini dilanjutkan oleh para guru yang diutus oleh MTI Jaho pada waktu-waktu tertentu. MTI Jaho telah mengajarkan, bukan hanya sanad ilmu yang harus dirawat, tapi juga sanad ruhaniyah. Bukan hanya murid yang mesti mengunjungi guru, tapi adakalanya guru juga mengunjungi murid. Bukankah dalam tasawuf diajarkan bahwa adab murid terhadap guru itu memang berat, tapi adab guru terhadap murid jauh lebih berat?

Buya Yakub Kari memimpin MTI Tanjung Pauh sampai tahun 1957 (kurang lebih 20 tahun), setelah itu ia banyak terlibat di ranah publik dan memegang sejumlah jabatan, baik di pemerintahan maupun dalam organisasi. Buya Ya’kub Kari ditawari jabatan sebagai ketua Mahkamah Syar’iyah Kerinci, sebuah lembaga penting dalam urusan keperdataan umat Islam yang kemudian berganti nama menjadi Pengadilan Agama.

Awalnya Buya Ya’kub Kari menolak karena tak ingin meninggalkan sekolah yang telah ia bangun semenjak 20 tahun lalu. Namun, karena pemerintah gigih meminta dengan pertimbangan bahwa lembaga sepenting Mahkamah Syar’iyah harus dipegang oleh seorang yang alim, apalagi Mahkamah Syar’iyah Kerinci baru didirikan, sehingga dibutuhkan seorang yang mampu membangun fondasi yang kuat untuk lembaga ini. Akhirnya, dengan pertimbangan kemaslahatan ummat, Buya Ya’kub Kari menerima tawaran itu, hingga iapun tercatat sebagai ketua Mahkamah Syar’iyah pertama di Kerinci.

Pimpinan MTI Tanjung Pauh kemudian dipegang oleh Buya Abdul Kari hingga tahun 1967. Di akhir jabatan Buya Abdul Kari inilah MTI Tanjung Pauh ditawari oleh pemerintah untuk dijadikan sekolah negeri dan guru-gurunya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Singkat cerita, pada 04 Agustus 1969, Menteri Agama RI menerbitkan Surat Keputusan Nomor 82 Tahun 1969 untuk menetapkan Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri (MTsAIN) Tanjung Pauh Hilir yang sebelumnya bernama Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Tanjung Pauh. Tidak sebatas berganti nama dan status (dari swasta ke negeri), sekolah ini otomatis berganti kurikulum (dari kurikulum MTI ke kurikulum pemerintah), berganti pimpinan (dari Buya Abdul Kari ke kepala madrasah yang berstatus PNS), dan guru-gurunya diangkat menjadi PNS agar dapat mengajarkan mata pelajaran sesuai kurikulum pemerintah. Pada perkembangan berikutnya, MTsAIN berganti nama menjadi MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri).

Baca juga: Jalan Sunyi Perti di Bumi Kerinci

MTI Sebukar

Sekolah tarbiyah kedua yang bertransformasi menjadi sekolah negeri adalah MTI Sebukar. MTI ini berada di Desa Sebukar, Kecamatan Hiang, Kabupaten Kerinci. Jaraknya dari MTI Tanjung Pauh terpaut sekitar 7 KM.

MTI Sebukar mulai berdiri pada 1956/1957. Cikal bakal MTI ini adalah majlis pengajian Buya Khalik, seorang ulama Sebukar yang belajar belasan tahun di Makah, yang mulai aktif semenjak 1946 di Sebukar. Awalnya Buya Khalik hanya memberikan taklim di rumahnya untuk satu dua orang. Namun, kealimannya tersebar luas dari mulut ke mulut, sehingga rumahnya makin ramai dikunjungi dari tahun ke tahun.

Karena penuntut ilmu semakin ramai, bahkan tidak hanya kalangan dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja, akhirnya Buya Khalik mengatur majlisnya dengan mendirikan Madrasah Awaliyah. Madrasah ini ditujukan untuk kalangan anak-anak dan remaja, sementara kalangan dewasa tetap bermajlis di rumahnya seperti semula.

Berkat dukungan dan swadaya masyarakat, pada 1955 berhasil didirikan gedung semi permanen untuk madrasah ini. Setahun berselang, sejumlah pemuda sebukar yang telah menamatkan pelajarannya di MTI Tanjung Pauh dan MTI Canduang mengusulkan agar didirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Buya Ya’kub Kari mendukung sepenuhnya gagasan ini.

Tahun 1956 majlis pengajian dan madrasah yang dirintis oleh Buya Khalik resmi ditetapkan sebagai Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Sebukar, dengan masa pendidikan selama tujuh tahun, sebagaimana MTI Tanjung Pauh, MTI Jaho, MTI Canduang, dan MTI lainnya. Di tahun 1967 (tahun kedua MTI Sebukar), program dan kurikulum MTs dan MA mulai dimasukkan (dikolaborasikan). Sementara itu, program pendidikan madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) juga dijalankan.

Satu dekade kemudian, mulai berdatangan usulan agar sekolah ini dijadikan sekolah negeri, mengingat pendahulunya, MTI Tanjung Pauh, berhasil dijadikan sekolah negeri setingkat MTs.

Karena MTI Tanjung Pauh telah dinegerikan menjadi sekolah menengah pertama (MTsN), maka MTI Sebukar diusulkan untuk menjadi sekolah negeri tingkat lanjut. Alasannya, karena sekolah menengah pada saat itu hanya ada dua, yaitu sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan PGA Putri yang berlokasi di Sungai Penuh, sementara ijazah MTI tidak bisa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau menjadi PNS.

Akhirnya, pada tahun 1978, MTI Sebukar resmi bertransformasi menjadi Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN), lalu pada perkembangan berikutnya menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Tidak ketinggalan, guru-guru MTI Sebukar juga diangkat menjadi PNS sehingga tetap mengajar di lembaga pendidikan yang telah menjadi sekolah negeri tersebut.

Setelah MAN memiliki gedung sendiri (karena milik pemerintah), gedung semi permanen milik MTI Sebukar digunakan sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan nonformal berupa Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), tempat anak-anak desa belajar mengaji, fikih ibadah, dan mengasah keterampilan-keterampilan berbasis keagamaan. Namun, di dinding luar lantai dua bangunan yang menghadap ke Jalan Raya Kerinci-Bangko itu masih terpampang papan nama bertuliskan “Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Sebukar”, penanda bahwa di sini dulu pernah ada sekolah agama atau pesantren Tarbiyah Islamiyah

MTI Adalah Ibu

Kedua MTI ini telah mempersembahkan dirinya untuk dunia pendidikan, khususnya di tanah Kerinci. Layaknya ibu yang tidak hanya bertaruh dan meregang nyawa, tapi betul-betul merelakan nyawanya demi kelahiran anak yang telah dikandungnya. Di hari pertama sang anak membuka kelopak matanya untuk melihat dunia, persis di hari itu pula sang ibu menutup mata untuk tidak lagi melihat dunia.

MTI adalah mata rantai pendidikan, khususnya pendidikan di lingkungan Kementerian Agama di Kerinci. Setidaknya dua sekolah negeri tersebut (MTsN Tanjung Pauh dan MAN Sebukar) mencantumkan di web resmi mereka bahwa masing-masing mereka berakar dari MTI, walaupun pada saat penulis mencoba bertanya ke sejumlah guru dan siswa di kedua sekolah ini pada 2020 lalu, hampir tidak ada yang memahami sejarah ini.

Baca juga: Pertalian Keilmuan Ulam Kerinci dan Minangkabau: (Bag.1) Pemetaan Awal Periode Masuknya Islam ke Kerinci

Tiap perjalanan tentu punya medan dan tantangannya sendiri, punya tanjakan dan tikungannya masing-masing. Demikian pula MTI, kadangkala ia hadir tidak untuk mempersembahkan sesuatu yang oleh manusia modern disebut prestasi, tapi untuk sekadar mengatakan bahwa MTI adalah ibu.[]

Nuzul Iskandar
Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung. Pernah aktif sebagai peneliti di Smeru Research Institute. Sekarang Dosen Hukum Islam di IAIN Kerinci Jambi