scentivaid mycapturer thelightindonesia

Ngaji Bab Akidah: (Bagian 3)

Ngaji Bab Akidah (Bagian 1)

Ngaji Bab Akidah Ngaji Bab Akidah Ngaji Bab Akidah Ngaji Bab Akidah Ngaji Bab Akidah Ngaji Bab Akidah

Sebelumnya baca: Ngaji Bab Akidah: (Bagian 2)

Begitupula Imam An-Nawawi menulis di kitabnya Syarh Shahih Muslim Jilid 5 hal. 24-25:

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Tentang pertanyaan Nabi saw kepada seorang Jariyah (budak wanita): “di mana Allah?”, kemudian Jariyah tersebut menjawab: “di langit”, kemudian beliau bertanya: “Siapakah aku?” Jariyah tersebut menjawab: “Engkau adalah Rasulullah”.

Lalu beliau bersabda: “Merdekakanlah ia karena sesungguhnya dia orang yang mukmin (beriman)”.

الْحَدِيثُ مِنْ أحَادِيثِ الصِّفَاتِ وَفِيهَا مَذْهَبَانِ تَقَدَّمَ ذِكْرُهُمَا مَرَّاتٍ فِي كِتَابِ الْإِيمَانِ

Hadis ini termasuk hadis-hadis tentang sifat Allah. Ada dua madzhab mengenai hadis-hadis sifat. Perbincangan tentang dua madzhab tersebut telah disebutkan beberapa kali di kitab Al-Iman

الْإِيمَانُ بِهِ مِنْ غَيْرِ خَوْضٍ فِي مَعْنَاهُ مَعَ اعْتِقَادِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَتَنْزِيهِهِ عَنْ سِمَاتِ الْمَخْلُوقَاتِ

Pendapat pertama menyatakan bahwa (wajib) beriman kepada ayat-ayat sifat tanpa berdalam-dalam mengenai maknanya. Bersamaan dengan itu, berkeyakinan bahwa Allah Maha Tinggi tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatupun, serta menyucikan Allah dari sifat-sifat kekhususan makhluk.

تَأْوِيلُهُ بِمَا يَلِيقُ بِهِ فَمَنْ قَالَ بِهَذَا قَالَ كَانَ الْمُرَادُ امْتِحَانَهَا هَلْ هِيَ مُوَحِّدَةٌ تُقِرُّ بِأَنَّ الْخَالِقَ الْمُدَبِّرَ الْفَعَّالَ هُوَ اللَّهُ وَحْدَهُ وَهُوَ الَّذِي إِذَا دَعَاهُ الدَّاعِي اسْتَقْبَلَ السَّمَاءَ كَمَا إِذَا صَلَّى الْمُصَلِّي
اسْتَقْبَلَ الْكَعْبَةَ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ مُنْحَصِرٌ فِي السَّمَاءِ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُنْحَصِرًا فِي جِهَةِ الْكَعْبَةِ بَلْ ذَلِكَ لِأَنَّ السَّمَاءَ قِبْلَةُ الدَّاعِينَ كَمَا أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةُ الْمُصَلِّينَ

Pendapat kedua mentakwilnya (memalingkan makna-nya) kepada makna lain yang sesuai untuk Allah. Golongan yang memilih pendapat ini berkata bahwa maksud dari ujian Nabi kepada budak wanita tersebut adalah (untuk mengetahui) apakah dia seorang yang bertauhid yang mengikrarkan bahwa sesungguhnya al-Khaliq (Pencipta), al-Mudabbar (Yang mengatur), al-Fa’al (Yang berbuat) adalah Allah yang Maha Esa.

Dialah Allah yang apabila seorang hamba berdo’a menghadap ke langit sebagaimana apabila orang salat menghadap ke ka’bah. Bukan maksudnya bahwa Allah dibatasi oleh langit sebagaimana Allah tidak dibatasi di arah ka’bah. Akan tetapi yang demikian itu karena sesungguhnya langit adalah kiblatnya orang-orang yang berdo’a sebagaimana bahwa ka’bah adalah kiblatnya orang-orang yang salat.

أَوْ هِيَ مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ الْعَابِدِينَ لِلْأَوْثَانِ الَّتِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ فَلَمَّا قَالَتْ فِي السَّمَاءِ عَلِمَ أَنَّهَا مُوَحِّدَةٌ وَلَيْسَتْ عَابِدَةً لِلْأَوْثَانِ

Ujian ini untuk mengetahui atau apakah budak wanita tersebut termasuk penyembah berhala. Yakni menyembah berhala yang ada di tengah-tengah mereka. Ketika budak wanita tersebut menjawab di langit, Tahulah Rasulullah bahwa sesungguhnya budak wanita ini seorang yang bertauhid dan bukanlah seorang penyembah berhala.

Para ulama menegaskan bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit adalah untuk mengungkapkan keagungan atau ketinggian derajat Allah Ta’ala bukan arah maupun tempat bagiNya. Contohnya ulama Hambali Al Imam al-Hafidz Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan.

Bahkan Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali mengabarkan bahwa budak itu adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. (DR. Muhyiddin Al Shafi, Muhadharat Fie Al `Aqidah Al Islamiyyah Qism Al Ilahiyyat, Maktabah Iman dan Maktabah Al Jami`ah Al Azhariyyah, Kairo, cet. ke II, 2010).

Sedangkan Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz 5 Hal 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah?” diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena “aina” dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”.

Mereka melarang takwil berdalilkan firman Allah Ta’ala surat al-Imran [3] ayat 7. Allah Ta’ala bukan melarang takwil namun melarang “mencari-cari takwil” atau “mengada-ngada takwil” yakni mentakwil atau memaknai tanpa ilmu seperti orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (selalu dengan makna dzahir) sehingga menimbulkan fitnah (Q.S. Al Imran [3] : 7).

Jadi orang-orang yang mencari-cari takwil adalah mereka yang tidak dikaruniai kemampuan takwil atau hikmah oleh Allah Ta’ala sehingga mereka sesat dan menyesatkan karena mereka mentakwil atau memaknai tanpa ilmu yakni mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah.

Rasulullah bersabda, “ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan” (HR Bukhari 98). Dalam kitab Tafsir Jalalain, Imam Suyuthi ketika menafsirkan (Q.S. Al Imran [3] : 7) menjelaskan bahwa fitnah berasal dari

لجهالهم بوقوعهم في الشبهات واللبس

kalangan orang-orang bodoh yang justru menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang syubhat dan kabur pengertiannya.

Fitnah terhadap Salafush Shaleh timbul akibat Ibnu Taimiyyah (W 728 H) menisbatkan atau tepatnya melabelkan mazhabnya atau metode pemahamannya selalu dengan makna dzahir dan mengingkari atau melarang takwil dengan makna majaz sebagai mazhab atau manhaj Salaf. Sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149 “Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar.”

Bahkan, disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W 324 H atau yang lain mengatakan 330 H) melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran. Yakni fase ketiga (terakhir), mengikuti mazhab atau metode pemahaman selalu dengan makna dzahir dan mengingkari atau melarang takwil dengan makna majaz, serupa dengan mazhab Ibnu Taimiyyah (w 728 h) yang dilabeli sebagai mazhab atau manhaj salaf.

Ibnu Taimiyyah dikabarkan masih sempat bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum Beliau wafat dipenjara sehingga Beliau belum sempat menulis kitab-kitab untuk mengkoreksi kekeliruannya akibat mazhab atau metode pemahaman Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) selalu dengan makna dzahir dan mengingkari makna majaz (Ma’alim Ushulil Fiqh, hal. 114-115).

Begitupula Ibnu Taimiyyah dalam Al-Iman hal. 94 berkata, “Maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk metafor (majaz) dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk metafor. Bahkan pembagian bahasa kepada hakikat dan metafor adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.

Baca Juga: Antara Nama dan Sifat Allah

Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) murid dari Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut beliau dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi Ahlu Tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadis dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632).

Ibnu Taimiyyah bukan ulama salaf (terdahulu) namun ulama khalaf (kemudian) karena wafat 728 H. Artinya beliau hidup di atas 300 hijriah. Begitupula Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) maupun Adz Dzahabi (w 748 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung. Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan muthalaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan al-Albani (w 1420H).

Jadi mereka tentu tidak bertemu dengan Salaf karena tidak semasa kehidupannya sehinga mereka tidak mendapatkan pemahaman salaf yang sesungguhnya. Jadi timbulnya kerusakan seperti terjerumus kekufuran dalam perkara i’tiqad akibat orang awam terkelabui dengan label mazhab atau manhaj Salaf dan penisbatan atau tepatnya pelabelan Salafi maupun Atsari.

Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadis dan mereka membaca hadis-hadis dimana dalam hadis tercantum sanad hadis yakni nama para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in lalu dikatakan oleh mereka bahwa mereka mengikuti pemahaman salafush shaleh dan dilabeli mazhab salaf atau manhaj salaf apa yang disampaikan dari hadis-hadis yang dibaca oleh mereka adalah pemahaman mereka sendiri. Bukan pemahaman salafush shaleh.

Sumbernya memang hadis tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni pemahaman mereka sendiri dengan mazhab atau metode pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.

Syaikhul Islam Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami al-Makki al-Syafi’i dalam kitabnya Al Fatawa Al Haditsiyah ketika ditanya tentang perkataan Sufyan bin Uyainah, الحديث مضلة إلا الفقهاء Hadis itu menyesatkan kecuali untuk para fuqaha (ahli fiqih). Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran adalah salah seorang guru dari Imam Syafi’i. Beliau adalah salah seorang tabi’ut tabi’in tsiqoh yang sempat bertemu sekitar 87 tabi’in, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami mencontohkan hadis yang dapat menyesatkan bagi ahli (membaca) hadis adalah hadis Nuzul yakni, “Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman; ‘Siapa yang berdo’a kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepada-Ku niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261).

Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa;

 ولا يعرف معنى هذه إلا الفقهاء بخلاف من لايعرف إلا مجرد الحديث ، فإنه يضل فيه كما وقع لبعض متقدمي الحديث . بل ومتأخريهم ، كابن تيمية وأتباعه

“tidak ada yang memahami makna hadis itu kecuali para ahli fiqih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadis saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadis zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya.

Ibnu Taimiyyah (W 728 H) sebelum bertaubat ketika membaca hadis Nuzul terjerumus meng-kaifa-kan atau membagaimanakan Nuzul dengan mengatakan bahwa “Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘Arsy-Nya kosong”.

Perkataan Ibnu Taimiyyah ini termuat dalam Risalah al ‘Arsiyyah sebagaimana contohnya yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah).

Begitupula ini adalah sebuah contoh kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara i’tiqad karena tidak pernah disabdakan Rasulullah maupun diriwayatkan oleh Salafush Sholeh. Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadis Nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah SWT. Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadis Nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah.

-Ibnu Taimiyyah mengatakan- Tuhan bertempat di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki bentuk dan batasan (Muwafaqat Sharih al Ma’qul, J. 2 hal. 29) – Tuhan bertempat di langit dan dia diliputi dan dibatasi oleh langit (Muwafaqat Sharih al Ma’qul,  J.2 hal. 30).

-Nabi Muhammad didudukan oleh Allah di atas Arsy bersama-Nya (Majmu Fatawa, Juz 4, hal. 374).

-Bahkan ada pula pula mereka mengatakan bahwa Tuhan yang bertempat di atas Arsy berambut keriting dan memiliki pantat jika bergeser terdengarlah darinya suara ‘kret kret’ seperti suara yang biasa keluar dari kursi yang masih baru.

-Begitupula sifat keterpisahan bagi Allah Ta’ala dengan makhluk bukanlah menjauh secara hissi (materi / fisikal) dalam pengertian batasan, arah, jarak maupun tempat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu al-Fatawa, Juz 2, hal. 126.

Ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 4 hijriah, Imam al-Baihaqi (W 458 H) berpendapat bahwa pengertian keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala adalah “Laisa Kamitslihi Syaiun” (QS. Asy Syura [42] : 11) yakni Allah Ta’ala “ tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.

Firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat Asy Syura [42] ayat 11 inilah sebagai salah satu dalil yang digunakan oleh para ulama terdahulu untuk menetapkan salah satu sifat wajib bagi Allah Ta’ala yakni Mukhalafatu Lilhawadist (Berbeda dengan makhluknya) lawannya Mumatsalatu Lilhawadist (Menyerupai makhluknya). Begitupula para ulama terdahulu seperti Syekh Ibnu Khaldun (808 H) dalam kitab Târîkh-nya menjelaskan;

 وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة

Adapun makna keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan.

فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته

Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.

Jadi pengertian keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah Allah ba’in ‘an al-khalq yakni Allah Ta’ala terpisah dalam makna berbeda dari makhluk-makhluk-Nya. Contohnya kalau makhlukNya seperti manusia itu dekat bersentuh dan jauh berjarak. Sedangkan Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya; “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2] : 186).

Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” Jilid I hal 281 dengan jelas dan tegas menuliskan apa yang telah disepakati oleh para Ahlus Sunnah:

 أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية

Mereka (Ahlus Sunnah) berkata, “Sesungguhnya Allah bukan jism, tidak berhadd (tidak terbatas) dan tidak berjarak”.

Begitupula Imam Abul Wahid at-Tamimi (W 410 H) ulama yang paling dekat zamannya dengan Imam Ahmad membawakan riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Beliau “I’tiqad Imam Al Munabbal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal, hal 38;

والله تعالى لم يلحقه تغير ولا تبدل ولا يلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش

“Dan Allah Ta’ala tidak mengalami perubahan dan tidak terbatas oleh hadd, baik sebelum Allah menciptakan Arsy, maupun setelah Allah menciptakan Arsy”.

Hal serupa disampaikan oleh Imam al Baihaqi (W 458 H) mengingatkan bahwa

من فوق السماء علی معنی نفي الحد عنه

Dzat di atas langit berdasarkan makna menafikan batas (al hadd) darinya.

Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata;

 من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود

”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (terbatas) maka ia telah jahil yakni tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73).

Jadi orang-orang yang meng-kaifa-kan atau membagaimanakan Istawa Allah sebagai bertempat sehingga mereka seolah-olah memenjarakan Allah Ta’ala berbatas dengan Arsy adalah mereka yang jahil yakni belum mengenal Allah (makrifatullah) dengan sebenar keagungan-Nya.

Baca Juga: Ngaji Bab Akidah: (Bagian 1)

Imam Abu Al Hasan Al-Asy’ari dalam kitab al-Ibanah menegaskan bahwa Istawa Allah di atas Arsy بلا كيف ولا استقرار tanpa “kaifa” (sifat makhluk/benda) dan bukan dalam pengertian istiqrar (bertempat/menetap tinggi). Jadi bukan Allah (berada) di atas Arsy atau istaqarra (bertempat/menetap tinggi) di atas Arsy.  Namun Allah di atas Arsy bila kaifa artinya tanpa kaifa yakni tanpa sifat-sifat makhluk/benda seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, berbatas (alhadd) dengan arsy. Oleh karenanya perkara aqidah sebaiknya didahulukan karena tidak sah ibadah jika belum mengenal Allah (makrifatullah).

Hujjatul Islam Imam Al Ghazali berkata:

لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود

“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.  “Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”. Artinya, awal beragama adalah mengenal Allah (makrifatullah) dan tujuan akhir beragama adalah menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hati (ain bashirah).

Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana untuk mengenal Allah yg merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Begitupula 20 sifat wajib bagi Allah dipergunakan sebagai pedoman dan batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) tentang sifat-sifat Allah.[] Semoga bermanfaat.

Selesai

Sayid Machmoed BSA
Tinggal di Jakarta Selatan, DKI Jakarta