scentivaid mycapturer thelightindonesia

Mudik, Minangkabau, Rantau dan Dedy Mardiansyah

Mudik, Minangkabau, Rantau dan Dedy Mardiansyah

Mudik adalah gerak kembali ke pangkalan. Dalam dunia rantau, istilah lain mudik ialah pulang atau kembali ke kampung halaman. Dunia sendiri pun sejatinya tempat kita merantau. Semua kita kan mudik ke kampung halaman nan abadi. Akhirat.

Minangkabau terkenal jua dengan laku merantau anak negerinya. Populasi perantau Minangkabau cukup banyak tersebar di Nusantara bahkan dunia. Para tokoh pun demikian jua, bahkan kelas dunia.

Sosok alim paling masyhur adalah Beliau Maulana Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Mahagurunya para tokoh pendiri beberapa perguruan dan perkumpulan besar Islam. Al-Washliyah, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan, Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan lain semisalnya.

Kesemua perguruan atau perkumpulan besar Islam itu didirikan oleh para tokoh yang juga murid dari sosok asal Kecamatan IV Angkat Canduang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat ini. Beliau, salah seorang mahaguru ulama Nusantara ini, juga imam dan khatib di Masjidil Haram, Mekkah.

Beliau juga bertugas sebagai benteng Islam bercorak Sunni Syafii. Beliau memboyong keluarga besarnya dari Minangkabau ke Makkah. Hingga wafatnya, Beliau hanya sekali dua mudiknya. Memang, seperti riwayat dari Buya Apria Putra ,

Beliau adalah juga keturunan Arab. Abdul Lathif, ayahnya, berayahkan Abdullah. Yang dari Arab datang ke Minangkabau untuk mengajarkan ilmu keislaman di surau-surau. Kakeknya ini menikahi neneknya yang pribumi Minang.

Ayahnya pun menikahi ibunya yang juga pribumi Minang. Karena garis keturunan Minang modelnya Matriarkhat, maka dari ibunya inilah mengalir darah Minangnya. Meskipun tidak mudik, Beliau meninggalkan banyak legacy. Termasuk muridnya yang sekampung halaman, Maulana Syekh Sulaiman Arrasuli.

Inyiak Canduang, begitu akrabnya. Pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Muridnya inilah yang menguatkan kembali pertalian agama dan adat di Ranah Minangkabau. Sesuatu yang berakar dari cara berislam yang utuh.

Yang memuat pendekatan syariat, hakekat, tarekat dan makrifat tersentuh secara menyeluruh. Sesuai ajaran Sang Mahaguru, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Pendekatan yang sejak awal ditumbuh kembangkan oleh para pendahulu. Mereka yang mengenalkan Islam pertama kali di Nusantara.

Bersamabung…

Pola yang terhubung bulat dan utuh hingga menjadikan Islam sebagai agama dan Minangkabau sebagai adat nan terpaut erat dan saling mengikat. Hingga agama menjadi kawi dan adat menjadi lazim. Agama yang mengarahkan dan adat yang melaksanakan.

Adat Bersendikan Syarak – Syarak Bersendikan Kitabullah (ABS – SBK). Demikian adagium yang diformulasi Inyiak Canduang. Sesuatu yang belakangan disebut sebagai proses pribumisasi Islam di Nusantara oleh Beliau KH. Abdurrahman Wahid. Satu-satunya Presiden Republik Indonesia yang tokoh dunia pesantren.

Ada pula sosok aktivis paling masyhur dari Minangkabau. Beliau Ibrahim Datuk Sutan Malaka. Kiprahnya di dalam pergerakan yang mendunia hingga Bung Karno menyebutnya sebagai “yang paling mahir dalam revolusi”. Sosok gerilyawan sejati, tokoh pergerakan dunia yang kelasnya disebut di atas Che Guevara.

Sosok ini bahkan mungkin bergerak sesegera mungkin dari satu kota ke kota lainnya. Menghilang dengan sigap dari satu negara ke negara lainnya. Bahkan mampu menyelami samudera hingga berpindah cepat dari satu benua ke benua lainnya. Kemampuan yang di Minangkabau identik dengan Ilmu Bayang Tujuh, salah satu laku dari dunia Tasawuf. Salah satu gudang Tasawuf di Minangkabau adalah Lima Puluh Kota.

Datuk Tan Malaka, Sang Bapak Republik ini, adalah juga seorang aktivis Tasawuf. Kedekatannya sangat erat dengan salah satu mursyid di Lima Puluh Kota yaitu Syaikh Abdul Wahid Asyyadzily yang dikenal dengan Baliau Tobek Panjang. Memang tak jauh dari kampung halaman Datuk Tan, Suliki. Masih di Lima Puluh Kota jua.

Begitulah kurang lebih riwayat yang kubaca di Tarbiyahislamiyah Id . Situs yang paling identik mengulas tentang pertautan erat Islam dan Minangkabau. Sama seperti Maulana Syeikh Ahmad Khatib, Datuk Tan juga tidak pulang kampung ke Minangkabau. Pilihan perjuangan membimbingnya bergerak lebih banyak di Jawa.

Keterangan Photo : Kami sekeluarga saat ziarah ke pusara Beliau Inyiak Canduang, Maulana Syaikh Sulaiman Arrasuly, di komplek Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang. Siang Kamis, 29 Desember 2022.

Minangkabau memang bukan kampung halamanku. Bukan tempat ibuku melahirkanku. Bahkan, bukan pula tempat kelahiran ibuku. Ibuku sendiri lahir di Kebun Roos, Kota Bengkulu. Tetapi, ibunya ibuku, Makwoku, juga abaknya ibuku, Angkuku, kelahiran Minangkabau. Pariaman, tepatnya.

Itulah kenapa dengan kursemangat kuajak keluargaku mudik ke kampung halaman Angku di Taratak dan Makwoku di Sungai Sariak. Kebetulan, dari keluarga Angkuku, akhir tahun 2022 ini ada agenda pertemuan rutin dua atau tiga tahunan. Kali ini yang kedua belasnya dan bertepatan di Kota Padang.

Acara itu bernama Pertemuan Zuriat Itam Abusiyah. Abusiyah tak lain adalah ibunya Angkuku. Itam adalah panggilannya. Suaminya bernama Muhammad Sae. Jadi, Beliau Berdua adalah poyangku dari garis Abaknya Ibuku. Karena paham Matrilinial Minangkabau, garis keturunan dari perempuan, maka Itam Abusiyahlah yang diperkuat dan menjadi ikatan dari keluarga Angkuku.

Jadi, Zuriat Itam Abusiyah itu tak lain anak cucu dari ibunya Angkuku. Sebab Itam Abusiyah bersuku Minang dengan Tanjung sebagai marganya, maka yang turun Minangnya dalam keluarga Angkuku itu adalah darah marga atau klan Tanjung. Hanya saja, kembali ke pasal utama, sebab Minang adalah Matriarkhat, maka darah Tanjung Itam Abusiyah berhenti di Angkuku. Sebab, Angku lelaki, bukan perempuan.

Angkuku enam bersaudara. Selain dirinya, lelaki dalam saudara Angkuku itu adalah Muhammad Hasan dan Abdul Rahman (Nyaman), ajo atau kakaknya. Juga Muhammad Sulaiman, adiknya. Tiga saudara lelaki Angkuku ini tentu saja juga tidak dapat menurunkan darah Minangnya kepada zuriatnya. Apalagi klan, suku, marga atau kaumnya. Sama seperti Angkuku.

Selain Angku empat bersaudara, juga ada dua saudarinya. Keduanya uni bagi Angku. Beliau berdua adalah Shofia (Gadis) dan Nurmanis (Manis). Jadi Angku lengkapnya enam bersaudara. Hasan, Gadis, Nyaman, Manis, Husin dan Sulaiman.

Selain Manis, uninya, Angku sekeluarga besar merantau ke Bengkulu. Termasuk Itam Abusiyah, ibunya. Itam Abusiyah sendiri wafat di Bengkulu dan bermakam di komplek pemakaman Sentot Alibasyah Prawiradirja. Salah satu panglimanya Pangeran Diponegoro.

Lokasi makam Itam persis di pintu masuk sebelah kiri komplek makam keramat di Kelurahan Bajak, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu ini. Komplek ini juga dikenal sebagai salah satu destinasi wisata Kota Bengkulu dan Provinsi Bengkulu dengan tokoh Sentot Alibasyah.

*Keterangan Photo:Kami sekeluarga saat ziarah di pusara Beliau Itam Abusiyah di komplek Pemakaman Sentot Alibasyah Prawiradirja, Kelurahan Bajak, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu. Siang Minggu, 25 Desember 2022. Sesaat sebelum meluncur ke Kota Padang dalam rangka Temu XII Zuriat Itam Abusiyah dan Mudik Basamo III Zuriat Itam Abusiyah.

Adapun makam puyang Muhammad Sae dan makam Angku sendiri terletak di komplek pemakaman Kelurahan Taratak, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman. Keduanya di satu lobang namun persisnya sudah tidak dikenali sebab sudah berganti tanda.

Yang jelas di bagian pojok kanan depan lokasi pemakaman. Dekat dengan tiang listrik yang masuk di dalam lokasi Panti Asuhan Aisyiyah Kota Pariaman. Persis sebelah kanan lokasi pemakaman. Poyang Sae sudah lama berpulang sebab saya belum pernah bersua dengan Beliau.

Sementara Angku menghembuskan nafas terakhirnya di dalam bis di pertengahan perjalanan dari Curup ke Pariaman. Dalam rangka Pertemuan Zuriat Itam Abusiyah yang kedua. Sekaligus mudik atau pulang basamo yang pertama. Kegiatan ini pun atas inisiatif Angku yang kemudian dibina oleh Angku Sulaiman, adiknya.

Aku waktu itu menjelang kelas II Aliyah, sekira tahun 1996. Tentu saja aku ikut, masuk dalam keluargaku. Ibu, Ayah dan kedua adikku, Elsy dan Neny. Ridho, si bungsu, ikut juga tapi masih dalam kandungan, tahun besoknya lahir. Aku ingat sore sebelum berangkat itu, Angku minta dibelikan sate.

Saat itulah, di lantai atas rumah sekaligus warung nasi yang Angku dan Makwo sewa selama belasan tahun di kawasan yang orang Curup sebut Simpang Lebong itu, penyakit atsma Angku kambuh. Meski sudah diobati, terlihat kondisi kesehatan tubuh Angku menurun. Namun, semangat Angku mengalahkan sakitnya.

Angku bersikeras berangkat, meskipun nafasnya bermasalah dengan atsma. Mana suhu dingin oleh hujan yang putus sambung sebelum berangkat. AC bus yang rombongan Angku tumpangi bocor. Ditambah lagi di tengah perjalanan hujan turun dengan derasnya. Di tengah cuaca yang ekstrim itulah, ketentuan Allah berlaku, Angku mudik ke pangkuan Penciptanya kala memimpin keluarga besarnya mudik ke Pariaman.

Kerasnya niat Angku untuk mudik ke Pariaman ternyata juga bermakna keinginan tak tersiratnya untuk mudik selamanya. Ya, keluarga besar Angku memang banyak menetap di Bengkulu. Apalagi dengan usaha Angku di Lebong Simpang yang pernah berjaya. Menambah mantap keluarganya merantau ke Bengkulu.

Lewat usahanya itu, Allah kasih Angku kekuatan untuk menopang keluarga, kerabat bahkan tetangga kampungnya di Taratak dan Pariaman. Bahkan juga keluarga Makwo. Awalnya Angku mencoba peruntungan dengan menjual kebutuhan harian para penambang emas di Lebong Simpang.

Angku membuka kedai kelontongan yang menyediakan kebutuhan pokok para penambang. Dari situ, para penambang lalu ada yang membayar kebutuhannya dengan emas mentah hasil kerja mereka. Angku mengumpulkan emas mentah itu lalu memasaknya dan menjualnya baik ke Curup maupun Bengkulu.

Dari yang sedikit lewat kedai kelontongan itu, ternyata mengantarkan Angku kemudian mengurus usaha tambang emas itu juga. Bahkan perusahaan tambang Angku sempat punya salah satu lobang tambang terbesar di masanya di Lebong Simpang. Dari situ pula usaha Angku berkembang.

Sampai, riwayat yang kuterima dari sosok anak buah Angku langsung yang kebetulan tinggal di sebelah rumah kami di Air Sengak, Angku pernah bergabung usaha rumah potong dengan peliharaan kerbau hingga ratusan ekor.

* Keterangan Photo: Bersama anak sulungku saat berziarah di lokasi makam Angkuku, Beliau Bagindo Muhammad Husin, di komplek Tempat Pemakaman Umum Kelurahan Taratak, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman, sebelah Panti Asuhan Aisyiyah, Kota Pariaman. Serta bersama istri dan sulung kami di depan rumah tua keluarga Angkuku di seberang Kantor Kelurahan Jalan Kereta Api, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman. Siang Rabu, 28 Desember 2022.

Aku memang tak terlahir di Ranah Minang. Aku juga tak meneruskan suku Tanjung dari Angkuku. Tapi padaku tetap mengalir darah Minang. Sebab, paham keturunan Minangkabau berpatokan pada garis ibu (Matriarkhi).

Karena Angku menikahi gadis Minang, Makwoku Zainidar, bersuku Jambak, maka darinya lewat Ibuku, akupun berdarah Minang bersuku Jambak. Makwo mewarisi darah Jambak tentu saja bukan dari abaknya, Puyang Zaibun. Melainkan dari amaknya, Puyang Pidik.

Puyang Pidik mewarisi suku Jambak tentu dari amaknya pula, Puyang Jamilah. Hingga ke atasnya, seterusnya. Ya, secara bersambung, sesuai adat Minangkabau yang matrilinial. Jadi, di antara kami adik beradik, kini, hanya lewat Neny, darah suku Jambak terwariskan pada kedua anaknya, Dzaky dan Dzakiyah.

Dzakiyahlah yang bakal meneruskan garis keturunan Minang dalam keluarga kami. Jika ia menikah dan berketurunan nanti. Dzia, panggilannya, akan mendatangkan generasi ketujuh dari Poyang Jamilah. Aku dan Ridho, karena lelaki, otomatis berhenti di kami garis keturunannya.

Kami berdua praktis hanya mungkin menurunkan darah keturunan dari Ayah. Sementara Elsy, belum diberi keturunan. Kalau memang jatahnya, mudah-mudahan Allah anugerahi untuk adikku satu ini meneruskan keturunan pula. Aamiin allahumma aamiin.

Jadi, dalam keluarga kami, pada kemenakanku Dzia, mengalir darah Jambak dari Neny, adikku. Neny turun dari ibuku, Erniwati yang dari Makwoku, Zainidar. Makwoku turun dari Poyang Pidik, amaknya. Poyang Pidik turun dari amaknya, Poyang Jamilah. Jadi runtutnya Dzia dari Neny dari Erniwati dari Zainidar dari Pidik dari Jamilah dari atasnya dan seterusnya.

Dari Jamilah, Dzia adalah keturunan keenam suku Jambak. Yang akan menurunkan generasi ketujuh suku Jambak dalam keluarga kami. Jika Dzia menikah dan berputera atau puteri. Kalau berputeri, maka puterinya itu berpotensi meneruskan keturunan Jambak yang kedelapan.

Uraian silsilah keturunan seperti ini sengaja kusampaikan. Ini sebagai caraku belajar untuk mengajarkan komponen-komponen adat dalam keluargaku. Dalam hal ini adat Minangkabau. Meskipun, seperti anakku, mereka tidak bakal mewarisi darah Minang dariku.

Tapi, tetaplah mereka anak-anak dari abahnya yang juga berdarah Minang. Artinya, sentuhan Minang, entah halus atau kasarnya, pastilah mempengaruhi mereka. Dan yang paling utama, sejarah dan peradaban yang telah ditempuh para pendahulunya, mereka perlu tahu.

Bahwa dari proses mudik seperti ini nanti mereka mendapatkan manfaatnya, hanya mereka dan Allah semata yang tahu. Yang pokok sekarang, tugas peradaban ini berlaku. Sebaik dan semulus yang mungkin kita lakukan, itu saja.

Jangankan kita, toh sekelas nabi saja tugasnya hanya menyampaikan dan memperingatkan. Itu saja.Lebih lanjut tentang Poyang Pidik, Beliau tiga bersaudara. Jaik, Pidik dan Zubaidah (Upiak Ketek). Beliau dan ajonya, Jaik, bermakam di kampuang. Sementara adiknya, Upiak Ketek, bermakam di Taba Anyar, Lebong. Sementara Poyang Zaibun, suaminya, bermakam di Talang Rimbo, Curup.

Poyang Pidik punya anak 4 orang. Seorang dari suami pertamanya bernama Ramaya. Sementara dari Poyang Zaibun, suami keduanya, tiga orang anaknya. Yaitu Zainidar (Makwoku), Zainuddin dan Zaiyunis. Poyang Zaibun pun, selain Makwoku dan dua adiknya, juga punya anak lagi yaitu Zainiar.

Jadi, Makwoku enam bersaudara. Ramaya (seibu), Zainidar, Zainuddin, Zaiyunis dan Zainiar (seayah). Makwo dan saudaranya seibu seayah bermakam di rantau. Makwo di Curup, Angku Zainuddin di Kalimantan dan Angku Zaiyunis di Bengkulu. Sementara Makwo Ramay di Sungai Sariak (dekat ibunya, Poyang Pidik). Sedangkan Makwo Niar di Palo Koto, pertengahan Padang dan Pariaman.

Keterangan Photo:Aku, Ibu dan Sulungku di komplek Pemakaman Keluarga Poyang Jamilah di Ujung Gunung, Sungai Sariak, Kabupaten Pariaman. Sore Rabu, 28 Desember 2022. Kami ditemani oleh Mamanda Kutar.

Angku maupun Makwoku juga memiliki tradisi merantau yang kuat di dalam keluarganya. Seperti umumnya keluarga Minangkabau. Boleh dikata, tradisi itu hampir sebangun di antara keluarga Beliau Berdua. Bahkan, keduanya berjodoh di Bengkulu. Rantau terbanyak yang dituju keluarga keduanya.

Ya, Angku dan Makwo bertemu dan menikah di Bengkulu. Karena keduanya sama mengikuti keluarganya merantau ke Bengkulu. Pertemuan keduanya berpangkal dari tempat tinggal sekaligus usaha keluarga yang berdekatan. Sembari usaha pangkas rambut, Angku juga berdagang kelontongan.

Tempat Angku berdagang kelontongan itu tak jauh dari tempat Poyang Zaibun, abak Makwo, tinggal dan berdagang sekaligus servis asesoris (emas). Melihat Angku yang rajin usaha dan masih bujangan itu, akhirnya Makwo, pada suatu hari, disuruh oleh orang tuanya membeli gula di warung Angku.

Makwo pun heran mengapa orang-orang yang ada di warung Angku pada senyum-senyum melihatnya. Ternyata, sebelumnya sudah ada rundingan antara orang tua Makwo dengan Angku untuk mempersunting dirinya. Akhirnya, Angku dan Makwo menikah.

Makwo berusia 16 tahun. Usia umumnya gadis menikah kala itu. Sementara usia Angku satu kali lipat di atas Makwo. Sebelum menikah dan ikut keluarganya ke Bengkulu, Makwo tinggal di Palo Koto, kampung abaknya, Puyang Zaibun.

Makwo lebih betah di sana dari pada di Sungai Sariak. Sebab aktivitas keagamaannya lebih aktif hingga Makwo, seperti diceritakan Ibuku, bisa pula ikut mengajar ngaji. Terkait kemampuan bacaan Al Quran Makwo, aku yakin sekali sebab aku pun pernah dikoreksi. Kesalahan pada huruf ض saat membaca Al Fatihah.

Terkait laku merantau keluarga Angku, seperti diceritakan Etek Mulyani (Tek Mus), waktu kegiatan Temu Zuriat Itam Abusiyah hari kedua di Taratak kemaren, keluarga mendahului dan Angku menyusul belakangan ke Bengkulu. Pun begitu keluarga Makwo. Jadi, dari keluargalah mereka kemudian ikut merantau ke Bengkulu.

Keterangan Photo:Photo pertama kami berpose di halaman rumah tua keluarga Angku di Jalan Kereta Api, Pariaman Tengah, Kota Pariaman. Photo kedua kami berpose di halaman rumah tua keluarga Makwo di Ujung Gunung, Sungai Sarik, Kabupaten Padang Pariaman. Siang dan sore Rabu, 28 Desember 2022.
D.M.S. Harby
Tulisan diolah dari berbagai sumber. Penulis adalah alumni Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyah Islamiyah (MITI) Pasar Baru Curup, MTs. Pondok Pesantren Arrahmah Air Meles Atas Curup, MAK Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja OKU Timur dan Kepala Sekolah Dasar Tarbiyah Islamiyah (SDTI) Curup 2015-2017. Kini Ketua Ikatan Alumni PPNH Sukaraja, Ketua PC Tarbiyah-Perti RL dan Ketua Pembina Yayasan Tarbiyah Rejang Lebong (YTRL).