scentivaid mycapturer thelightindonesia

Muhammadiyah Inyiak Parabek

Muhammadiyah Inyiak Parabek

Saya diberi gelar ini oleh Tuangku Doktor, Pak  Ismail Novel (beliau juga alumni Parabek). Ini diguyonkan beliau saat saya bertanya tentang tokoh-tokoh yang menyusun metode ijtihad Muhammadiyah kepada beliau saat seminar online Ahad lalu.

Alasan beliau, karena saya secara organisasi tergabung dalam persyarikatan Muhammadiyah, namun tetap berhaluan Asy’ari dalam akidah, Syafi’i dalam fikih. Maka beliau pun menyematkan Inyiak Parabek di belakang Muhammadiyah, sebagai nisbat kepada pendiri madrasah tempat saya dahulu menimba ilmu, yang memang dikenal sebagai tokoh Kaum Muda, tapi tetap bermazhab Syafi’i dalam fikih, Asy’ari dalam akidah.

Baca Juga: Syekh Ibrahim Musa dan Majalah al-Bayan dalam Dimensi Sosial-Keagamaan di Minangkabau

Sebenarnya ini tidak aneh. Asy’ari Syafi’i sebagai identitas Muslim Indonesia, apapun ormasnya, sudah diakui bahkan oleh Buya Hamka sendiri (foto terlampir). Kalau bahasa Ustaz Ahmad Sarwat, sudah menjadi DNA Muslim Indonesia. Syarah HPT Muhammadiyah Bab Iman karya Ustaz Wahyudi Abdurrahim-pun menjelaskan hal ini secara detail, tampak jelas dari kewajiban ‘nazhar’, penetapan sifat-sifat wajib bagi Allah serta metode takwil dan tafwidh di dalamnya.

Saya bergerak di Muhammadiyah, tapi saya belajar di Thawalib Parabek dan al-Azhar Mesir. Tidak sebaliknya. Dan tak patut pula rasanya saya harus singkirkan ilmu yang telah susah payah saya tuntut, hanya karena saya tergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Toh Muhammadiyah bukan Wahhabi, bukan pula anti mazhab.

Kadang banyak yang tak paham juga, bahwa KH Ahmad Dahlan pun berguru pada Syaikh Ahmad al-Khathib al-Minangkabawi juga, yang notabene adalah Syafi’i, Asy’ari, yang juga secara implisit menjelaskan pentingnya bertarekat dalam kitab beliau Fathul Mubin.

Jadi, ya, ilmu itu tidak mengenal ormas. Khilaf itu biasa, inhiraf baru kita mesti waspada. Maka jangan kaget jika saya berceramah di Masjid Muhammadiyah, mengajar di pondok Perti dan NU, serta belajar silat di surau tarekat. Toh semuanya Ahlussunnah Waljamaah. Ya, kan?

Baca Juga: Buya Hamka dan Kifayatul Atqiya’

***

Terima kasih pada adik saya, Fakhry Mar-i Fathaniy, untuk hadiah bukunya. Insyaallah bermanfaat. Juga semoga keberkahan selalu tercurah untuk penulis, senior kami Ustaz Wahyudi dan guru-guru serta orang tua kita semua. Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.

Fakhry Emil Habib
Researcher Usul Fikih, Dirasat Ulya, Universitas al-Azhar