Pakiah adalah sebutan bagi anak muda yang belajar mengaji ilmu agama khususnya kitab kuning di surau atau di pesantren. Pakiah sekarang lebih dikenal dengan sebutan santri karena memang nomenklatur yang dipakai oleh kementerian agama untuk murid yang belajar di pesantren dipanggil dengan sebutan santri, meskipun akar historis dan budayanya berbeda. Belum ditemukan siapa yang mempopulerkan sebutan anak muda yang belajar agama itu dengan sebutan pakiah. Tetapi banyak penulis menyebutkan atau manyandarkan sebutan pakiah itu dengan fãqih dalam bahasan arab yang berarti orang yang paham agama. Tapi bisa diyakini bahwa sebutan pakiah itu ada kaitannya dengan sebutan fãqih dalam bahasa arab tersebut.
Menariknya pakiah dalam konteks anak muda yang belajar mengaji agama atau kitab kuning di surau atau pesantren tradisional di wilayah Padang Pariaman dan sekitarnya selalu diidentikan dengan aktivitas mamakiah. Meskipun tidak semu pakiah itu melakukan aktivitas mamakiah. Sepanjang hasil bacaan dan pendengaran penulis belum didapatkan data siapa yang memulai praktik mamakiah itu dan siapa Pakiah pertama yang mamakiah. Tetapi sudah “ma wajadna alaihi akhana”. Dia bukan tradisi yang diwariskan, tetapi itu sudah ada saja sebelumnya.
Menurut hemat penulis dalam persangkaan baik bahwa praktik mamakiah itu dilatarbelakangi oleh adanya rasa kepedulian masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat Padang Pariaman terhadap anak-anak muda yang sedang belajar mengaji di surau atau di pesantren tradisional. Sebab masyarakat Minang atau khususnya Padang Pariaman rasa dan ghirah keberagamaannya sangat tinggi, sehingga merasa senang bisa berkontribusi membantu anak-anak yang sedang belajar ilmu agama atau mengaji. Apalagi anak pakiah itu parangainya saulah dan pandai membaca doa, sehingga pakiah sering diundang ke rumah warga untuk membacakan berbagai doa, baik doa selamat, doa arwah, doa melepaskan nazar dan lain sebagainya.
baca Juga: Kaji Dialiah Pakiah Singgah
Masyarakat Minang yang berfalsafahkan ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato dan adaik mamakai’ dikenal dengan masyarakat yang taat beragama dan suka berderma. Masyarakat Minang khususnya Padang Pariaman terkenal dengan jiwa sato sakakinya (keikutsertaannya) untuk membangun fisik, aktivitas keagamaan dan sosial. Perilaku ini dikenal juga dengan istilah “filantropi” atau sebuah kedermawaan yang dilakukan oleh seseorang. Pada awalnya landasan orang melakukan filantropi adalah untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Dalam konteks masyarakat di Indonesia filantropi lebih banyak diarahkan kepada sanak saudara, kaum kerabat dan kelompok baru setelah itu kelompok lain. Dalam perkembangannya menurut Hilman Latif Filantropi yang dilakukan diarahkan kepada keadilan sosial bagi seluruh orang. Tetapi bagi masyarakat Minang khususnya Padang Pariaman filantropinya lebih kepada kegiatan keagamaan, pendidikan agama, termasuk kepada ulama, guru ngaji (Labai, Imam, Katik dan Tuanku) termasuk juga kepada Pakiah.
Kedermawanan itu diawali oleh masyarakat dengan datang secara langsung ke surau memberikan infak dan sedekahnya termasuk memberikan beras untuk makannya anak pakiah. Tetapi dimungkinkan karena kesibukan masyarakat bekerja dan mengurus anak dan pekerjaan di rumah membuat ruang gerak mereka datang ke surau mengantarkan sedekahnya secara langsung menjadi terbatas. Maka alternatifnya mereka menawarkan kepada anak muda tersebut (pakiah) untuk datang ke rumah masing-masing untuk membantu menjemput sedekahnya. Apa alat untuk mengumpulkannya, anak muda yang disebut dengan pakiah itu menggunakan buntia (karung terigu atau sejenis). Karena tidak bisa diduga berapa banyak yang diberikan masyarakat, dibawa alat penampung yang lebih besar dan itu yang tersedia di surau saat itu. Soal hari Kamis dan Jumat dipilih lebih disebabkan masalah konsensus saja, karena pada hari tersebut mereka (pakiah) diliburkan untuk mengaji. Pada hari Kamis gurunya fokus menggarap sawah yang disediakan untuknya bersama sebagian pakiahnya, sedangkan sebagian lainnya pergi ke rumah warga untuk menjemput sedekah yang dari awal sudah disepakati. Hari Jumat adalah hari ibadah dengan mendatangi masjid lebih awal, bagi warga yang belum sempat dikunjungi rumahnya pada hari Kamis dilanjutkan pada hari Jumat tersebut. Aktivitas tersebut menjadi rutin dilakukan, terwariskan ke generasi berikutnya.
Istilah mamakiah itu diduga merupakan penjelasan dari sebutan Pakiah menjemput dana atau beras yang sudah disiapkan oleh masyarakat. Kalau istilahnya sekarang disebut dengan donatur, tinggal hanya masalah teknis penjemputan dan pengumpulan yakni diutus Pakiah pada hari libur untuk menjemputnya. Mamakiah ini adalah penjelasan dari mem-fakkih-kan, Masdar dari faqqaha, yufaqqihu, tafqiihan (mem-pakkih-kan), karena lajah bahasa Pariaman akhirnya berubah menjadi mem-fakkih-kan dan terus berubah menjadi mamakiah. Tidak ada yang salah sebenarnya proses mamakiah itu, karena para dermawan merasa terbantu. Semula mereka mengantarkan, disebabkan oleh kesibukannya mereka meminta bantu kepada Pakiah untuk menjemputnya. Jadi Pakiah yang datang ke rumah door to door itu sudah sangat membantu dan menolong para dermawan, sehingga jiwa kedermawanannya tetap terjaga. Apa yang dilakukan Pakiah merawat dan menjaga tradisi filantropi itu sendiri.
Seiring dengan datangnya kelompok tertentu yang cara pandangnya selalu dengan kacamata hitam putih. Mereka memprovokasi dan menganggap apa yang dilakukan pakiah salah salah dan lain sebagainya dengan menyebutkan berbagai macam dalil. Mereka adalah kelompok yang a historis, krisis kearifan dan tidak tahu latar belakang sesuatu itu dibuat, hanya dengan bermodalkan kacamata kuda, semuanya dilihat dengan hitam putih.
Dalam teori tindakan (Action Theory) yang dipelopori oleh Weber yang kemudian dikembangkan oleh Parson menyebutkan bahwa setiap tindakan dan perilaku individu atas hubungan sosial yang dia bangun terhadap orang lain memiliki makna (meaning) masing-masing, sehingga dari hubungan tindakan antar individu tersebut menghasilkan proses kausalitas. Mamakiah itu ada latarbelakangnya dan banyak makna (meaning, value) yang terkandung dalam semua aktivitas itu. Weber menyebutkan bahwa dalam setiap tindakan itu ada maknanya, oleh karena itu jangan salah dan keliru dalam memberikan makna. Bisa saja cara pandang yang terbatas yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan yang dangkal. Jangan tergesa-gesa membuat kesimpulan, mungkin hasil amatan kita masih terbatas. Semua itu ada proses historis dan asbabul wurudnya serta ada nilai yang terkandung di dalamnya.
Baca Juga: Pakiah: Ketek Dicaci, Gadang Dipuji
Dengan demikian konstruksi nilai filantrofi itu diinstitusikan atau dilembagakan dalam bentuk permintaan Pakiah datang ke rumah untuk mamakiah (menjemput) sedekahnya. Meskipun makna Pakiah dan mamakiah mengalami distorsi dan penyimpangan makna dari persepsi masyarakat yang salah paham atau pahamnya yang salah dalam memahaminya. Padahal masyarakat yang dermawan berterimakasih kepada Pakiah yang bersedia untuk datang ke rumahnya untuk menjemput sedekah yang memang sudah disediakannya dari awal. Filantrofi itu bisa muncul ke permukaan dan menjadi aksi jika ada nilai agama dan adat yang tertanam dan distimulus oleh kehadiran pakiah untuk menjemput atau mengingatkannya.
Berger dan Luckman menggambarkan teori konstruksi sosial (social contruction) sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Mereka mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi
Masyarakat senang dengan melihat kepribadian dan tingkah laku Pakiah yang insyaalah saleh, baik, ramah dan hormat kepada yang tua. Social capital itu lah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat sehingga masyarakat percaya bahwa sedekah mereka akan menjadi investasi masa depan yaitu lahirnya sumber daya manusia yang berbudi luhur, berakhlak mulia, punya kepedulian dan responsif terhadap persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan berintegritas. Apa artinya terpelajar, pintar dan berpendidikan tapi miskin integritas dan lemah komitmen. Terjadi saling keterkaitan antara masyarakat yang baik dan peduli yang dikonstruksi dengan nilai agama berbasiskan kesalehan sosial melahirkan manusia yang juga peduli melayani masyarakat dengan hati. Masyarakat yang sehat melahirkan manusia yang baik. Nilai baik, jiwa filantropi yang sudah dibangun oleh pendahulu kita harus dirawat, dijaga, dipertahankan dan dilestarikan.[] Semoga!
*Rahmat Tk Sulaiman: Pengasuh PonPes Bustanul Yaqin Pungguang Kasiak Alumni Ponpes Nurul Yaqin Ringan-ringan
Leave a Review