scentivaid mycapturer

Nalar Tarekat Pada Hisab-Rukyat

Nalar Tarekat Pada Hisab-Rukyat

Perbedaan hari raya Idul Fitri tahun 1444H/2023M yang kentara telah memantik diskusi yang cukup hangat terkait metode-metode penentuan awal bulan hijriyah. Perbedaan itu tersimplifikasi menjadi penisbatan kepada dua ormas besar saja; Muhammadiyah dan NU, atau Muhammadiyah dan Pemerintah. Padahal masalah keilmuan di balik itu jauh lebih rumit, banyak, dan saling bertaut-kelindan. Seperti antara Ilmu Falak, Astronomi, Klimatologi, Fikih, Ushul Fikih, bahkan Tasawuf. Kesemua itu berakar dari cara olah dalil yang ada.

Sebenarnya, di Indonesia, hari raya Idul Fitri 1444H tidak hanya berbeda pada dua hari Jumat (21/4) dan Sabtu (22/4) saja. Sesedikit informasi yang Saya dapat, ada 6 perbedaan dalam menentukan 1 Syawal 1444H, dimulai sejak hari Rabu (19/4) sampai Senin (24/4). Perbedaan-perbedaan itu berada di tangan kelompok-kelompok keagamaan tertentu yang meyakini ilmu hisabnya masing-masing. Di luar ormas besar itu, kelompok-kelompok ini seringkali diasosiasikan kepada kelompok-kelompok tarekat. Berbagai argumen telah diajukan untuk menjawab problem ini. Salah satu yang paling nyaring terdengar adalah; “penentuan awal bulan adalah ranahnya fikih, tidak ada sangkut pautnya dengan tarekat yang merupakan ranahnya tasawuf”. Kurang lebih begitu yang sering Saya dengar atau baca.

Argumen di atas itu benar. Sudah sesuai dengan ketentuan fikih dan ushul fikih. Namun Saya punya pendapat berbeda yang mungkin saja salah. Menurut Saya, perbedaan-perbedaan yang ada pada kaum tarekat dalam penentuan awal bulan hijriyah, serta pengasosiasian masalah penentuan awal bulan ini kepada tarekat-tarekat itu harus dilihat dengan nalar yang berbeda. Dalam hal ini, nalar tarekat itu sendiri.

Nalar tarekat itu adalah nalar taqlid dan talqin. Apapun yang diajarkan guru tarekat (mursyid/khalifah) akan diikuti secara total dan sepenuh hati. Sebagian guru tarekat telah punya metodenya masing-masing dalam penentuan awal bulan hijriyah, sehingga hal inilah yang juga diikuti secara total oleh pengikutnya. Adapun hal ini bukan lagi ranah tasawuf atau tarekat, maka pengikutnya tak akan peduli. Bagi mereka, itulah yang diajarkan gurunya. Dan semua yang diajarkan gurunya terkait ibadah, adalah bagian dari talqin yang mesti mereka ikuti juga. Lalu, bagaimana dengan suksesor atau guru-guru berikutnya? Apakah akan ikut taqlid juga atau haruskah dia berijtihad mencari cara yang lebih mendekati kebenaran?

Bagi sebagian guru tarekat yang menjadi suksesor guru sebelumnya, konsep “menjaga tradisi dan warisan guru” adalah satu dari sekian banyak hal penting dalam bertarekat. Meskipun hal itu bersifat doktriner, tapi tetap menjaga dan melestarikannya adalah harga mati juga. Bagi seorang mursyid/khalifah, apapun yang pernah diajarkan guru sebelumnya itu adalah warisan intelektual yang dengan menjaganya itulah ia akan merasa tetap tersambung dengan sang guru meskipun gurunya itu telah tiada. Salah satu dari sekian banyak cara berkoneksi dengan guru yang telah wafat itu adalah dengan tetap memegang teguh dan mengamalkan ajaran-ajaran sang guru tersebut. Sehingga, dia akan merasa kehilangan koneksi ketika warisan guru itu tak lagi diamalkannya. Seandainya pun ada khazanah keilmuan lain yang lebih mumpuni dan mendekati kebenaran yang cukup logis baginya, maka khazanah itu akan disandingkan dengan warisan sang guru. Artinya, warisan gurunya harus tetap dijaga sedemikian rupa. Hal ini juga merupakan bagian dari nalar talqin dalam bertarekat.

Hal seperti itu tidak hanya terjadi pada kasus fikih seperti penentuan awal bulan hijriyah saja, tetapi juga terjadi pada ibadah-ibadah lain yang tak akan cukup dituliskan satu per satu di sini. Sehingga, hemat Saya, dalam kasus hisab-rukyat (penentuan awal bulan hijriyah), maka pengasosiasian kepada kaum tarekat menjadi lumrah dan biasa. Karena memang begitulah konstruksi nalar pada sebagian tarekat. Walhasil, apapun itu yang terjadi, Selamat Berlebaran. Semoga Lamang Tapainya tetap enak. Lamang Tapai saya terasa hambar karena Halal bi Halal ketemu mantan yang belum dihalal

Shafwatul Bary
Alumni PP Nurul Yaqin Ringan-ringan