Pada malam Minggu, 27 Juni 2020, Jaringan Pakiah Indonesia (JPI) mengadakan Halaqah Pakiah Virtual ke-2 melalui aplikasi zoom meetings. Pada halaqah yang kedua ini, JPI mengangkat tema “Pakiah: Tantangan Dan Harapan”. Pada beberapa artikel terdahulu tentang pakiah, yang telah dimuat oleh tarbiyahislamiyah.id, para penulis telah menjelaskan pengertian pakiah secara bahasa dan istilah. Safwatul Bari misalnya, dalam artikelnya “Eksistensi Pakiah: Dulu, Kini dan Masa yang Akan Datang”, menjelaskan istilah pakiah berasal dari bahasa arab “fāqih” (wazan isim fā’il) yang secara bahasa berarti “orang yang paham, mengerti”. Secara istilah, fāqih berarti ahli fikih (jamaknya ialah fuqahā’). Sementara itu, dalam konteks Minangkabau, Muhammad Nasir misalnya, melalui artikelnya yang berjudul “Seribu Wajah Pakiah”, telah menjelaskan berbagai pengertian dan penggunaan istilah pakiah di kalangan masyarakat Minangkabau. Untuk lebih terarah, yang dimaksud dengan istilah pakiah dalam tulisan ini ialah pelajar atau murid yang sedang menuntut ilmu pada “surau” atau “pesantren tradisional” di daerah Pariaman.
Tantangan Pakiah Era Disrupsi
Tema halaqah ke-2 ini sebenarnya berkaitan dengan tema halaqah yang ke-1. Jika pada halaqah yang pertama, diskusi lebih diarahkan pada bercermin pada eksistensi pakiah zaman dulu yang diakui otoritasnya di bidang keagamaan, dan kegamangan pakiah atas eksistensinya pada masa kini; maka pada halaqah yang kedua ini lebih diarahkan kepada merenda masa depan dengan menimbang tantangan dan peluang yang dihadapi pakiah pada masa kini. Kepiawaian pakiah dalam menghadapi tantangan dan kejeliannya dalam melihat peluang era disrupsi ini akan menentukan eksistensi pakiah pada masa depan. Apakah pakiah tetap eksis dengan perkembangan yang cukup membanggakan atau akan hilang ditelan zaman.
Berbicara tentang tantangan, harus diakui bahwa setiap zaman memiliki tantangan masing-masing. Ini karena, sebagai pepatah minang “Tahun baraliah, musim bakisa”. Dunia terus berubah. Tidak ada yang tetap di alam ini kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan adalah sifat sejati alam semesta yang membuktikan bahwa ia baru (huduts) sebagai lawan dari sifat qidam-nya Allah SWT, Tuhan sarwa sekalian alam.
Berkenaan dengan tantangan yang dihadapi oleh pakiah era disrupsi, saya teringat nasehat guru saya sewaktu belajar di pesantren. “Tantangan yang akan kalian hadapi pada masa depan jauh lebih hebat dari tantangan zaman saya. Masyarakat yang akan kalian hadapi jauh berbeda dengan masyarkat zaman saya. Karena itu kalian harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya,” begitu pesan beliau.
Tantangan yang dihadapi oleh pakiah zaman dulu lebih banyak dalam bidang ekonomi. Karena itu pakiah zaman dulu identik dengan kemiskinan dan penderitaan. Pada masa Orde Baru, walaupun keadaan ekonomi masyarakat sudah sedikit membaik, namun kebanyakan yang masuk belajar ke surau (pesantren) ialah anak-anak dari kalangan masyarakat miskin, karena orang tua tidak mampu menyekolahkan anaknya di sekolah umum. Bagi kalangan masyarakat berpunya mereka memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah umum atau sekolah agama negeri (madrasah), karena pakiah pada masa itu seolah-olah tidak memiliki masa depan. Setelah tamat mengaji di surau, pakiah tidak ada peluang untuk menjadi pegawai negeri. Peluang pakiah hanya menjadi “Tuanku kampuang”, menetap di surau tertentu, menjadi guru agama dan tukang baca doa bagi masyarakat di kampungnya. Inilah salah satu alasan kenapa pakiah identik dengan peminta sedekah dari rumah ke rumah ketika hari libur mengaji. Sementara itu, dari aspek objek dakwah, masyarakat yang dihadapi oleh pakiah zaman dulu ialah masyarakat di kampung-kampung yang kebanyakan dengan tingkat pendidikan rendah. Mereka tentu tidak terlalu rasional dan tidak kritis terhadap ilmu agama yang disampaikan oleh pakiah.
Nasehat guru saya 23 tahun yang lalu kini benar adanya. Jauh berbeda dengan pakiah zaman dulu, tantangan yang dihadapi oleh pakiah zaman ini bukan lagi masalah ekonomi. Pakiah era disrupsi tidak lagi identik dengan kemiskinan, walau tradisi meminta sedekah (mamakiah) ke masyarakat masih berjalan pada sebagaian pesantren tradisional. Pakiah zaman ini sudah banyak yang berasal dari kalangan orang berpunya.
Tantangan pertama yang dihadapi pakiah zaman ini adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti penemuan komputer, internet dan smartphone. Kemajuan yang pesat di bidang teknologi digital telah melahirkan zaman baru yang dikenal dengan “era disrupsi”. Era disrupsi adalah fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya. Seperti diketahui, jaringan internet tidak lagi terfokus diperkotaan tetapi sudah merata ke seluruh pelosok pedesaan/ kampung-kampung.
Era disrupsi melahirkan generasi baru yang dikenal dengan generasi milenial. Inilah tantangan kedua yang dihadapi oleh pakiah saat ini. Dengan kata lain, masyarakat yang dihadapi oleh pakiah zaman ini adalah generasi dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dan melek internet. Di antara karakteristik mereka adalah rasional, kritis dan tidak mudah mempercayai sesuatu tanpa didukung oleh argumen-argumen yang meyakinkan. Generasi milenial tidak lagi terikat dengan surau, mushalla dan masjid untuk mempelajari agama. Selain melaui siaran televisi, segala sesuatu bisa mereka dapatkan dan pelajari melalui laman web, dan media sosial seperti facebook dan youtube. Jauh-jauh hari sosiolog-budayawan Prof. Kuntowijoyo sudah meramalkan kemunculan generasi ini dengan istilah “Muslim tanpa Masjid”.
Tantangan lainnya, yang sebenarnya berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, yang dihadapi pakiah ialah kuatnya arus dakwah dari aliran minoritas yang dengan gencar menyerang pegangan keagamaan kaum pakiah yaitu Ahl Sunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i. Aliran ini, walaupun minoritas, cukup massif mempengaruhi masyarakat baik melalui media sosial maupun channel TV yang dimiliki oleh aliran tersebut. Dampaknya, masyarakat yang menjadi pengikut (jama’ah) pakiah selama ini bisa goyah disebabkan serangan dari aliran ini.
Baca Juga: Metafora Terjemahan Bahasa Arab ala Pakiah di Minang
Peluang
Disamping tantangan yang cukup berat, pakiah zaman ini juga memiliki peluang yang lebih besar dibanding pakiah zaman dulu.
Peluang pertama ialah, era reformasi membawa angin segar bagi dunia surau (pesantren tradisonal Minangkabau). Jika sebelum reformasi, ijazah sekolah swasta (termasuk pesantren) tidak diakui, kecuali jika sekolah tersebut ikut ujian akhir nasional di sekolah negeri. Setelah reformasi, ijazah pesantren diakui oleh pemerintah. Bahkan pesantren dibenarkan menyelenggarakan program pendidikan (kurikulum) sendiri asal pada kurikulum tersebut dimasukkan mata pelajaran umum (minimal mata pelajaran untuk ujian nasional). Dengan kebijakan baru ini, pakiah memiliki peluang untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dengan demikian, peluang kerja (profesi) bagi pakiah semakin terbuka luas, tidak lagi hanya sebagai Tuanku kampuang atau penceramah.
Kedua, dengan kemajuan sistem pendidikan surau (dengan masuknya pelajaran umum) terbuka peluang bagi pakiah untuk memiliki wawasan pengetahuan umum. Kesan sebelum ini yang memandang pakiah sebagai terbelakang karena tidak belajar ilmu-ilmu umum sudah tidak relevan lagi. Selain itu, walaupun tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, pakiah sudah memiliki rasa percaya diri menghadapi masyarakat terpelajar.
Ketiga, sebagai dampak positif dari kemajuan dunia TI, pakiah zaman ini memiliki peluang untuk mengakses sumber-sumber ilmu seperti artikel, buku dan kitab dari internet. Jika menginginkan membaca kitab tertentu misalnya, bisa diunduh dari internet.
Keempat, fasilitas internet memungkinkan pakiah zaman ini untuk melakukan aktualisasi diri dan meluaskan jangkauan dakwah melalui blog dan media sosial, seperti facebook, twitter, instagram dan youtube. Dengan kata lain, blog dan media sosial bisa dimanfaatkan sebagai media dakwah.
Baca Juga: Pakiah: Ketek Dicaci, Gadang Dipuji
Bagaimana Seharusnya Pakiah Menghadapi Tantangan dan Peluang Era Disrupsi?
Agar pakiah bisa mempertahankan eksistensinya pada masa depan, mau tidak mau pakiah harus mampu beradaptasi dengan zamannya. Meminjam teori Darwin (walaupun kesimpulan akhir dari teori ini tidak bisa dipakai oleh kaum beragama karena menolak keberadaaan Tuhan), species yang bertahan bukanlah species yang paling kuat tetapi yang bisa beradaptasi dengan lingkungannya.
Karena itu, jika ingin mempertahankan eksistensinya, pakiah harus berani melakukan perubahan-perubahan agar tantangan-tantangan zamannya bisa diatasi. Lalu apa yang harus dilakukan pakiah untuk menghadapi tantangan-tantangan di atas?
Pertama, harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman melalui kitab turats (kitab kuning). Sebagaimana disebutkan diatas, masyarakat yang dihadapi pakiah hari ini adalah masyarakat yang rasional dan kritis. Karena itu pakiah harus mampu menyampaikan ajaran agama dengan argumen yang meyakinkan. Kalau tidak, pakiah akan ditingalkan.
Kedua, pakiah harus memiliki wawasan pengetahuan umum. Sehubungan dengan ini, surau (pesantren) harus berani berubah demi kemajuan pakiah yaitu dengan mengubah sistem halaqah menjadi system pendidikan ala madrasah (sistem kelas) dengan memasukkan beberapa mata pelajaran umum seperti yang telah dipraktekkan oleh Pesantren Nurul Yaqin dan cabang-cabangnya. Dari segi pendidikan bahasa, pakiah zaman ini harus mampu berbahasa Inggeris dengan baik, baik lisan maupun tulisan. Dalam hal ini, kaum pakiah sudah lama ketinggalan dari kaum anak siak di darek dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah-nya.
Ketiga, pakiah harus menguasai teknologi. Di zaman kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ini, pakiah harus ikut berpartisipasi meramaikan media sosial dengan hal-hal yang bermanfaat. Media sosial seperti facebook dan youtube dapat dijadikan sebagai medium dakwah Islam. Ini merupakan salah satu upaya mempertahankan akidah Ahl Sunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafii yang menjadi pegangan pakiah dalam beragama.
Keempat, pakiah harus mampu menjadi teladan bagi masyarakat baik di bidang keilmuan, ibadah dan akhlak. Keteladanan adalah salah satu bentuk dakwah yang cukup efektif yang dikenal dengan dakwah bi al-ẖāl.
Penutup
Di era disrupsi pakiah menghadapi tantangan yang jauh lebih berat dibanding pakiah zaman dulu. Agar bisa mempertahankan eksistensinya, pakiah harus mampu beradaptasi dengan zamannya, agar tidak digilas oleh roda zaman. Dalam hal ini kaidah “Mempertahankan hal-hal lama yang baik dan mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik” relevan diterapkan. Sehubungan dengan ini, dalam upaya memajukan surau-surau (pesantren-pesantren) Syatariah di mana pakiah belajar, perlu ada organisasi yang baik untuk menaungi seluruh surau ini. Karena itu upaya revitalisasi organisasi Jamaah Syatariah adalah suatu hal yang sangat penting dan mendesak.
Kampung Dalam, Sabtu 27 Juni 2020.
*Oleh: Ridwan Arif, M.I.S, Ph.D, Tk. Bandaro
Leave a Review