Akidah
Ahlussunnah Asyariyah: Allah tidak memerlukan tempat. Jahmiyah: Allah bertempat di mana mana setiap tempat. Salafiyah (Wahabi): Allah bertempat di atas langit di atas Arasy (Akidah Fir’un). Kita berakidah Ahlussunnah Asyariyah. (Ngaji Bab Akidah)
بسم الله الرحمن الرحيم
Selain mereka mengikuti akidah perawi mualaf yakni akidah Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang ketika meriwayatkan kisah budak Jariyah baru masuk Islam. Pada kenyataannya ada pula yg mengaku-ngaku mengikuti manhaj Salaf namun mereka menggunakan perkataan Fir’aun sebagai dalil akidah mereka.
Mereka mengatakan bahwa Nabi Musa as yang memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit sehingga Fir’aun minta dibuatkan bangunan yang tinggi untuk melihat Tuhannya Nabi Musa. Fir’aun sendiri yang menduga Tuhannya Nabi Musa berada atau bertempat di langit bukan karena mendengar dari Nabi Musa AS. Nabi Musa AS tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit.
Berikut percakapan antara Nabi Musa as dengan Fir’aun sebagaimana Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan Musa berkata:
“Hai Fir’aun, sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam” (QS Al A’raf [7]:104). Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?” (QS Asy Syu’ara [26]:23). Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya” (QS Asy Syu’ara [26]:24).
Jadi justru asumsi Fir’aun yang mengatakan bahwa setiap yang ada harus bertempat. Memang sangat wajar bila seorang Fir’aun menyangka demikian, karena ia telah mengaku diri nya Tuhan, tentu dipikirannya Tuhan Nabi Musa as juga seperti dirinya, harus punya tempat yang jelas.
Akan tetapi yang sangat tidak wajar bila asumsi Fir’aun itu (setiap yang ada pasti punya tempat) datang dari mereka yang menisbatkan sebagai salafi. Mereka yang merasa (mengaku-ngaku) mengikuti pemahaman para Sahabat, merasa (mengaku-ngaku) penegak tauhid dan tentu percaya bahwa Tuhan berbeda dengan makhluk yang membutuhkan tempat (semoga kita dijauhkan dari pemikiran Fir’aun).
Dari asumsi tersebut, Fir’aun mencoba meraba apa yang disampaikan oleh Nabi Musa bahwa Nabi Musa adalah utusan “Tuhan yang memiliki langit dan bumi”. Tentu saja Fir’aun mempertanyakan di mana keberadaan Tuhan Nabi Musa itu, karena ia yakin “setiap yang ada pasti punya tempat”. Dan pilihan yang ada cuma dua yakni di langit atau di bumi. Bila di bumi tentu Nabi Musa telah menunjukkannya, bila di langit bagaimana Nabi Musa bisa tahu, bagaimana mendapatkan risalahnya.
Fir’aun yang telah termakan dengan asumsinya yang salah dan tidak percaya sesuatu yang ada tapi tanpa bertempat. Fir’aun telah membuktikan kepada kaumnya bahwa tidak ada Tuhan lain di bumi selain dari dia, dan hanya satu tempat lagi yang belum ia buktikan yaitu di langit, sehingga ia perintahkan pembantunya untuk membangun bangunan yang tinggi di atas gunung, agar ia bisa melihat Tuhan Nabi Musa as, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an Surat Ghafir ayat 36-37: Firman Allah Ta’ala yang artinya;
“Dan berkatalah Fir`aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu. (QS. Ghafir / Al Mu’min [40] : 36) (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhannya Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.
Demikianlah dijadikan Fir`aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir`aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian” (QS. Ghafir / Al Mu’min [40] : 37).
Imam Ar-Razi berkata: ”sesungguhnya mereka (musyabbihah) adalah orang-orang yang sangat bodoh, yang membuat mereka semakin lengkap dalam kehinaan dan kesesatan, oleh karena mereka telah menjadikan perkataan Fir’aun yang terlaknat, sebagai dalil mereka atas kebenaran agama mereka. Sementara Nabi Musa as dalam memperkenalkan Tuhan, tidak pernah melebihkan dari menyebutkan sifat penciptaan, sebagaimana dalam surat Thaha: 50
“Tuhan kita adalah yang memberikan tiap sesuatu bagi makhluk-Nya kemudian memberi petunjuk” dan sebagaimana dalam surat Asy-Syu’araayat 26, 28 “Tuhan kalian dan Tuhan bapak kalian yang terdahulu – Tuhan timur dan barat dan diantara kedua nya”.
Maka nyatalah bahwa memperkenalkan Tuhan dengan keberadaannya di langit adalah agama Fir’aun, dan memperkenalkan Tuhan dengan penciptaan dan makhluk adalah agama Nabi Musa as.
Siapa yang berpendapat dengan yang pertama, adalah ia diatas agama Fir’aun, dan siapa yang berpendapat dengan yang kedua, adalah ia di atas agama Nabi Musa as. Kemudian kita menjawab, kita tidak bisa menerima bahwa semua yang disebutkan Fir’aun tentang sifat Allah Ta’ala karena ia pernah mendengar dari Nabi Musa as, tapi karena Fir’aun berada dalam keyakinan Musyabbihah.
Maka tentu ia berkeyakinan jika memang Tuhan ada, pasti Dia berada di langit, maka keyakinan Fir’aun ini sungguh datang dari dirinya, bukan karena mendengar dari Nabi Musa as (Lihat Tafsir Ar-Razi,surat Ghafir : ayat 36-37).
Imam Ahlus Sunnah, Imam Abu Mansur Al-Maturidi berkata: “Kaum Musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk) berpegang dengan dzahirnya ayat ini. Mereka beralasan: Seandainya bukan karena Musa as telah menyebut dan memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan di atas langit, sungguh Fir’aun tidak menyuruh Haman membangun bangunan agar ia dapat naik ke langit dan melihat Tuhan Nabi Musa as, sebagaimana Firman Allah menceritakan pernyataan Fir’aun Tetapi kita menjawab: Tidak ada dalil bagi mereka, karena kemungkinan pernyataan Fir’aun tersebut sebagian dari kebohongan Fir’aun kepada kaumnya tentang Musa as”. (Lihat Tafsir Ta’wilat Ahlus Sunnah surat Ghafir ayat 37).
Begitupula mereka yang gemar bertanya di mana Allah berdalilkan riwayat Abdullah bin Umar ra. Dari Zaid bin Aslam beliau berkata: Ibnu Umar melewati seorang penggembala (kambing), kemudian beliau bertanya: apakah ada kambing yang bisa disembelih?
Penggembala itu menyatakan: Pemiliknya tidak ada di sini. Ibnu Umar menyatakan: Katakan saja bahwa kambing tersebut telah dimangsa serigala. Kemudian penggembala kambing tersebut menengadahkan pandangannya ke langit dan berkata: Kalau demikian, di mana Allah?
Maka Ibnu Umar berkata: Aku, Demi Allah, lebih berhak untuk berkata: Di mana Allah? Sehingga kemudian Ibnu Umar membeli penggembala dan kambingnya, memerdekakan penggembala tersebut dan memberikan padanya satu kambing itu”.
Pengembala bertanya “Di mana Allah” bukanlah menanyakan keberadaan Allah”. Pengembala tersebut menolak berdusta kepada pemiliknya bahwa kambingnya telah dimangsa serigala namun akan diserahkan kepada Ibnu Umar. Oleh karena atas kejujurannya Ibnu Umar memerdekakan pengembala tsb. Begitupula pengembala menengadahkan pandangannya ke langit serupa dengan seseorang berdo’a mengangkatkan tangan ke langit.
Imam Abu Mansur Al-Maturidi ketika ditanya, apakah seseorang mengangkat pandangan ke langit atau berdo’a mengangkatkan tangan ke langit menunjukkan bahwa Tuhan berada atau bertempat di (atas) langit atau di atas Arsy? Imam Abu Mansur Al-Maturidi berkata, “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yg Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan ke langit kerena Allah di arah itu sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia meletakkan mukanya di bumi ketika salat dan lainnya, dan juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika salat, atau Allah di Makkah karena ia menunaikan haji ke Makkah” [Kitab At-Tauhid – 75].
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang salat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang salat” (Syarah Shahih Muslim jilid: 5 hal: 22).
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat do’a”. Kemudian Beliau juga berkata; disebutkan oleh At-Thurthusyi bahwa manakala langit itu adalah tempat turunnya rezeki dan wahyu, tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkatnya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada surga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit” (Ittihaf, jilid 5, hal. 244).
Begitupula al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala yang artinya “Naiklah malaikat-malaikat dan Jibril kepada-Nya maknanya adalah naik ke tempat turun bagi perintahNya di langit (Tafsir Al-Jalalain, QS. Al-Ma’arij [70] :4). Tempat turun bagi perintah-Nya bukan berarti tempat bagi Allah karena Allah SWT suci dari arah dan tempat.
Begitupula Rasulullah SAW bermunajat di Sidratul Muntaha, Nabi Musa as bermohon di lembah Thursina, umat Islam berdoa di Baitullah ataupun umat Islam berdoa di Masjid bukan berarti Allah berada atau bertempat di tempat hamba-Nya bermunajat atau berdoa.
Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam kitab karyanya yang berjudul “Wahuwa bil ’Ufuq al-A’la” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Sahara Publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril as” menjelaskan; walaupun dalam kisah Mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik!
Meskipun Nabi Muhammad SAW pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba). Nabi SAW dan Nabi Yunus bin Matta as ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah Ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya.
Menurut suatu pendapat, ikan hiu itu membawa Nabi Yunus as sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya. Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad saw antara Nabi Musa as dengan Allah SWT pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah SWT. Maha suci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Baca Juga: Pentingnya mengaji Akidah, Mengaji al-Aqwal al-Mardhiyyah (Prolog)
Ucapan Nabi Musa as kepada Rasulullah, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu”. Jadi kembalinya Rasulullah kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa as di bumi.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi SAW naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan Beliau di hadapan penduduk langit dan Beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Pengertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya Beliau di atas Buraq oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat Beliau tanpa menggunakan Buraq.
Bersambung: Ngaji Bab Akidah: (Bagian 2)
Leave a Review