scentivaid mycapturer thelightindonesia

Pakiah dan Kemanusiaan Kita

Anak Pakiah dan Kemanusiaan Kita
Dok. https://www.facebook.com/photo.php?fbid=3225268170891438&set=pcb.3225268224224766&type=3&theater

Pakiah

Pada hari Kamis dan Jumat, saya dan Khazen akan celingak-celinguk di depan pintu, mencari-cari wajah orang-orang yang biasa datang pada hari itu. Tak lama kemudian, satu per satu dari mereka mulai menampakkan batang hidungnya dan berjalan dengan semangat menuju rumah saya. Lalu saya akan meminta Khazen untuk mengambil seganteng beras di dapur. Ia akan keluar dengan senyum merekah dan memasukkan beras itu ke dalam “buntia” orang yang ada di depan pintu. Yang menerima pun akan menjawab dengan doa ajaarakallahu

***

Pakiah. Begitu mereka biasa dipanggil. Kamis dan Jumat adalah hari di mana para Pakiah bertebaran di kampung-kampung. Mereka biasanya memakai kain sarung, baju koko dan kopiah hitam. Tak lupa sebuah “buntia” disampirkan di atas pundak. Bagi Pakiah yang masih pemula, biasanya ia akan datang berdua. Mungkin biar ada temannya kalau terjadi apa-apa nantinya. Tapi yang sudah terbiasa, mereka akan datang sendiri-sendiri.

Secara umum, Pakiah adalah sebutan yang digunakan untuk anak-anak yang sedang belajar agama di surau atau pondok di Minangakabau. Mereka ini adalah orang yang diharapkan untuk mengajar anak-anak mereka nantinya, orang yang akan mengembangkan agama. Namun, di mata masyarakat, Pakiah sering dianggap berbeda dengan makna aslinya.

Tradisi mamakiah bagi para Pakiah dilakukan dengan tujuan mencari bekal untuk bisa tetap bertahan mengaji di Surau. Tapi, hal ini sering disalahpahami orang sebagai kegiatan meminta-minta. Sebuah kegiatan rendahan. Akibatnya, mereka kerap dipandang sebelah mata seperti yang diceritakan oleh Fitrah al-Sidiq di tulisannya yang berjudul Pakiah: Ketek Dicaci, Gadang Dipuji.

Baca Juga: Pakiah dari Masyarakat untuk Masyarakat

Masa depan mereka pun tak luput dipertanyakan. Mereka dikira punya masa depan suram hanya karena menuntut ilmu agama. Pertanyaan-pertanyaan seperti “ka jadi a anak kalau hanyo mangaji di Surau tu?” akan sangat ramai terdengar. Anak-anak yang tidak mau sekolah akan ditakut-takuti dengan kalimat “kalau dak nio sakola, jadi pakiah se lah Pai.” Lalu anak-anak seketika itu juga bergegas pergi ke sekolah.

Lalu, setelah mereka menjadi orang, apalagi gelar tuanku sudah melekat, berubah pula cara orang memandang. Duhai, entah ke mana ingatan orang-orang atas perlakuan atas masa lalu pakiah itu.

Tapi entah bagaimanapun orang memandang, kami berusaha memandang mereka sebagaimana layaknya kami memperlakukan orang lain. Kami biasanya akan menunggu para pakiah datang lalu memberikan apa yang bisa diberi; beras, uang, makanan. Bahkan ketika kami sedang makan bersama, kami akan mengajak para Pakiah masuk ke dalam untuk makan bersama sambil bercengkrama dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti, dima mangaji? Sia Buya yang maaja? Lai kenal jo tuanku anu jo anu? Begitu seterusnya hingga kekikukan yang terjadi di awal mencair seiring perbincangan yang mengalir.

Ketika panen padi, Pak Uniang saya akan duduk di depan pintu rumah lalu mencari-cari wajah pakiah. Bila tidak ketemu, ia akan menyuruh orang untuk mencari pakiah dan memberikan sekarung padi atau beras untuk diberikan pada Pakiah.

Sikap ini tetap bertahan ketika kami pindah ke Merangin, Jambi. Di Merangin, dua kali seminggu saya pergi mengaji ke Pondok Pesantren Syekh Lebay Yasin. Meski tidak ada Pakiah di sana, tapi saya juga kadang-kadang melebihkan memasak untuk dimakan oleh para santri. Karena kondisi para santri di mana pun sama saja. Galau karena kekurangan uang, kiriman yang terlambat datang, kerinduan akan makanan rumah. Maka membawa masakan untuk mereka begitu mendatangkan kebahagiaan di mata mereka. Lalu adakah kegembiraan lain melebihi melihat kegembiraan para santri yang melahap habis makanan yang kami bawa?

Kami bersikap seperti ini karena kami tahu betul apa yang dialami pakiah-pakiah itu. Di rumah saya ada dua orang pakiah, adik dan kakak saya. Cerita-cerita mereka memang menerbitkan gelak sekaligus tangis. Bagaimana tidak, mamakiah adalah salah satu jalan bagi mereka untuk “survive” karena kiriman yang terlambat datang atau memang tidak jelas akan datang atau tidak.

Dengan kondisi seperti itu, apatah lagi yang bisa dilakukan oleh pakiah –apalagi pakiah mudo– untuk bertahan hidup? Tapi yang diterima seringkali pandangan sinis. Pandangan tanpa empati. Terpaksa jugalah mereka “basipakak basibanak” atas perlakuan yang haofhditerima.

Sikap ini bukan berarti bahwa kami lebih baik dari yang lain. Tidak. Bukan pula berarti kami merasa lebih tinggi daripada mereka. Itu semata-mata karena kami memandang bahwa mereka adalah sama seperti kami. Mereka mempunyai hak yang sama sebagai manusia. Hak untuk diperlakukan dengan baik.

Bagi kami, Pakiah adalah keluarga. Saya masih ingat ketika kakak tertua saya mengadakan pesta pernikahan, tamu sedang ramai-ramainya, orang yang menolong sedikit. Lalu tiba-tiba abang saya datang dengan segerombolan Pakiah. Tak perlu banyak cincong, sebagian mereka langsung menuju dapur, manatiang piriang bak pelayan rumah makan profesional. Sigap. Sementara yang lain sibuk membereskan piring-piring kotor di meja, membuang sampah serta mengantarkan piring ke pencucian. Dan semuanya adalah Pakiah, mereka laki-laki.

Baca Juga: Pakiah dan Gerakan Filantropi Masyarakat

Di kali lain, saya pergi berkunjung ke Pondok Pesantren Sungai Langkok, Sungai Sariak. Hanya berkunjung, tapi mereka memberikan makanan terbaik, tempat terbaik, serta perbincangan yang menyenangkan. Di Merangin, para santri itu tak segan-segan mengasuh bayi saya saat saya sedang mengaji. Lalu apa sebutan yang lebih pantas kalau bukan keluarga?

Saya yakin ada banyak keluarga lain yang juga melakukan hal yang sama atau bahkan lebih. Tapi satu hal yang pasti, bahwa memperlakukan manusia –siapa pun itu– secara baik adalah bukti kemanusiaan kita. Sebagaimana nama yang disematkan kepada kita, yaitu homo sapiens yang berarti manusia bijak.[]

Humairatul Khairiyah
Alumni MTI Canduang dan Alumni Megister Sastra Inggris UNP