Anak ke Pesantren
Sebetulnya, kita bisa berbangga dengan tingginya minat masyarakat akhir-akhir ini memilih Pesantren sebagai kendaraan pendidikan. Namun di sisi lain, ada banyak hal yang mesti jadi catatan, terutama untuk Bapak/Ibu Wali Santri yang baru akan, dan sudah menjadikan anaknya sebagai Santri di sebuah Pesantren.
Pesantren, apapun itu modelnya, adalah lembaga pendidikan keagamaan formal yang bertujuan mendidik dan menjadikan peserta didiknya sebagaimana termaktub dalam visi-misinya. Setiap Pesantren memiliki cara dan metodenya masing-masing guna mencapai hal tersebut. Dalam hal ini, ketika Bapak/Ibu Wali Santri sudah bulat hati memilih satu Pesantren, artinya Bapak/Ibu sudah setuju untuk dididik seperti apa anaknya kelak.
Banyak sekali para Wali Santri yang gagap dan tidak siap tentang hal di atas. Banyak hal juga yang Saya curigai sebagai sebab kegagapan ini; (1) Wali Santri tidak sevisi-misi dengan Pesantren tentang anaknya, (2) Wali Santri memasukkan anak ke Pesantren hanya karena ikut-ikutan trend zaman, (3) Masuk Pesantren bukan demi si anak, namun demi Bapak/Ibunya sendiri. (4) Wali Santri tidak tahu apa itu Pesantren. Berikut penjelasannya:
Pertama, perbedaan visi-misi antara Pesantren dengan Wali Santri acap terjadi karena Wali Santri sebelum memasukkan anaknya, sudah punya visi-misi sendiri yang berbeda dengan Pesantren. Hal ini kemudian meniscayakan cara yang berbeda pula sebagai prosesnya. Secara umum, benang merah visi-misi setiap Pesantren adalah menciptakan kader-kader tiang pancang agama yang alim lagi soleh, sementara itu, Orang Tua Santri itu sendiri punya visi-misi lain pula, sehingga seringkali terjadi benturan cara, metode, aturan, dlsb dalam mengelola si anak. Pesantren punya caranya sendiri, sementara Orang Tua juga menginginkan cara mereka agar diadopsi pihak Pesantren. Hal ini mustahil bagi Pesantren-pesantren lama dan tua yang sudah memiliki cara dan metode yang mapan dalam mengelola pendidikannya.
Sebagai contoh, pihak Pesantren menyiapkan aturan-aturan kedisiplinan dan kependidikan yang sudah ditentukan untuk kemudahan dan kelancaran mengelola banyak santri, namun, karena perbedaan visi-misi tadi, Wali Santri jadi seringkali acuh dan tidak paham dengan tujuan akhir dari aturan-aturan tersebut. Sehingga, kebingungan pun terjadi dan pendidikan si santri jadi korbannya. Solusi satu-satunya untuk hal ini hanya kompromi. Wali Santri jika punya ide dan rencana yang menurutnya lebih bagus dari yang telah ada di Pesantren, harus mengusulkan terlebih dahulu ke pihak Pesantren, ketimbang memaksa-maksakan kehendak sendiri. Pesantren yang mengelola banyak santri dan tentunya juga banyak Wali Santri, harus mempertimbangkannya. Namun perlu ditekankan bahwa sifatnya hanya usulan yang harus dipertimbangkan.
Baca Juga: Hari Santri Nasional bagi Pesantren di Sumatera Barat, Pentingkah?
Kedua, hanya ikut-ikutan trend zaman. Harus kita akui, bahwa pembinaan karakter di sekolah-sekolah umum sudah sangat mengkhawatirkan. Apalagi di perkotaan, lebih-lebih sejak sekolah daring. Sehingga, Pesantren dalam hal ini adalah solusinya. Namun di sinilah masalah itu mulai muncul; ketika Wali Santri memilih Pesantren hanya karena “ketidakmampuan”nya mengelola Pendidikan si anak di rumah, maka konsekuensinya adalah Pesantren akan diposisikan sebagai “Tempat Penitipan Anak”. Memang, Pesantren adalah tempat penitipan anak guna dididik menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter serta tidak mengkhawatirkan. Namun, penting juga dicatat bahwa di Pesantren, ada yang namanya proses transfer ilmu pengetahuan. Semuanya di Pesantren berjalan secara berkelindan dan harus seiring, tak satupun yang bisa dikecualikan.
Proses pendidikan Santri di Pesantren berjalan setiap hari secara berkesinambungan. Tak satu waktu pun bisa dilewatkan begitu saja. Wali Santri harus mengetahui betul akan hal ini. Contoh konkretnya, Wali Santri tidak bisa membawa anaknya keluar Pesantren hanya demi hal-hal sepele seperti kucing jantan di rumahnya melahirkan, kambing orang sebelah rumah mati dua belas ekor setelah disembelih, anak kakak isteri paman yang seayah dengan ayahnya mengadakan pesta sunatan kedua, dlsb. Setiap Wali Santri harus benar-benar sadar bahwa Pesantren bukan tempat penitipan anak yang bisa diantar ketika kita sibuk, lalu dijemput ketika perlu. Setiap waktunya di Pesantren berharga dan Wali Santri harus memprioritaskan itu meski banyak hal yang harus dikorbankan.
Ketiga, bukan benar-benar demi Anak. Ini sedikit rumit, namun penting. Seringkali Wali Santri menganggap bahwa dengan memondokkan anaknya di Pesantren, ia akan mendapat popularitas serta kebanggan sebagai orang tua anak yang soleh, hafiz Quran, pintar agama, pintar ceramah, dlsb. Hal-hal ini tak sepenuhnya salah, namun ketika keinginan ini menjadi keinginan tunggal yang tidak dibarengi niat tulus ikhlas agar si anak di kemudian hari menjadi pribadi yang berkarakter, penegak agama, penerus Rasulullah, maka secara otomatis si anak hanya akan menjadi produk-produk cetakan keinginan orang tua. Artinya, bukan benar-benar demi si anak, namun hanya demi orang tuanya saja.
Keempat, Tidak tahu apa itu Pesantren. Seringkali Wali Santri salah anggapan tentang hal ini. menurutnya, ketika ia sudah membayar kewajibannya, ia berhak seenaknya mengatur Pesantren. Kiyai/Buya dan Guru-guru Pesantren seolah mau dikendalikan dengan uang yang telah dibayarkan. Ini jelas salah besar. Perlu diketahui, bahwa Pesantren yang benar-benar Pesantren bukanlah lembaga bisnis yang menjual ilmu demi mendapatkan keuntungan-keuntungan materil. Sehingga, dalam hal ini tak ada yang Namanya “Pembeli adalah Raja”. Di Pesantren (yang benar-benar Pesantren), posisi tertinggi Wali Santri adalah tandem Pesantren dalam menciptakan ulama penerus agama dan bangsa, namun jika Wali Santri tersebut tak mampu, maka hal itu sepenuhnya menjadi tugas Pesantren. Sedangkan Wali Santri? Tak lebih dari sosok yang minta tolong lantaran ketidaksanggupannya. Meskipun begitu, Pesantren yang selama ini sudah, atau akan berorientasi bisnis juga harus menyadari konsekuensi tersebut. Wallahu a’lam.
Foto milik: Nurul Yaqin El Imrany
Leave a Review