Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif seorang tokoh sebagai pra-Muktamar Muhammadiyah, menunjukkan penghormatan ormas bersangkutan terhadap anggotanya sekaligus merefleksikan hakikat ormas yang memiliki pribadi-pribadi merdeka yang memberi sumbangan langsung pada gerakan masyarakatnya.
Oleh: Raudal Tanjung Banua, Anggota Grup Kuncen Pantai Barat
Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo, didahului Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif, bertempat di auditorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), 12 November 2022. Penyelenggarannya, Maarif Institute, mengusung tema besar: Islam, Kebhinekaan dan Keadilan Sosial. Kegiatan tersebut sekaligus dirangkaikan dengan SKK-ASM (Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif), diikuti peserta dari berbagai daerah.
Dilaksanakannya “muktamar pemikiran” seorang tokoh sebagai pra-Muktamar Muhammadiyah, menunjukkan penghormatan ormas bersangkutan terhadap anggotanya yang diketahui selama ini banyak berkontribusi khususnya di bagian gagasan dan pemikiran. Sekaligus merefleksikan hakikat ormas bukan kumpulan massa an-sich, namun memiliki pribadi-pribadi merdeka yang memberi sumbangan langsung pada gerakan masyarakatnya.
Dan dengan itu kiranya kita mengenal istilah basis massa, yakni massa yang terayomi oleh pemimpin atau tokoh-tokohnya. Itulah massa terpimpin, yang tidak saja terpimpin dalam jalur struktural, juga kultural, dari mereka yang terpanggil secara moral. Ini yang membedakan massa ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dengan partai politik, di mana massa adalah ummah atau jemaah dengan legitimasi yang sama kuatnya, di pihak lain parpol menyebutnya konstituen, yang artinya lumbung suara.
Kita tahu, posisi Ahmad Syafii Maarif dapat dikatakan sebagai pemimpin yang “ideal”. Kebetulan ia pernah memimpin secara struktural (ketua PP Muhammadiyah 1998-2005), dan sebelum dan sesudahnya ia tetap melakukan kepemimpinan kultural. Kata “kebetulan” dimaksudkan bahwa untuk berkonstribusi tidak harus melalui jalur struktural, sebab jika pun Buya tidak masuk ke struktural, kita yakin ia tetap akan melakukan tugasnya memenuhi panggilan moral ke-Muhammadiyah-an.
Muktamar pemikiran ini juga mengingatkan kita kepada sejarah awal lahirnya Muhammadiyah, dirintis oleh pribadi sederhana tapi memiliki panggilan moral yang kuat terhadap kehidupan beragama dan berbangsa. Itulah sosok KH Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh lain yang sevisi.
Lebih dari itu, diletakkannya “muktamar pemikiran ASM” sebagai pra-muktamar Muhammadiyah, mengisyaratkan keberadaan ruang-ruang lain yang perlu dikelola di luar muktamar formal. Jika itu dapat dimaksimalkan tidak tertutup kemungkinan jangkauannya bisa melebihi agenda formal, apalagi jika agenda formal hanya memuat laporan pertanggungjawaban pengurus, AD/ART organisasi, merespons isu-isu mutakhir dan akhirnya memilih para pengurus baru. Karenanya, Maarif Institut sangat cermat membaca peluang dan kemungkinan ini, dengan membuka forum kebangsaan secara luas dan menghadirkan pembicara/peserta dari pelbagai latar belakang, lintas iman, profesi dan organisasi.
Tercatat sebagai pembicara Prof. Dr. Haedar Nashir (Ketua PP Muhammadiyah) yang tampil sebagai keynote speaker: Refleksi dan Relevansi Pemikiran ASM dalam Konteks Tantangan Politik Demokrasi di Indonesia. Materi sesi pertama tentang Inklusivitas, Kesetaraan dan Persaudaraan Lintas Batas disampaikan oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah (guru besar UIN Sunan Kalijaga, anggota dewan pengarah BPIP), Dr. Romo Greg Soetomo (koordinator dialog dengan muslim di Jesuit Confrence of Asia Pasific, Manila) dan Elga Sarapung (Dian Interfidei), moderator Moh. Shofan.
Sesi kedua tentang Arabisme, Lokalitas dan Kosmopolitanisme Islam: Refleksi Diaspora Pemikiran ASM, pembicara Ulil Abshar Abdalla (Ketua Lakpesdam NU), Dr. Azhar Ibrahim (National University of Singapore) dan Yayah Kisbiyah, MA (Direktur Eksekutif PSBPS UMS), moderator Hamzah Fansuri. Sesi ketiga tentang Alquran, Pancasila dan Keadilan Sosial oleh Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani (Kepala OR IPSH-BRIN), Dr. J. Haryatmoko, SJ (USDY) dan Nuraini, MA (Alumni SKK-ASM 2) moderator Pipit Aidul Fitriyana. Materi keempat, Tantangan Intoleransi dan Politik Identitas di Indonesia: Meneruskan Legacy Perjuangan ASM oleh Philips J. Vermonte, Ph.D (Dekan FISIP UII), Thung Ju Lan, Ph.D (peneliti senior BRIN) dan Cici Situmorang (alumni SKK-ASM 1) moderator Puti Hasanatu Sa’diyah.
Tapi tampaknya panitia lupa atau memang tak tertarik untuk menghadirkan pembicara dari latar belakang seni-budaya, katakanlah dari kalangan sastrawan/budayawan. Padahal selama ini kita tahu, Buya sangat apresiatif terhadap sastra dan kerap menjadikan karya sastra sebagai pintu masuk ke dalam pikiran-pikirannya, baik sastra klasik-lisan Minangkabau, sastra Indonesia modern seperti Hamka dan Chairil Anwar, hingga sastrawan manca seperti Iqbal dan Tagore. Buya juga sangat responsif terhadap sesuatu yang dianggap kurang. Misalnya, ketika dalam sebuah buku Buya menulis hampir semua tema dan tidak menyertakan tema tentang perempuan, lalu ada kritik atau masukan tentang itu, segera dalam terbitan berikutnya buku tersebut mengalami penambahan bab tentang perempuan.
Saya kira ini juga terjadi di Maarif Institut, lembaga yang diinisiasi Buya. Kalau kita perhatikan, hampir semua pembicara, juga tema, menunjukkan respons yang cepat atas isu-isu mutakhir, sebutlah dialog antar iman, toleransi, demokrasi, pluralitas, Pancasila, dan lain-lain. Maka tak heran banyak pembicara dari kalangan tokoh agama, peneliti-akademisi dan LSM. Hanya saja tidak mengakomodasi isu-isu di bawah permukaan semisal tersingkirnya humaniora, seni dan kebudayaan. Tak heran, pembicara dari kalangan seni tak terhadirkan, mungkinkah karena isu-isu seni masih dianggap sepi? Padahal justru karena itulah harus diberi ruang, termasuk sebagai budaya/wacana tanding untuk Muhammadiyah yang selama ini dianggap kering dari aktivitas dan dialektika seni budaya.
Sila Kelima yang Yatim-Piatu
Buya Syafii Maarif sering menyebut bahwa kondisi sila kelima Pancasila paling menyedihkan, alias yatim piatu. Haedar Nasir mengakui hal itu dengan mengatakan bahwa berbuat adil memang sangat berat, tapi bukan tidak mungkin. Apalagi seturut Haedar, sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” itu, sejatinya sudah dipenggal sejak sila keempat. Kita tahu semua sila dalam Pancasila saling terkait. Jika satu sila goyah, maka dapat dipastikan sila yang lain akan mengalami guncangan.
Inilah yang terjadi dengan sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sila keempat ini kehilangan ruhnya sejak amandemen UUD pasca reformasi dilakukan. Ia berani mengatakan bahwa sila keempat Pancasila pada hakikatnya sudah tidak ada. Jika keterwakilan sudah tidak ada, bagaimana mungkin kebijaksanaan bisa diterapkan secara adil dan merata?
Dalam memandang bangsa, Buya Syafii sama dengan Sukarno dengan merujuk Ernest Renan (1823-1892). Bagi pemikir Prancis tersebut, sebuah bangsa hadir dan terbentuk karena keinginan bersama; tidak saja berdasarkan sejarah yang sama, juga kesamaan cita-cita.
Sejarah Indonesia adalah mozaik yang indah. Pra-Indonesia ditandai interaksi semua komponen, termasuk kepercayaan dan agama-agama lokal. Konvensi Hindu ke Islam berjalan damai, kecuali mungkin ada konflik-konflik kecil. Dalam konteks luas, apa yang disebut Haedar sebagai konflik-konflik kecil boleh jadi keniscayaan peradaban. Namun bagaimanapun, situasi kini jauh berbeda dengan masa lampau. Maka kita tak dapat menisbikan konflik-konflik kecil itu sebagai sekadar keniscayaan peradaban. Sebab itu berpotensi menyulut api perpecahan. Bukankah banyak konflik besar di Indonesia disulut oleh konflik-konflik kecil yang tak diselesaikan bahkan cenderung terbiarkan?
Adalah benar bahwa persoalan masyarakat harus diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri, yang artinya memberi ruang kepercayaan, sebagaimana pernah dinyatakan Gus Dur dalam menanggapi konflik Ambon dan Sampit—yang kemudian disalah persepsi bahwa itu bentuk lepas tangan pemerintah. Sebenarnyalah, penyelesaian sendiri itu bermakna demokratis, bukan tanpa kepemimpinan. Persoalannya, negara selalu absen dalam konflik-konflik semacam itu, sebaliknya akan bergegas mengambil manfaat dari situasi damai suatu masyarakat kadang melebihi apa yang didapat oleh masyarakat itu sendiri, misalnya mendulang suara atau menyukseskan program sepihak pemerintah.
Secara institusional, terbentuknya negara didahului oleh peristiwa besar seperti Sumpah Pemuda, dan jangan lupa, Kongres Wanita yang melibatkan Aisyiah. Pendeknya, kata Haedar, semua orang dengan latar belakang berbeda-beda menjalani komitmen politik untuk mengikat keragaman menjadi kesatuan. Akumulasi mozaik sejarah ini merupakan modal Indonesia merdeka. Dan menjadi dialektika dalam pembentukan undang-undang dasar seperti dalam sidang-sidang BPUPKI. Salah satunya menyepakati penghilangan tujuh patah kata dalam apa yang dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Semua agama menurut Haedar punya kesamaan menghormati kemanusiaan dan kesemestaan. Masalah aqidah dan ritual adalah “mozaik” dari agama masing-masing. Sikap fanatik dan puritan agama sah, tapi jika menegasikan agama atau pemeluk agama lain, itu yang tidak pada tempatnya Puritanisme dan ortodoksi agama dapat memunculkan respon sektarian (sektarian responable). Maka tugas terberat kita adalah merekonstruksi pemahaman ini untuk kemaslahatan umat dan masyarakat. Laqum dinukum waliyadiin dalam Islam, harus diaplikasikan dengan jiwa yang lapang.
Tapi di tengah situasi itu, Haedar yakin bahwa energi positif agama lebih besar daripada energi negatif seperti yang terpancar dari konflik-konflik tadi. Hanya Haedar mengingatkan, selama ini perayaan atas keberagaman begitu efouria, tapi kita abai merayakan kesatuan. Ini yang terjadi. Apalagi pembelahan dalam dua kali Pemilu lalu memunculkan politik saling telikung. Akankah kita mau mengulangi?
“Nah, persoalannya tokoh-tokoh politik menolak politik identitas, tapi para politikus ramai-ramai masuk ke pesantren,” kata Haedar bernada ironis.”Ini bukan hanya di lingkungan NU, ya, Muhammadiyah juga punya 499 pesantren,” lanjutnya diplomatis.
Problemnya sekarang, kata Haedar, merujuk Buya Syafii yang menyebut sila kelima yang yatim-piatu, menjadi adil itu memang berat sementara kesenjangan sosial masih terjadi jika bukan kian menganga. Karena itulah negara harus hadir dan menyelesaikan persoalan itu, tapi jangan parsial. Harus diselesaikan dari akar masalahnya.
Tentu saja, selain kehadiran negara menyelesaikan konflik-konflik di masyarakat, menurut hemat saya organisasi semacam Muhammadiyah juga tak boleh absen terutama dalam meminimalisir kesenjangan sosial dengan berusaha semaksimal mungkin untuk adil. Salah satu yang menjadi perhatian kita ialah upaya meningkatkan kesejahteraan guru-guru/pendidik di lingkungan sekolah dan mungkin juga perguruan Muhammadiyah. Selama ini mereka selalu diberi semangat pengabdian untuk menghidup-hidupi Muhammadiyah, namun untuk hidup mereka sendiri betapa sulit di tengah situasi sosial ekonomi yang kian menghimpit. Kalau prinsip keadilan itu mau diterapkan, setidaknya kita bisa mulai dari sini.
Dialog Antar Iman
Sosok dan pemikiran Buya Syafii menurut M. Amin Abdullah dapat ditandai dalam tiga pokok, yakni keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Tidak disebutkan kemuhammadiyahan. Kita tentu bisa memaknainya sebagai perwujudan panggilan Buya sendiri selama ini supaya orang Muhammadiyah bisa keluar dari kotak kemuhammadiyahannya.
Meski begitu, dalam pandangan lain, seperti Riki Dhamparan Putra, seorang penyair yang beberapa waktu terakhir cukup intens mengelaborasi pikiran-pikiran Buya, baginya sosok dan pikiran Buya selalu melibatkan tiga kata kunci: Islam, Muhammadiyah dan Indonesia. Bisa diartikan bahwa Buya tak bisa dipisahkan dari dasar berpijaknya, yakni organisasi yang telah membentuk karakter dan menjadi tempatnya mengabdi.
Hal yang terkesan teknis ini sebenarnya menunjukkan bahwa keberadaan ruang-ruang kategoris seperti keislaman, kebangsaan, kemanusiaan atau kemuhammadiyahan, bagaimana pun tak bisa dinisbikan. Masing-masing punya tugas menggali dan merefleksi kedalaman setiap bidang, termasuk memperkuat dasar-dasarnya. Akan tetapi setiap bidang memiliki fleksibilitas hubungan yang saling menguatkan. Tentu saja, karena dalam masing komponen terkandung semangat dan tujuan komponen lain sehingga tak bisa dipisahkan; di dalam Islam ada semangat kebangsaan dan kemanusiaan yang dapat dikelola melalui organisasi semacam Muhammadiyah, dan penjabaran-penjabaran lain yang selaras.
Prof. Amin mengamini pandangan Haedar tentang sengitnya pergulatan bangsa Indonesia dalam melahirkan NKRI. Ketakjubannya ditunjukkan dengan fakta betapa luas dan kompleksnya negeri ini. Lihat dan kenalilah wilayah Indonesia. Jarak dari Sabang sampai Merauke tercatat 8.514 km, tidak ada apa-apanya dengan jarak London-Ankara (3.485 km) dan jarak Madrid-Moskowa (3.444 km). Jarak yang agak mendekati adalah London-Makkah (6.201 km) atau Kairo-Johannesburg (Afrika Utara-Afrika Selatan) sejauh 8.350 km.
Maka betapa ajaibnya wilayah seluas itu, yang sangat kompleks dengan aneka realitas sosiologis-antropologis penghuninya (yang jumlahnya juga keempat terbesar di dunia), itu pun berbentuk kepulauan, bisa bersatu membentuk sebuah negara yang berdaulat!
Semua itu jelas tidak a-historis. Ada banyak peristiwa dan pelaku yang telah menorehkan garis kesatuan itu. Peristiwa-peristiwa besar yang didedah Haedar, digenapkan oleh Prof. Amin dengan menambah rangkaian peristiwa dalam metamorfosis keberagaman menjadi kebersatuan. Selain Sumpah Pemuda (1928) yang menggelorakan satu nusa, bangsa dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia, ada pernyataan satu negara dalam peristiwa Proklamasi (1945). Lalu satu kedaulatan negara kepulauan dan perairan (archipelagic waters) (1957), dan tanpa ragu Prof. Amin menggenapkannya dengan “peristiwa” sosio-kultural impian dan cita-cita Buya Syafii, yakni: satu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Upaya menempatkan impian dan cita-cita Buya dalam rangkaian peristiwa kesatuan berbangsa, seperti setara atau paling tidak sama pentingnya dengan rangkaian terdahulu dalam sejarah, menunjukkan bahwa kapasitas pikiran Buya bukan main-main. Akan tetapi, sebagaimana keberhasilan peristiwa kesatuan terdahulu, sebuah gagasan tak mungkin terwujud bila tak didukung dan digerakkan secara bersama-sama.
Terlepas dari mungkin adanya kekurangan, peristiwa terdahulu berhasil membentuk satu negara yang berdaulat, sementara “peristiwa” impian dan cita-cita Buya tentang keadilan sosial masih dalam proses, masih berlangsung. Tentu saja dalam proses tersebut upaya-upaya yang dilakukan Buya telah ikut mewarnai kehidupan bangsa dewasa ini. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa sambutan atas pikirannya tidak sekompak pada sambutan pikiran tokoh-tokoh dalam masa “berjoang”. Akibatnya, pikiran Buya yang seharusnya diusung secara bersama-sama di gelanggang kebangsaan kontemporer, masih dipahami sepotong-sepotong.
Dan seperti biasa, sepanjang menyangkut penolakan, orang akan menuduh masyarakat tanah kelahirannya sendiri, Sumatera Barat, yang dianggap berseberangan dengan Buya. Meski tuduhan itu jelas bersifat simplikatif sebab tidak semua “urang awak” seperti itu. Lagi pula Sumbar, sebagaimana daerah lain, tidak steril dari situasi politik nasional yang sedang tidak baik-baik saja. Sementara kita tahu, Buya sendiri merasa mendapat semangat yang tak pernah habis dari tanah kelahirannya itu.
Di sisi lain perlu dicermati bahwa suara dan pikiran Buya kerap hanya berakhir di seminar-seminar. Tak banyak pihak bersungguh-sungguh mewujudkannya dalam tindakan riil. Periksalah diri kita: sejauh mana jeritan Pancasila (yang analog dengan jeritan hati Buya) kita tanggapi? Sudahkah sila kelima yang yatim-piatu itu “diadopsi” para bapak angkat yang hidup dengan kekayaan berlipat berkat hasil bumi milik seluruh rakyat Indonesia ini? Masih jauh panggang dari api. Bahkan “di masa pembangunan ini” (pinjam sebaris puisi Chairil Anwar), negara pun seolah melongos menolak membangun “panti asuhan kemanusiaan” secara layak, buat menampung keyatim-piatuan rakyat Indonesia yang tuna-keadilan.
Apa yang terjadi? Menurut Prof. Amin Abdulah, baik dalam keseharian maupun keilmuan, kita mengalami stagnasi metodelogi. Amin mungkin benar. Bagaimana kita akan bisa mengenal Indonesia yang luas ini jika kita tak punya metodelogi antropologis dan historis yang aksestable? Bagaimana kita akan merasakan pengalaman masyarakat yang beragam jika tak ada metodelogi sosiologis yang aplikatif? Bagaimana kita memahami pemikiran tokoh bangsa tanpa metodelogi filsafat yang familiar?
Prof. Amin mencontohkan dunia pendidikan. Bagaimana guru agama Islam akan mengetahui apa dan bagaimana agama Kristen, Budha atau yang lain, jika mereka tidak pernah belajar atau bersentuhan dengan wawasan keagamaan itu? Begitu pula sebaliknya. Seharusnya, guru-guru pelajaran agama atau Pancasila bisa menambah wawasan dengan mengenali agama lain lewat metode baru. Dan ada juga hal menarik: piknik.
Untuk mengenal Indonesia yang luas dan beragam itu, ia menyarankan para pihak untuk piknik ke tempat-tempat yang belum dikenali. Misalnya, jamaah Islam Jombang piknik ke Tarutung ke tempat kehidupan masyarakat Kristen, dan sebaliknya jemaah HKBP piknik ke pondok pesantren di Jombang. Hal ini mungkin terkesan mudah, meski untuk manfaat riil sebetulnya juga tidak mudah. Sebab jika tidak ada metodelogi yang baik dan benar, boleh jadi akan senasib dengan studi banding pejabat dan anggota DPR ke mancanegara.
Tapi bagaimana pun “piknik” mungkin tidak akan menuntut perombakan metodelogi secara radikal, jika memang stagnasi metodelogi harus dibongkar. Meski memang harus ada sikap moderasi atas hal-hal dasar yang telah menjadi kepercayaan masyarakat. Hal ini terutama saya tujukan kepada pembicara lain, Yayah Kisbiyah. Ia melihat stagnasi metodelogi sebagaimana disarankan Prof. Amin, bisa diterobos dengan “sekulerisasi” pendidikan. Selama ini anak-anak kita bersekolah di tempat yang homogen, dari masa PAUD, TK, pendidikan dasar hingga menengah. Akibatnya mereka gagap memaknai perbedaan. Menurut saya ini terlalu menyederhanakan sifat dasar kesemestaan, yakni hal-hal alamiah. Seolah keadaan alamiah itu tidak punya kekuatan untuk membuat orang bisa beradaptasi. Padahal apa yang diprogram dan disodorkan secara tidak alamiah/natural, boleh jadi hanya menghasilkan interaksi yang bersifat permukaan.
Katakanlah, sebagai misal, kita menyekolahkan anak-anak secara lintas sekolah. Kalau selama ini anak Islam hanya bersekolah di sekolah Islam yang tentu homogen, maka supaya bisa mengalami iklim heteregonitas, kenapa tidak masuk ke sekolah yang dikelola yayasan Kristen, misalnya? Begitu pula sebaliknya. Menurut saya ini bukan saja relatif naif, juga riskan. Ingatlah, kebersatuan, toleransi dan sejenisnya, tidak diajarkan secara parsial, namun hendaknya tumbuh dari pengalaman organik.
Lokalitas dan Multikultural
Ulil Abshar Abdalla, menyitir Romo Greg Soetomo, sepakat menganggap perjumpaan berbagai kelompok dalam ruang-ruang dialog yang dirancang bersama dan demokratis sesuatu yang baik. Memang, perjumpaan bukan saja membuat setiap komponen dapat saling merasakan “detak jantung”, juga “kata hati”. Dalam ruang yang indah seperti itu, kita berharap segala hal mendapat tempat setara, termasuk perlakuan terhadap istilah dan wacana, di mana tidak menganggap yang satu konotatif dan yang lain denotatif.
Ulil bicara Arabisme, lokalitas dan kosmopolitanisme. Menurutnya, Arabisme sesuatu yang dianggap negatif karena dianggap tak berakar dalam masyarakat setempat. Apalagi rujukan Arabisme adalah Arab Saudi yang menjadi basis kaum Wahabi. Tapi Arabisme pernah positif pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang ditandai dengan kebangkitan Arab dan lahirnya nama-nama penting seperti Abduh, Arkoun, dan lain-lain. Lalu kini maknanya berubah spesifik yang tertuju pada Arab Saudi dalam pengertian puritan.
Di antara Arabisme, lokalitas (pribumisasi Islam) lalu kosmopolitanisme, posisi Buya menurut Ulil berada pada yang ketiga, yakni kosmopolitanisme. Di titik ini Buya tak perlu lagi berkompetisi mendefenisikan Islam sebagaimana dilakukan banyak kelompok. Rujukan dan defenisi Buya sudah jelas. Buya menjadikan Alquran sebagai gagasan etis dan relegius yang bernilai universal. Ia misalnya mengambil semangat surat Al Maun dalam memaknai persoalan kemiskinan. Orang miskin, bukan hanya terbatas persediaan beras, jagung atau gandum, namun juga berarti terbatasnya literasi dan pengetahuan.
Hal ini senada dengan peryataan Dr. Azhar Ibrahim yang melihat bahwa setiap gerak Buya itu diinspirasi oleh Al-Quran, diperkaya bacaan dan renungan, dan tak kalah penting perjumpaannya dengan sejumlah tokoh, baik langsung maupun via pemikiran, terutama tiga sosok: Hatta, Soejatmoko dan Fazlur Rahman. Tidak bisa dilupakan pula posisi Buya sebagai manusia rantau dan manusia peduli. Manusia rantau membuat Buya tak canggung jadi pelintas batas, tak kikuk dengan diaspora pikiran. Kepedulian Buya juga melintasi batas-batas negara, sebagaimana ia rasakan Buya hadir di Singapura dan Malaysia atau dunia Melayu.
“Kami di Singapur yang butuh mercu suar keislaman, selalu melihat api pelita Buya menyala,” kata Azhar Ibrahim berumpama, dan mengaku bahwa bukan hanya Indonesia yang kehilangan Buya, juga negara-negara serumpun.
Buya, kata Azhar, berbeda dengan sejarawan kronikal, yang memiliki banyak data, tapi tidak memberi jalan keluar sebab tidak adanya keterlibatan dan keberpihakan. Sementara Buya merupakan sejarawan yang berpihak kepada masyarakat lemah. Di tangan Buya, sejarah bukan berhenti sebagai data, namun menjadi wacana tentang tatanan kehidupan suatu kaum atau masyarakat.
Apa pun, pemahaman defenisi perlu didudukkan sejak awal. Sebab jika tidak kita akan terkungkung dalam pengertian sempit, atau salah kaprah dan berputar pada masalah teknis. Misalnya, bagaimana peserta masih bingung menempatkan antara pluralitas dengan sinkretisme. Bagi mereka itu sama. Padahal jangankan di dalam pelaksanaannya—bahwa tidak benar pluralitas itu sama dengan sinkretisme—dalam pengertiannya saja bisa sangat luas. Sebagaimana dikatakan Thung Ju Lan, bahwa pluralisme itu bukan hanya jumlah yang beragam tapi juga persfektif yang beragam.
Begitu halnya dengan lokalitas. Lokalitas sebenarnya bukan sebatas etnisitas, sebagaimana dikatakan Azhar Ibrahim, akan tetapi juga segala corak pemikiran spesifik yang lahir dari pergulatan seseorang. Pemahaman lokalitas tak sebatas etnisitas sudah lama dipercaya dalam sastra. Tema-tema yang unik dengan gaya ungkap yang spesifik dan menjadi soliloqui seorang pengarang dapat disebut sebagai lokalitas. Karena itulah di dalam sastra dikenal misalnya lokalitas desa dan pesantren sebagai mana tersua dalam novel Ahmad Tohari atau puisi D. Zawawi Imron, lokalitas urban sebagaimana dalam cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti atau Seno Gumira Ajidarma, bahkan lokalitas “orang-orang Bloomington” dalam cerpen Budi Darma—sebagaimana pernah ia akui sendiri—dan tentu saja lokalitas dalam pengertian etnik yang jumlahnya memang lebih banyak sebagaimana dalam karya Wisran Hadi, Oka Rusmini atau Korrie Layun Rampan.
Dengan merujuk pada fenomena ini, maka Arabisme dan termasuk kosmopolitanisme bisa saja menjadi bagian dari lokalitas Islam Indonesia, dan jika hendak dibawa pada tataran konsepsi Islam Nusantara, maka Arabisme itu seharusnya ikut melebur menjadi bagian lokalitas masyarakat setempat. Jadi apa yang disebut sebagai kurang mengakar itu tidak tepat, sebab Arabisme dengan berbagai pengaruh budaya dan kehidupan sosial ekonominya telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Nusantara. Maka tidak seharusnya Arabisme menjadi sesuatu yang berseberangan letak dengan lokalitas, namun bergandengan, justru disaat kita hendak meletakkan Islam dalam ranah kosmopolitan sebagaimana dikatakan menjadi titik pijak Buya Syafii.
Dan jika ada Arabisme, tentu juga boleh ada Chinaisme, Indianisme, Turkisme atau Eropaisme. Meleburnya semua “isme-isme” itu dalam kehidupan masyarakat Nusantara yang menyatu dengan budaya setempat, itulah kosmopolitanisme sesungguhnya. Dengan andaian itu, tentu ada juga lokalitas Muhammadiyah, lokalitas NU, bahkan lokalitas pesantren sebagaimana diisyaratkan Gus Dur dalam sebutan pesantren sebagai sub-kultur.
Jadi, meletakkan Arabisme di satu sisi, kosmopolitan di sisi yang lain, dan lokalitas di tengah-tengah, menurut saya cenderung bias. Seolah-olah Arabisme itu tidak punya daya kosmopolit di satu sisi, dan di sisi lain dianggap tak punya daya tawar dengan lokalitas. Sebaliknya di dalam kosmopolitan dan lokalitas, Arabisme seolah tak ikut ambil bagian.
Untuk menghindari bias, saya kira perlu ditegaskan apa yang dimaksud dengan Arabisme itu, dan kemudian menggunakan maksud yang sebenarnya itu tanpa jubah simbolisme. Ulil Abshar sudah melakukan upaya itu pada awal pembicaraan. Ia menyebut bahwa yang dimaksud Arabisme dalam konteks aksi-reaksi lokalitas dan kosmopolitanisme adalah Arab Saudi, dan lebih spesifik lagi Wahabi.
Hanya dalam melanjutkan pembicaraan Ulil sebaiknya menggunakan Wahabi vis a vis pribumisasi dan kosmopolitanisme, yang akan memperlihatkan dengan jernih alasan-alasan kenapa ia tertolak bahkan di kalangan Aswaja dan Islam Nusantara sendiri. Jadi pembicaraan bisa dilepaskan dari bayang-bayang geopolitik Arab atau Timur Tengah, mengingat apa yang disebut Wahabi juga ada di sejumlah wilayah (meski sejarah kemunculannya memang di Saudi Arabia). Belum lagi pemaknaannya bisa saja sudah mengalami pergeseran dari apa yang semula bergelora di Saudia Arabia sana.
Cara ini lebih adil untuk mempertimbangkan kenapa sampai hari ini sebagian besar umat Islam Indonesia (termasuk di kalangan Islam Nusantara atau Aswaja) merasa belum “plong” menerima Ahmadiyah dan Syiah. Tentu bukan lantaran Indianisme atau Persiaismenya. Melainkan ada hal-hal prinsipil yang masih menjadi tarik-ulur sebagaimana halnya Wahabi—namun bukan berarti tidak bisa didialogkan.
Bukankah dialog ini yang terus-menerus dilakukan Buya Syafii?
Demikianlah, catatan ini tak bermaksud merespon dan menotulensi semua panelis. Ini hanya sedikit catatan kritis atas beberapa pembicaraan, sedangkan yang lain-lain bisa direspon dalam kesempatan dan konteks yang lain pula. Akhirnya, selamat ber-Muktamar Muhammadiyah; maju terus Islam Berkemajuan!
Leave a Review