Nasib Madrasah Tarbiyah Islamiyah dalam Ingatan Sejarah
Dalam ingatan sejarah, Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) sempat menjadi pilihan utama sebagai tempat belajar agama Islam di Minangkabau, bahkan di pulau Sumatera. Di zaman kolonial, MTI bisa bersaing dengan pendidikan yang ditawarkan Belanda tanpa kehilangan muka. Pada 1942 setidaknya terdapat 300-an MTI dengan sekitar 42.000 murid. Di masa awal kemerdekaan sampai Orde Lama, MTI pun tetap percaya diri berdampingan dengan sekolah-sekolah umum milik negara dan swasta.
Fakta tersebut menunjukkan tingginya penghargaan masyarakat pada pengabdian MTI-MTI di akar rumput. MTI-MTI yang diwadahi oleh Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) menegaskan pengabdiannya dalam merawat paham Ahlussunnah wal Jamaah dan Mazhab Syafi’i pada 3 dimensi: pendidikan (surau dan madrasah), sosial-budaya (dakwah) dan politik (keorganisasian). Dimensi pendidikan menjadi paling penting karena peran sosial-budaya dan sosial-politik jamaah Tarbiyah bersumber dari dimensi ini.
Baca Juga: Mendaras Ulang Sejarah Kelahiran Persatuan Tarbiyah Islamiyah
Namun seiring peralihan zaman, MTI-MTI mengalami pasang surut. Berbagai masalah mendera sekolah-sekolah yang didirikan para Inyiak-Inyiak pemuka Tarbiyah Islamiyah. Mulai dari masalah finansial, manajemen, kaderisasi, serta masalah yang lahir dari perubahan situasi sosial politik. Maka, untuk melihat lebih dekat perjalanan nasib MTI di dalam sejarah, Halaqah Online #2 mengambil tema “Nasib Madrasah Tarbiyah Islamiyah dalam Ingatan Sejarah.”
Rumusan Masalah
Halaqah kali ini akan menelaah 3 masalah utama:
1. Bagaimana nasib MTI-MTI dari periode ke periode?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi nasib MTI-MTI tersebut?
3. Siapa saja/pihak mana saja yang berperan mempengaruhi nasib MTI-MTI tersebut dan apa peran mereka?
Dengan mengucap Bismillah, mari kita berhalaqah!
Baca Juga: Berdamai dengan Sejarah Sumbang Catatan Menjelang Diskusi
Leave a Review