Hari ini adalah peringatan Sumpah Pemuda. Dan laiknya setiap peringatan, selalu ada upaya “mereka semangat” masa lalu untuk pembacaan kondisi hari ini. Permasalahannya terletak pada kondisi yang belakangan ini, dan dengan maksud itulah, Redaksi mewawancarai El Mudi, Pengurus Ikatan Pemuda Tarbiyah Islamiyah. Wawancara dilakukan via email minggu lalu. Wawancara ini, dalam penyajiaannya dipecah menjadi dua judul. Selain judul di atas, Redaksi lanjutkan dengan judul “Pemuda Pesantren Punya Modal, Hendaknya Lakukan Perubahan sosial” Berikut petikan wawancaranya:
Bisa Anda jelaskan apa saja tugas dan tanggung jawab kepengurusan Pemuda Tarbiyah Islamiyah, khususnya untuk kepentingan masyarakat Sumatera Barat?
Setiap orang yang lahir, berkembang dan atau pernah bersinggungan dengan lingkungan masyarakat Tarbiyah, dapat menyebut/mengklaim dirinya Pemuda Tarbiyah. Saya tidak berbicara Pemuda Tarbiyah dalam konteks itu, tetapi Pemuda Taibiyah dalam konteks keorganisasian, yakni Ikatan Pemuda Tarbiyah Islamiyah.
Secara normatif, tugas dan tanggung jawab kepengurusan Pemuda Tarbiyah Islamiyah (IPTI) sudah digariskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IPTI, yakni membentengi, mempertahankan dan mengembangkan pendidikan agama yang berkelas sebagai pusat pembinaan kader dalam mempertahankan i’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah; Kemudian, membina generasi muda Islam agar berakhlakul karimah, serta senantiasa mengabdi, berkarya dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang diridhai Allah SWT.
Dalam kontek kepentingan masyarakat Sumatera Barat, PW IPTI Sumatera Barat sesungguhnya mengemban tugas dan tanggung jawab ganda. Selain menjalankan amanat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IPTI, juga mengemban tanggungjawab sejarah di mana Sumatera Barat merupakan “rahim” kelahiran Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang diprakarsai oleh Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) yang kemudian menjadi cikal-bakal kelahiran IPTI.
Karena itu, PW IPTI Sumatera Barat adalah orang pertama yang paling bertanggungjawab secara keorganisasian terhadap eksistensi dan keberlangsungan Tarbiyah Islamiyah.
Baca Juga: Ngobrolin Pemuda dan Alam Pikir Minangkabau Bersama Taufik #1
Bagaimana perannya untuk Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah?
Mengembangkan pendidikan agama, khususnya Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah merupakan agenda besar IPTI. Sejauh ini – khususnya di Sumatera Barat – IPTI secara keorganisasian belum dapat berbuat banyak untuk Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah. Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, IPTI juga sedang berbenah memperkuat internal organisasi, reorientasi perjuangan dan membangun sinergisitas serta komitmen-komitmen keorganisasian.
PW IPTI Sumatera Barat sangat menyadari kelemahan Pemuda Tarbiyah Islamiyah secara keorganisasian yang seyogyanya dapat menjadi kekuatan eksternal memajukan madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah. Komunikasi inter-organisasi Tarbiyah, seperti Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Persatuan Wanita Tarbiyah Islamiyah dan IPTI sendiri masih dalam batas formalitas dan musiman. Terlepas masih adanya sisa-sisa perseteruan maupun terjebak dalam euforia pasca transisi kepengurusan organisasi Tarbiyah, baik di pusat maupun di daerah, ternyata upaya dalam membangun konsolidasi internal pun masih menemui jalan buntu.
Tidak adanya kesamaan orientasi perjuangan dan kecintaan kepada Tarbiyah, bahkan arah perjuangan organisasi Tarbiyah-pun menjadi “liar”. Akhirnya, organisasi Tarbiyah tambah lemah dan mengabaikan madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah dengan masalahnya. Dalam rangka menutupi kelemahan itu, PW IPTI Sumatera Barat berupaya semaksimal mungkin tetap hadir dan menjaga silaturahmi dengan beberapa madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah serta melakukan penguatan kader dalam bentuk pelatihan-pelatihan dan sebagainya.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat cukup banyak, bisa Anda gambarkan secara garis besar bagaimana kondisi sekolah–sekolah tersebut?
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kanwil Kemenag Sumbar, jumlah pesantren di Sumatera Barat pada tahun 2010 sebanyak 233, pada tahun 2012 berkurang menjadi 195 . Menurut data BPS Sumbar pada tahun 2014 sebanyak 208, tidak termasuk pesantren yang aktif tetapi tidak terdaftar di Kanwil Kemenag Sumbar. Dari sekian jumlah pondok pesantren di Sumatera Barat, di antaranya ada ratusan madrasah Tarbiyah Islamiyah.
Secara garis besar, gambaran umum kondisi madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yakni sehat, kurang sehat dan tidak sehat.
Kategori “sehat” yang dimaksudkan ialah layaknya sekolah umum yang dikelola oleh Negara. Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang masuk kategori sehat ini jumlahnya tidak sampai 10% dari total jumlah madrasah Tarbiyah Islamiyah yang ada di Sumbar. Sedangkan kategori kedua atau “kurang sehat”, inilah yang paling dominan. Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang masuk kategori kedua ini indikatornya yang nyata ialah kekurangan murid, tenaga pengajar yang tidak sesuai dengan keahliannya, fasilitas yang tidak memadai dan selalu mengalami defisit biaya operasional.
Kemudian, kategori ketiga ialah “tidak sehat”. Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang masuk kategori ini ditandai dengan ditutupnya sekolah, beberapa tahun kemudian dibuka lagi dan akhirnya di tutup kembali. Penyebab Madrasah Tarbiyah Islamiyah bisa masuk kategori yang ketiga ini di awali oleh munculnya indikator-indikator pada kategori yang kedua di atas. Baik kategori kedua maupun kategori ketiga tidak terlepas dari faktor “pembiaran” oleh organisasi Tarbiyah.
Ada Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang susah sekali berkembang, dan juga ada yang tutup. Bagaimana Anda memandang ini?
Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang susah berkembang dan yang ditutup tersebut, selain dirundung masalah yang telah disebutkan di atas juga dipengaruhi oleh faktor managemen pengelolaan pesantren oleh pimpinannya yang masih sentralistik, cenderung tertutup dan menurunnya kepercayaan orang tua calon murid/santri kepada kualitas pendidikan yang disajikan oleh madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah untuk anak-anak mereka.
Modernisasi managemen Pesantren sangat mendesak dilakukan. Namun upaya itu masih berat dilakukan oleh pimpinan/pengurus madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah. Kebutuhan dan perkembangan kehidupan sosial masyarakat sekitar madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah tidak berbanding lurus dengan perbaikan managemen serta “menu” yang disajikan oleh pesantren. Oleh karena itu, orang tua calon murid/santri lebih memilih satuan pendidikan yang dapat menjamin kebutuhannya sebagai orang tua dan kebutuhan anaknya sebagai murid/santri. Sehingga, pilihan mereka cenderung kepada satuan lembaga pendidikan umum dan atau pondok pesantren modern lainnya sekalipun.
Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah selain terkenal dengan pemelihara syari’at juga dikenal dengan mempertahankan nilai-nilai budaya dan tradisi khas keminangkabauan. Namun, mempertahankan budaya dan tradisi tersebut lebih dominan diarahkan pada mempertahankan pola pembelajaran dan managemen pengelolan lembaga pendidikan yang statis/kaku. Sulit menerima perobahan, pembaharuan dan perbaikan yang sejatinya tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya dan tradisi yang lebih substansial.
Problem ini sesungguhnya bersumber pada pola “peran yang tersentralistik” pada satu dan atau beberapa personal yang merupakan ciri khas madrasah Tarbiyah Islamiyah dan pesantren tradisonal pada umumnya. Pembagian peran dalam managemen pengelolan pesantren tidak terdistribusi secara proporsional.
Jadi, sudah saatnya madrasah Tarbiyah Islamiyah keluar dari kungkungan budaya “eksklusivisme” dan memuka diri dengan pembaharuan tanpa mengorbankan budaya dan tradisi yang sudah menjadi prinsip.
Idealnya, sebuah pondok pesantren mempunyai hubungan erat dengan masyarakat sekitarnya. Hubungan yang erat ini terjalin karena saling membutuhkannya masyarakat dan pondok pesantren. Jika ada pondok pesantren yang kesulitan berkembang dan bahkan mati tersebut, apakah ini mengindikasikan masyarakat tidak lagi membutuhkan Pondok Pesantren?
Para pendiri pondok pesantren – baik di jawa maupun di sumatera – menjadikan pondok pesantren itu milik bersama antara pengurus dan masyarakat. Pondok Pesantren selalu hadir untuk masyarakat dan masyarakat pun peduli dengan pesantren. Kebutuhan masyarakat dipenuhi oleh pesantren dan masyarakat berpartisipasi pula untuk pesantren. Sistem simbiosis mutualismesinergisitas antara pesantren terjalin baik dengan masyarakat. Demikian gambaran umum hubungan pesantren dan masyarakat yang berhasil “dikawinkan” oleh Inyiak Canduang di Sumatera dan atau oleh Kyai Hasjim Asy’ari di Jawa dulunya. Inilah identitas serta nilai plus satuan lembaga pendidikan agama Islam (Pesantren) dibandingkan dengan satuan lembaga pendidikan umum.
Baca Juga: Ngobrolin Pemuda dan Alam Pikir Minangkabau Bersama Taufik #2
Pada posisi terbalik, gambaran umum pondok pesantren saat ini –sadar atau tidak– secara kelembagaan justru mengambil posisi meninggalkan masyarakat dan terjebak mengikuti “irama” sistem pendidikan umum, yakni hanya fokus sebagai lembaga pendidikan dalam ruangan.
Kita dapat saja mengklaim bahwa pesantren masih dapat memenuhi kebutuhan spritual masyarakat, namun nyatanya saat ini kebutuhan masyarakat tidak lagi hanya sebatas spritulaitas. Masyarakat butuh jaminan kehidupan ekonomi, sosial-budaya dan politik. Kenapa pesantren tidak mengambil peran itu, misalnya sebagai pusat pengembangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, pusat pelayanan kesehatan, pusat pelayanan kredit/keuangan mikro, pusat pengembangan minan dan bakat pemuda, kerajinan dan sebagainya.
Sejatinya, saat ini kebutuhan masyarakat terhadap pesantren masih tinggi. Buktinya tahun ini beberapa pesantren, khususnya madrasah Tarbiyah Islamiyah, sampai “membludak” jumlah santrinya, sebut saja di antaranya MTI Candung dan MTI lainnya, di Agam misalnya. Kenapa ini terjadi? Padahal di sisi lain, di saat yang bersamaan banyak pondok pesantren yang ditutup/mati karena kehilangan santri. Artinya, kepercayaan masyarakat dan jaminan kepastian oleh Pesantren kepada orang tua calon santri untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Selain itu, tentu saja dipengaruhi oleh pihak-pihak eksternal seperti peran alumni dan organisasi.
Bagaimana Anda memandang peran dan fungsi urang siak dalam konteks kekinian?
Ulama maksudnya? Urang Siak dengan artian Ulama, Ustadz/zhah, Mubaligh, dan atau santri – bukan dengan pengertian orang yang biasanya tinggal di masjid dan mendapat rezeki dari sedekah– perannya masih cukup strategis. Di pedesaan maupun di perkotaan, pada saat merosotnya tingkat kepercayaan sebagian masyarakat kepada pemerintah dan elit adat, maka urang siak hampir menjadi satu-satunya tokoh/elit agama yang dapat dipercaya oleh masyarakat.
Kehadiran dan peran Urang Siak secara umum di tengah masyarakat memang masih terbatas, yakni sebagai ustadz/zhah dan mubaligh. Keterbatasan dalam mengakses informasi dan kelemahan dalam membaca gelombang perubahan kehidupan sosial kemasyarakatan yang selalu bergerak secara dinamis dan bahkan sangat liar, sehingga sebagian urang siak pun terkadang terjebak dalam gelombang tersebut tanpa disadarinya. Akibatnya, masyarakat/jama’ah tidak lagi punya figur imam dan panutan[]
Leave a Review