Bab Akidah Bab Akidah Bab Akidah Bab Akidah Bab Aqidah
Sebelumnya Baca: Ngaji Bab Akidah: (Bagian 1)
Salah satu pokok permasalahan mereka yang gemar bertanya di mana Allah adalah mereka menganggap lafadz “aina” (di mana) Allah berasal dari lisannya Rasulullah. Mereka yang gemar bertanya “di mana” Allah berpegang pada hadis panjang yang terdiri dari beberapa bagian dan merupakan hadis ahad (satu jalur perawi) yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang ketika itu baru masuk Islam.
Memang shahih dari segi (sisi) rantai sanad atau susunan perawinya namun dari segi (sisi) matan (redaksi) hadis khususnya pada bagian kisah budak Jariyah, Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami meriwayatkan hadis tidak dengan matan (redaksi) asli sabda Nabi saw sehingga BERBEDA dengan matan (redaksi) riwayat lainnya yang tidak memuat pertanyaan “aina Allah” (di mana Allah).
Ia meriwayatkannya dengan ma’nan (hanya kandungan maknanya saja) alias matan dari Muawiyah bin al-Hakam secara pribadi berdasarkan penyaksiannya terhadap percakapan secara isyarat yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaannya yang baru masuk Islam sehingga ia terjatuh dalam kesalahan. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami, “Wahai Rasul SAW sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”.
Sebenarnya, keyakinan bahwa Tuhan bertempat terimbas oleh cerita-cerita tradisional bahwa “alam Tuhan” itu berada di langit, seiring dengan “alam dewa-dewa” keyakinan non muslim. Alam dewa dan alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti ruang yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita tentang ‘turunnya’ para dewa-dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke Bumi. Konsep seperti itu bukan konsep Islam yang justru diluruskan oleh datangnya Islam yang dibawa oleh para Nabi dan keluarga Nabi Ibrahim as – termasuk keturunan terakhirnya Rasulullah Muhammad SAW.
Oleh karenanya para ulama terdahulu sepakat bahwa hadis ahad (satu jalur perawi) yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami khususnya pada bagian kisah budak Jariyah dikategorikan sebagai hadis mudhtharib, hadis kacau (guncang) matannya (redaksinya). Atau hadis yang diperselisihkan matannya (redaksinya) karena perbedaan yang cukup tajam dengan matan (redaksi) yang lainnya seperti: Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Muwatha`, Imam Abdurrazzaq dalam Musnannaf, Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad dan ulama-ulama hadis lainnya, bahwa Rasulullah bertanya kepada budak itu:
أَتَشْهَدِينَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: أَفَتَشْهَدِينَ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللهِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ
“Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” Budak itu menjawab, “Ya.” Rasulullah Saw bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?” Ia menjawab, “Ya.”
Syekh Syu’aib Arnauth mengomentari redaksi ini:
هذا هو اللفظ الصحيح للحديث إن شاء الله
“Inilah redaksi hadis yang sahih, insya Allah.” (Hamisy Musnad 13/286).
Hadis ini didukung beberapa syawahid di dalam Sunan ad-Darimi dari Syarid ra, al-Bazzar dalam Musnadnya dan ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu.
Jadi, redaksinya bukan ‘di mana Allah’, melainkan ‘apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?”
Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Syarid bin Suwaid ra dengan redaksi yang berbeda lagi. Nabi saw tidak bertanya kepada budak yang ingin diuji keimanannya itu dengan kalimat, “di mana Allah?” melainkan dengan kalimat:
مَنْ رَبُّكِ ؟
“Siapa Tuhanmu?”
Begitupula pada kenyataannya Imam Muslim tidak meletakkan hadis tersebut pada Bab Aqidah atau Keimanan melainkan pada Bab Salat yakni haramnya berbicara saat salat karena hal pokok yang sahih dan tidak diperselisihkan adalah pada bagian sabda Rasulullah yang artinya: “Sesungguhnya salat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena salat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.” (HR Muslim 836).
Alasan lafaz “aina Allah” bukan berasal dari lisannya Rasulullah namun matan (redaksi) dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami secara pribadi yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaannya yang baru masuk Islam adalah karena adanya larangan dari Rasulullah yakni larangan memikirkan atau menanyakan keberadaan Allah Ta’ala.
Rasulullah bersabda ”Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat-Nya“.
Rasulullah bersabda; تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Berpikirlah kamu tentang ciptaan-ciptaan Allah dan janganlah kamu memikirkan Allah Azza wa Jalla” (HR. Abu Nuaim dari Ibnu Abbas ra).
Rasulullah bersabda; تَفَكًّرُوْافِىْ آيَاتِ اللَّهِ وَلَا تَفَكَّرُوْافِى اللَّهِ فَإِنَّكُمْ لَمْ تُقَدِّرُوْهُ حَقَّ قَدْرِهِ.
Pikirkanlah kekuasaan kekuasaan Allah dan janganlah kau pikirkan Dzat-Nya. Sesungguhnya kamu tak akan mampu memikirkan hakikat-Nya HR. Ibnu Hibban.
Jadi kalau ada “anak kecil” bertanya “di mana Allah” maka ikutilah sunnah Rasulullah tersebut bahwa untuk meyakini keberadaan Allah adalah dengan mengajak “anak kecil” itu memikirkan nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Ta’ala.
Oleh karenanya ungkapan seperti “Allah ada di mana-mana” sebaiknya janganlah dipahami dengan makna dzahir atau secara hissi (materi/fisikal) bahwa Allah Ta’ala berada atau bertempat di mana-mana. Namun maknanya adalah bahwa kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah serta mengenal Allah (makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata yang merupakan tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Baca Juga: Memurnikan Tauhid (Sifat dan Zat Allah)
Atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang meliputi segala macam ciptaan Allah, baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos). Firman Allah Ta’ala yang artinya “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar.
Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53).
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).
Begitupula alasan lain lafaz “aina Allah” bukan berasal dari lisannya Rasulullah namun matan (redaksi) dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami secara pribadi yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaannya yang baru masuk Islam adalah karena para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa bagi orang-orang yang sudah mendalami tentang akidah maka pertanyaan “di mana” dan “bagaimana” tidak patut atau tidak boleh ditujukan kepada Allah Ta’ala.
Contohnya Imam sayyidina Ali bin Abi Thalib mengingatkan;
وقال سيدنا علي رضي الله عنه :” إن الذي أين الأين لا يقال له أين وإن الذي كيف الكيف لا يقال له كيف رواه أبو المظفر الإسفراييني في كتابه في التبصير في الدين / ص: 98
“Sesungguhnya yang menciptakan “aina” (tempat) tidak boleh dikatakan baginya dimana (pertanyaan tentang tempat) dan yang menciptakan “kayfa” (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan baginya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu Muzhaffar al-Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan:
إِنَّ إِدْرَاكَ الْعُقُولِ لِأَسْرَارِ الرُّبُوبِيَّةِ قَاصِرٌ فَلَا يَتَوَجَّهُ عَلَى حُكْمِهِ لِمَ وَلَا كَيْفَ كَمَا لَا يَتَوَجَّهُ عَلَيْهِ فِي وجوده أَيْن وَحَيْثُ
Sesungguhnya akal manusia sangat lemah untuk memahami rahasia ketuhanan. Maka tidaklah pantas diarahkan kepada berbagai ketetapan-Nya pertanyaan ‘kenapa’ atau ‘bagaimana’. Sebagaimana halnya tidak pantas diarahkan pada eksistensi-Nya pertanyaan ‘dimana’ (Fathul Bari 1/221).
Al-Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah akidahnya mengatakan: “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa jika matan (redaksi) pertanyaan Rasulullah, “aina Allah” (di mana Allah) dianggap sahih maka jika budak menunjuk di langit maka Rasulullah mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala bukan arah dan tempat bagi-Nya.
Berikut kutipan penjelasan Imam Syafi’i dalam Manaqib Imam Syafi’i, al-Baihaqi: 1/396)
واختلف عليه في إسناده ومتنه،
Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matannya.
وهو إن صحفكان النبي – صلى الله عليه وسلم – خاطبها على قَدرِ معرفتها
dan seandainya dianggap sahih hadis tersebut, maka adalah Nabi Saw bertanya kepada hamba tersebut (budak Jariyah) disesuaikan dengan kadar pemahamannya.
فإنها وأمثالها قبل الإسلام كانوا يعتقدون فيالأوثان أنها آلهة في الأرض، فأراد أن يعرف إيمانها، فقال لها: أين اللَّه؟
Karena dia (budak Jariyah) dan kawan-kawannya sebelum masuk Islam, mereka percaya kepada berhala yakni sesembahan mereka yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanannya, maka Nabi bertanya : “Di mana Allah?”
حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غير مؤمنة، فلما قالت: في السماء، عرفأنها برئت من الأوثان، وأنها مؤمنة بالله الذي في السماء إله وفي الأرض إله
Sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam (bukan orang yg beriman), maka manakala ia menunjuk di langit, Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.
Bersambung; Ngaji Bab Akidah: (Bagian 3)
Leave a Review