Berikut ini saya akan curhat mengenai pengalaman lucu sekaligus tolol ketika pertama kali menginjak tanah Jawa. Sebelum sampean tertawa sinis, ada baiknya saya sebutkan terlebih dulu pengalaman yang saya maksud. Saya yang dilahirkan di ranah Minang ini, sangat sulit untuk fasih secara spontan merubah intonasi dan melafalkan kosa kata bahasa Indonesia yang baku.
Pada suatu waktu yang menurut saya sangat mulia sekali, saya diberi kesempatan untuk berceramah (kultum usai salat subuh). Sebenarnya saya telah berusaha semaksimal mungkin menghafal konsep ceramah yang saya oret-oret sebelum tampil. Maklum mantan santri abal-abal, yang diingat hanya hukuman bediri itik ketika nggak bisa baca buku kuning aja.
Nah waktu itu, dengan sangat percaya diri, saya memulai ceramah dengan membaca salam, puji-pujian, syahadatain, dan tak lupa shalawat kepada Nabi, hingga sampai pada puncak prestasi saya menjadi seorang komedian, yaitu keceplosan mengatakan, “jemaah salat subuh yang berbahagia, kaji kita pada pagi ini adalah bla…bla…”. Anda harus tertawa, cimeeh pun tak apa-apa, karena timingnya pas sekali untuk anda.
Tidak hanya itu, setiap bersua dengan orang lain, saya selalu ditebak sebagai orang Jawa, karena selain kulit sawo mateng, wajah pun mendukung. Lucunya, ketika saya berbicara dengan bahasa Indonesia, teman sebelah langsung merubah identitas saya -sebagai orang Jawa menjadi orang Madura. Menurutnya karena intonasi saya yang katanya naik terus dan volumenya cukup tinggi.
Baca Juga: Telunjuk Lurus Kelingking Berkait Bersandiwara Sebagai Syarat Interaksi Simbolik
Saya jadi curiga dengan identitas saya sendiri sebagai anak Minang neeh.
Mungkin ketidakjelasan itu menjadi bagian dari identitas keminangkabauan saya kali ya? Lalu bagaimana dengan gagasan mbah Muchtar Naim dengan tiga identitas (lapau, surau, dan rantau) orang Minangkabau itu. Semoga mbah Naim nggak galau dengan gagasannya.
Sebenarnya tidak hanya itu, dari teman yang dulu sama-sama nyantri di MTI Canduang, juga pernah keceplosan, seperti; tambuh satu Mas. Tikus pun ikut menarik perhatian dengan melintas di depan kami duduk nongkrong.
“eh, ada mencit”.
Saya yang ikut menyaksikan hal itu, tersipu malu, malu pada diri sendiri dan punya teman yang memalukan.
Ada lagi yang tak kalah lucunya, masih teman saya yang sama-sama nyantri juga lhoo. Biasanya di kampung, bagi yang sakit-sebelum ke dokter, diobati dulu dengan obat-obatan tradisional. Eh, teman saya ini, ketika mau beli kemiri, malah nanyain damar pada penjaga warungnya. Teman saya ini masih beruntung, waktu itu melihat si damar di atas meja. Jika tidak, tentu teman saya akan pulang dengan tangan kosong. Masih teman saya neeh, mutiara cincin akiknya terlepas dari akiknya. Tanpa pikir panjang ia langsung interupsi penjualnya, “Pak ininya tanggar”. Hehe, copot kali.
Baca Juga: Kearifan Lokal Pengajaran Bahasa Arab di Surau Minangkabau
Ada lagi teman kamar sebelah dengan sok gaulnya, kata kamu diganti dengan lo, kata saya diganti dengan gua, dan ada kata-kata yang pengucapannya ditambah dengan “k”, misalnya; pisang coklatnya satu-k, tempenya dua-k, kue bolunya tiga-k dan bla…bla… meskipun kelihatan gaul, tapi tetap saja terdengar sumbang ditelinga saya. Doel Sumbang pun terbawa rendong disini.
Hhhmmm….dasar karisik masik jadi pembalut rakit kacang.
Bagi saya efek dari kekeliruan berbahasa itu seperti yang sering terjadi di kontrakan kami di Jogja, sebelum belanja ke pasar Giwangan atau pasar Demangan (pasar yang sering dikunjungi oleh anak Surau Tuo Institute yang letaknya tak begitu jauh dari kampus UIN Suka), terlebih dulu mereka bertanya nama-nama-Indonesianya, terkait apa yang akan mereka beli. Setidaknya, di antara mereka ada yang memilih diam daripada ikut berbicara, malu atau mungkin takut dicimeeh kali yee?
Orang Minang yang pernah merantau ke Jawa, tentu pernah mengalaminya, paling tidak pernah menyaksikan teman-temannya keliru dalam berbahasa Indonesia. Menariknya kekeliruan itu yang bagi saya merupakan tindakan konyol, tidak menjadi perhatian secara serius bagi para pemakai bahasa (pemakai sastra) selama ini. Boleh jadi tiga identitas orang Minang menurut mbah Naim di atas perlu penambahan atau identifikasi tanda bagi orang Minang. Bagi saya, ketika membaca karya Taufik abdullah, Deliarnoer, dan Buya Syafi’i Ma’arif, saya merasa nuansa bahasa Minang itu sendiri.
Demikian itu, hanyalah sekadar pengalaman individu saya yang bego ini, ketika pertama kali merantau ke Jawa. Bagaimana dengan antan-antan dan enek-enek atau biyai-biyai di kampung yang cucunya berbicara dengan bahasa Indonesia. Pengamatan saya di daerah tertentu di Minangkabau, para mamah-mamah muda dan papa-papa keren lebih gandrung berbahasa Indonesia dengan anak-anaknya. Entah karena takut dikatakan kolot, kampungan, nggak gaullah, hingga mereka malu dengan bahasa ibu (bahasa Minang) mereka. Ingat, sampean nggak kasihan melihat antan dan biyai sampean, terbata-bata berbicara dengan anak anda? Mungkin mereka berkeinginan berkomunikasi dengan cucu-cucunya, tapi apalah daya, bahasa Indonesia tak pas, bahasa Minang pun cucu tak paham. Malang benar nasib Mak Enggi.
Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa Arena dan Kuasa Simbolis
Nah, bagi saya yang kampungan ini wawasan atas bahasa ibu itu harus dilatih di samping membiasakan bahasa Indonesia. Ada waktu dan tempat tertentu untuk berbahasa Minang dan ada waktu dan tempat tertentu pula untuk berbahasa Indonesia. Toh, orang Inggris pun berbeda-beda pengucapannya dalam berbahasa inggris. Ada yang British style dan ada yang American style. Menurut saya bahasa Indonesia pun juga sama, ada yang Minang style (bisa juga dengan kabau style), ada yang Bugis style, ada juga yang Jawa (ngapak) style atau Pasundan style dan ada juga yang Maduris style, dan lain-lain. Justru dengan perbedaan itulah krisis identitas dapat teratasi. Jadi jangan malu berbahasa Minang yaa anak Minang. Karena bahasa Minang adalah identitas keminangkabauan sampean sendiri dan bahasa Indonesia adalah semangat nasionalisme kita. Pelestarian bahasa Minang itu berada pada diri orang Minang itu sendiri (fardhu ‘aiin), sedangkan untuk bahasa Indonesia merupakan kewajiban bersama (fardhu kifayah) bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dapat dibedakan tooh?[]
Leave a Review