Salawat merupakan salah satu amal yang diperintahkan kepada setiap muslim. Bersalawat ialah ‘alamat (pertanda) cinta kepada Rasulullah, junjungan alam. Ulama-ulama yang saleh, sejak permulaan Islam menjadikan salawat sebagai rutinitas, wirid harian. Hal ini membuat seorang ulama besar di Maghribi, yang digelari dengan Qutub Da’irah al-Muhaqqiqin dan Sayyidul ‘Arifin, yaitu Sayyid Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli menghimpun lafaz-lafaz salawat yang diamalkan oleh para ulama dari zaman salafus shalah. Salawat-salawat yang yang dihimpun itu adakalanya ma’tsur dari Rasulullah, dan adakalanya merupakan susunan para shalihin sendiri. Kitab himpunan salawat itu diberi judul dengan Dala’ilul Khairat wa Syawariqul Anwar (Penunjuk kepada Kebaikan dan Sumber Cahaya). Kitab ini, sejak disusun, menjadi kitab salawat paling masyhur di dunia Islam, di Timur dan Barat, bahkan sampai ke Timur Jauh, yaitu Asia Tenggara. Salah seorang peneliti Belanda, yang berkonsentrasi dalam penelitian ilustrasi kitab Dala’il Khairat, menyebutkan bahwa salinan kitab Dala’il Khairat merupakan paling banyak di dunia, setelah al-Qur’an al-Karim. Hal ini menunjukkan bahwa Dala’il Khairat sangat populer di mana-mana negeri. Ke manapun kita pergi, di sana mesti ada Dala’il Khairat barang satu buah.
Begitu juga bagi Minangkabau, yang santer dikenal sebagai gudang ulama ini. Hampir semua ulama sejak masa saisuak mengamalkan Dala’il Khairat sebagai wirid harian. Di kalangan mereka, bahkan ada yang tidak terpisah dengan Dala’il Khairat, hingga ajal menjemput. Contohnya saja Raja Kecil di Siak. Menurut Buya Hamka dalam Perbendaharaan Lama-nya, Raja Kecil Siak ketika berperang memegang pedang di tangan kanannya, sedangkan tangan yang satu lagi menggenggam erat kitab Dala’il Khairat. Saya pernah mendapati guru saya, al-Marhum Beliau Rasyid Zaini (1916-2008) selalu membawa Dala’il Khairat ke manapun ia pergi. Saya dapati itu ketika saya masih kecil, menemani beliau berjalan-jalan di sebuah senja. Di Minangkabau, Dala’il Khairat dibaca bukan hanya individual sebagaimana amalan ulama-ulama, namun juga dibaca secara bersama dalam sebuah majelis. Begitulah mereka, yang senang bersalawat, berbahagia menyebut-nyebut nama sang kekasih yaitu baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa-sallam.
Ijazah dari Makah
Di abad-abad sebelum dekade abad 19 dan 20, kita belum mendapat pengetahuan mengenai sanad ijazah Dala’il yang diamalkan ketika itu. Yang kita dapati hanya kitab-kitab Dala’il Khairat yang telah berusia ratusan tahun di berbagai surau. Sedangkan untuk abad 19 dan 20 kita dapati benar bahwa ulama-ulama Minangkabau mengambil ijazah kitab Dala’il Khairat di Madinah Munawwarah, kepada ulama besar di sana, yaitu Sayyid Muhammad Amin Ridhwan al-Madani al-Khalwati al-Samani. Beliau ini ialah ulama besar, seorang sufi penganut tarekat Sammaniyah, dan dikenal sebagai Syekh Dala’il Khairat. Dari ulama inilah ulama-ulama Minangkabau di masa itu banyak mengambil ilmu agama, termasuk ijazah Dala’il Khairat. Di antara ulama-ulama Minang yang belajar kepada beliau ialah Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi Kumango (w. 1932), Syekh Muhammad Arif Sampu Solok Selatan, Syekh Muhammad Khatib ‘Ali Padang (w. 1939), dan Syekh Mahmud Tuanku nan Hitam. Ulama yang terakhir, yaitu Syekh Mahmud Tuangku Hitam, ialah paman dari Musnid Dunya ‘alal Ithlaq Syekh Muhammad Yasin al-Fadani (w.1991).
Baca Juga: Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Tarekat Taqlid dan Ulama Persatuan Parbiyah-islamiyah
Ijazah Dala’il Khairat dibawa pulang, dan dipopulerkan pengamalannya di surau-surau di berbagai negeri di Minangkabau ini. Hingga saat ini, di berbagai pelosok Minangkabau tidak pupus sama sekali. Saat ini, Dala’il dibacakan ketika dalam momen-momen tertentu, apakah ketika bulan Maulid Nabi, ketika Akikah, ketika kematian seseorang, dan waktu-waktu lainnya. Di samping itu, Dala’il Khairat masih dibaca secara individual oleh ulama-ulama tua di pedalaman Minangkabau, sebagai bentuk wirid yang dirutinkan.
Dala’il Khairat dan Cemoohan Kaum Agamis Modern
Pergeseran zaman telah mengakibat banyak hal. Mulai dari yang positif bagi kehidupan, hingga yang bersifat negatif, tak terkecuali juga bagi kehidupan keagamaan. Pergeseran dalam soal keagamaan banyak terjadi dalam segi keilmuan yang semakin dangkal; sifat tergesa-gesa dan fatwa, hingga penghakiman terhadap suatu amal tanpa sebab jelas. Hal ini juga terjadi kepada tradisi pembacaan Dala’il Khairat di Minangkabau.
Sejak tahun 1925, semenjak kaum wahabi menguasai paham keagamaan di Mekkah, Dala’il Khairat dilarang dibaca di Saudi Arabia. Kabarnya mereka menyeru untuk membakar kitab Dala’il Khairat. Beberapa alasan mereka kemukakan untuk membenarkan sikap mereka itu. Alasan yang dikemukakannya bahkan tak logis menurut akal sehat. Kenapa pula salawat mesti dilarang? Bukankah shalawat telah diperintah di dalam al-Qur’an?
Paham wahabi di Mekkah dalam beberapa dasawarsa terakhir telah mulai masuk ke jantung Minangkabau ini, oleh sebab itu mulai pula terdengar ungkapan yang merendahkan orang-orang yang bersalawat di surau-surau. Saya pernah dengar, di sebuah institusi agama di Payakumbuh seseorang berkoar-koar melarang membaca kitab salawat itu. Hal mana bila orang-orang di surau mengetahui, tentu akan menimbulkan tangis yang dalam. Kecintaannya telah dicap terlarang oleh anak kemenakannya sendiri.
Negeri Seribu Salawat tetap Bersenandung
Surau memang telah tergilas zaman. Namun surau yang selama berabad-abad itu memancarkan sinar kegemilangan zaman telah mengakar kuat. Begitu juga tradisi pembacaan salawat yang diwariskan oleh ulama-ulama dan orang-orang saleh di zaman dulu itu, telah tertanam di lubuk sanubari. Bagaimana pula hendak mengangkatkan cinta kepada Junjungan Alam? Walau anak-anak baru menyerukan benci kepada Dala’il Khairat; walau mereka berkopiah putih, berjubah besar, dan bergaya Arabia, niscaya semarak salawat tetap mengalun indah. Di negeri seribu salawat ini.
Leave a Review