Nurul Yaqin Ringan-ringan
Isra’-Mi’raj di Canduang tiga tahun yang lalu. Waktu itu, saya sedang candu-candunya jadi sopir beliau al-Mukarram Syekh Zulhamdi Unku Kerajaan nan Saliah, Khalifah Syekh H. Ali Imran Hasan (Buya Ringan-ringan). Hampir setiap kali jadwal Isra’-Mi’raj beliau saya ikut. Banyak hal yang didapat ketika bisa ikut dengan beliau menebar kisah Sang Manusia Agung, Nabiyyuna Muhammad Saw.; Ilmu, kesempatan bercerita tentang problematika hidup, dll.
Saya ingat betul, sebelum mulai masuk ke pengajian Isra’-Mi’raj, kala itu beliau memulai dengan kisah masa lalu sebagai ucapan terima kasih. Kisah tentang jasa besar Al-maghfurlah Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) kepada Buya Ringan-ringan. Kalaulah bukan atas jasa besar Inyiak Canduang, tak akan berdiri Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan, dan tak akan bertahan pula Islam paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah di Kab. Padang Pariaman umumnya, dan di Nagari Pakandangan khususnya. Cerita yang juga tak jarang diceritakan Buya pada saya ketika beliau ada.
Baca Juga: 2017-2018 Tahun Duk bagi Minangkabau
Cerita itu bermula ketika Pakandangan sedang digandrungi ajaran-ajaran Muktazilah 10 Wujudiyah. Saat itu Buya masih berdomisili di Malalo, mengabdi di Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo, Pesantren tempat Buya lama belajar kepada Al-Maghfurlah Syekh Zakariya Labai Sati, maha guru spesial yang tak bosan-bosannya Buya ceritakan.
Semenjak masih jadi Anak Siak/Pakiah di sana, Buya sudah dipercaya Syekh Zakariya Labai Sati untuk mengajar. Hingga selepas menamatkan pendidikan formal kelas 7 di sana, Buya langsung ditetapkan jadi guru. 10 tahun lamanya Buya mengajar, sekitar tahun 1960, datang permintaan melalui seorang utusan dari Pakandangan kepada Syekh Zakariya Labai Sati untuk mengizinkan Buya pulang ke Pakandangan, dan mengajar di sana guna melawan arus Muktazilah 10 Wujudiyah yang mulai berkembang.
Lantaran ingin mempertahankan seorang guru favorit yang disenangi banyak murid, Syekh Zakariya Labai Sati sedikit enggan melepas. Jamaah, Anak Siak, dan fasilitas untuk Buya sekeluarga pun disiapkan sebagai penahan Buya di Malalo. Sedangkan Buya hanya ikut apa titah dari Syekh Zakariya Labai Sati saja.
Karena menemui jalan buntu lantaran Syekh Zakariya Labai Sati enggan, utusan itu pun mencari akal dengan menemui Inyiak Canduang. Kondisi dan situasi di Pakandangan pun diceritakan kepada Inyiak Canduang. Menyikapi aduan tersebut, Inyiak Canduang menulis surat kepada Syekh Zakariya Labai Sati agar mengizinkan Buya kembali ke Pakandangan.
Saya lupa persisnya bunyi surat yang jadi kebanggaan Buya itu. Tapi kurang lebih bunyi suratnya begini: “Kepada Syekh Zakariya Labai Sati di Malalo, demi tegaknya paham Ahlus Sunnah wal Jamaah di Minangkabau ini, agar kiranya mengizinkan ananda kita Ali Imran untuk kembali ke Pakandangan”. Bahasa Inyiak Canduang yang menggunakan kata “ananda” itu merupakan kebanggaan sendiri bagi Buya. Puluhan kali Buya menceritakan itu, puluhan kali pula saya melihat wajah berseri Buya ketika menceritakan isi surat tersebut.
Baca Juga: Syekh Zakaria Labai Sati Malalo, Ahli Ushu dan Mantiq Pemuka Tarekat Naqsyabandiyah
Walhasil, surat itulah yang meluluhkan hati Syekh Zakariya Labai Sati sehingga mau untuk melepas murid kesayangannya kembali ke kampung halaman. Sehingga, atas izin Syekh Zakariya Labai Sati dan titah Inyiak Canduang itu, tegak lah Pondok Pesantren Nurul Yaqin yang kini sudah memiliki 21 cabang itu se antero Minangkabau. Pesantren yang memegang teguh ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, dan Mazhab Syafi’i.[]
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Leave a Review