Abas el-Piamaniyah
Rahmat el-Barulaky
Badrun el-Maturidy
Jhon el-Habiby
Kampret el-Kantuik’iyah
Tan rajo al-Karungiyah
Malin batuah al-Mungkany
Oh ya, ada Alang Babega tanpa el-al lhoo.
Kira-kira begitulah gambaran nama-nama fenomenal pada akun facebook yang saya amati. Sebuah nama samaran yang dibubuhi dengan nama kampung halaman mereka masing-masing. Penambahan nama belakang itu pun bagi saya menarik perhatian. Bukan sekadar narsis, lebih dari itu, penambahan nama belakang merupakan penandaan seseorang terhadap dirinya. Bukannya saya sok-sokan sih. Tapi bagi saya beberapa contoh nama di atas penting dikritisi, Mengapa orang minang menandai dirinya dengan istilah-istilah kearaban?
Kok nggak sekalian pakai nama Arab? Tanggung kan! Jangan-jangan orang Minang itu suka nanggung ya?
Mungkin yang mereka pikir ketika menulis nama dengan istilah-istilah kearaban itu adalah kebanggaan, kreatifitas, atau merasa menjadi bagian dari manusia Arab sana. Kadang saya malah bertanya kenapa harus Arab, bukan Barat, atau kenapa bukan nama asli yang telah ada semenjak lahir. Itu saja atau kenapa tidak memakai bahasa Minang seperti Sidi Bagindo. Kan primordialisme bapak-bapak dan ibuk-ibuk bisa terus terjaga.
Kalau saya sih, dulu ketika membuat nama samaran sebagai nama akun facebook, saya hanya mikir apa beda nama saya dengan orang lain. Pasalnya, nama saya ada “fuadi”nya. Ada Anwar Fuadi sang artis, ada Ahmad Fuadi sang novelis, ada Akhiyar Fuadi sang guru kitab kuning, ada teman kelas di kampus yang juga Fuadi sebagai juara kelas. Lalu saya mikir Asral Fuadi siapa ya? Pikir saya, hanya orang kampung yang merantau ke Jogja, jadi mahasiswa pun tak sehebat Syafi’i Ma’arif. Begitulah dulu, ketika saya baru lepas dari bangku SMA. Masih alay, dan tak punya identitas diri. Maklum, masa pencarian Bro.
Sekarang ketika saya mau mengganti nama dengan nama saya sendiri tak bisa lagi, karena sering gonta-ganti nama akun. Facebook marah, sepertinya ia mau bilang “dasar manusia alay, nggak jelas, sudah, kamu tetap saja dengan kealayaanmu!”.
Namun, bila dicermati lebih jauh, tampaknya sekarang memang zamannya alay tanpa identitas diri yang kokoh. Terlebih bagi masyarakat Minangkabau sekarang, yang harus berhadapan dengan kemajuan zaman, sehingga kita dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit adanya. Oleh karena itu, tentulah kita membutuhkan basis sosial yang kuat, pengetahuan agama dan adat-istiadat yang mengakar. Hal itu, berguna untuk membentuk karakter diri yang kuat atau kokoh dan tidak gampang terpengaruh dari sesuatu yang berbau kearab-araban atau kebarat-baratan.
Pengalaman orang Minang tetang Islam memiliki sejarahnya sendiri. Begitu juga pengalaman mereka atas adat-istiadat yang juga telah mengakar. Dalam hal itu, tentu praktik Islamnya orang Minang jauh berbeda dengan praktik Islamnya orang Arab. Tak ada orang Arab mengenal Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.
***
Sebenarnya, jika ditelusuri ada orang Minang kuat ke-minangkabauan-nya di facebook. Mari kita amati nama-nama akun yang demikian. Ada Pakiah Bandaro, Pakiah Sati dan Alang Babega. Eh…! Pokoknya, ada orang yang berani mengidentikkan dirinya sebagai orang Minang. Lalu bagaimana dengan sampean, apakah masih memakai atau mengindentikkan diri dengan kearab-araban? Bagi saya, boleh saja makan Kebab, tapi jangan lupa dengan saluak badeta. Paling tidak, sebagai simbol kritis terhadap budaya lain.
Jika tak memakai Minang, nama di akte kelahiran pun lebih baik sepertinya.
Selain itu, sejak dulu kala orang Minangkabau memiliki nama-nama unik, seperti “Bujang” dan “Gadih”. Semenjak kecil hingga badan dikandung tanah ia tetap “Bujang” dan tetap “Gadih”. Coba dibayangkan jika nama-nama tersebut dijadikan sebagai akun facebook, simpel dan efektif bukan? Jadi yang bernama Bujang dan Gadih jangan ikut-ikutan alay dan lebay di facebook ya.
Jika kita berasumsi bahwa salah satu bentuk dedikasi umat terhadap Islam itu adalah dengan menaruh rasa segan kepada ajarannya, mungkin ada benarnya. Misalnya, bersalawat dengan menyebut “sayyidina” dapat digolongkan sebagai bentuk rasa segan kita kepada Nabi Muhammad saw. Dalam bentuk nama, banyak kita temui pemakaian nama Muhammad, baik di awal ataupun di akhir nama seseorang.
Lalu bagaimana hubungannya dengan orang Minang yang ingin mengidentikkan diri mereka dengan Islam, sebagai dedikasinya terhadap ajaran Islam itu sendiri. Bagi saya, tak melulu dengan memakai nama Muhammad saja kita dapat menunujukkan dedikasi tersebut. Saya khawatir Tan Baro akan marah besar, bila namanya dianggap tak menunjukkan dedikasinya terhadap Islam.
Bagi saya, orang Minang itu adalah islami, namun berbeda dengan berislamnya orang Arab sana.
Nah, jika sampean memakai nama-nama yang dibubuhi dengan al, el, maka dedikasi sampean itu hanyalah kebada budaya Arab, bukan kepada ajaran Islam. Dalam hal ini, tidak tertutup kemungkinan, bahwa sesuatu yang “alay” itu adalah Islam. Selama hal itu, dipahami dengan ekspresi keberislaman seseorang. Akan tetapi, nama-nama alay pada akun facebook itu, seolah pemiliknya tidak memiliki akar budaya yang kuat, dan cenderung menghilangkan hal-hal yang bersifat substansial dalam berislam. Misalnya, perilaku baik dan buruk, makanan halal dan haram, dan terjalinnya interaksi yang harmonis antar sesama muslim dan dengan non-muslim. Jika hal itu dapat terwujud, maka itulah yang saya maksud dengan dedikasi umat muslim terhadap ajaran Islam.
So what?
Di sini, penambahan nama akun dengan al, el itu, bukanlah sesuatu yang bersifat substansial dalam berislam. Dengan meniru tingkah laku Muhammad saw dalam perilaku keseharian saja, menurut saya telah cukup bagi orang Minang untuk ber-Islam. Jadi nggak usah kearab–araban lah. Sebab, dengan Bujang dan Gadih atau dengan nama Tan Baro ajasampean sudah Islami kok.[]
Leave a Review