Pakiah dari Masyarakat untuk Masyarakat
Pakiah akhir-akhir ini sudah menjadi topik pembicaraan pada berbagai diskusi, termasuk oleh Jaringan Pakiah itu sendiri pada acara Halaqah Pakiah Virtual. Pakiah mencoba untuk membicarakan dirinya sendiri sebagai sebuah refleksi. Selama ini Pakiah belum banyak (kalau tidak dikatakan tidak pernah) dijadikan sebagai tema seminar. Pada masa pandemi covid19 ini dimana menuntut masyarakat untuk stay at home, beberapa pakiah termasuk penulis sendiri mengisi ruang diskusi yang kosong tentang pakiah itu sendiri ke dalam forum diskusi. Forum silaturahim pakiah secara online menggunakan aplikasi juga dimanfaatkan untuk merefleksikan eksistensinya dari waktu ke waktu. Seiring dengan perkembangan zaman pakiah itu sendiri mengalami proses transformasi dari setiap generasi. Terjadinya proses transformasi pada diri pakiah mengantarkannya untuk menarik dibicarakan, karena akhir-akhir ini pakiah sudah banyak berkhidmat di berbagai sektor dan lembaga.
Studi tentang pakiah dalam bentuk karya ilmiah seperti skripsi dan tesis memang sudah ditemukan di beberapa kampus, termasuk praktik mamakiah oleh pakiah dengan mengunjungi rumah warga secara door to door setiap hari kamis dan jumat. Hal itu menunjukkan bahwa pakiah dengan realitas sosial yang melekat pada dirinya menjadi menarik untuk ditulis dan dicermati. Pakiah itu sendiri unik, meskipun sekarang pakiah itu juga disebut dengan panggilan santri. Hakikat pakiah dalam realitas sosial masyarakatnya berbeda dengan santri di pesantren Jawa. Meskipun pakiah sekarang lebih cenderung juga menyebutkan diri mereka dengan sebutan santri.
Baca Juga: Pakiah dan Tradisi Dialog
Mulai tidak populernya penyebutan pakiah dibandingkan sebutan santri disebabkan oleh proses penyeragaman terkait dengan administrasi lembaga pendidikan agama seperti pesantren. Bahkan anak-anak yang belajar di TPQ/ TPSQ serta MDTA juga dipanggil dengan sebutan santri. Meskipun demikian, di tengah-tengah masyarakat anak muda yang belajar di surau atau pesantren yang pada setiap Kamis Jumat pergi mamakiah, selalu dipanggil dengan sebutan pakiah, di lembaga pendidikan mereka sendiri sekarang ini sudah menggunakan istilah santri dan tidak banyak lagi (kalau tidak dikatakan tidak ada) menyebut dengan panggilan pakiah. Sebab dalam persepsi masyarakat maqam sosialnya berbeda, sebutan santri dinilai sedikit lebih elitis dan terpelajar dibandingkan dengan sebutan pakiah. Pakiah selalu diidentikan dengan orang yang berasal dari keluarga kurang mampu, kemudian belajar agama di surau yang fasilitasnya serba berkekurangan dan membiayai kebutuhan sehari-harinya dengan menemui masyarakat untuk bersedekah.
Apa yang membedakan pakiah dengan santri? Padahal mereka sama-sama belajar ilmu agama di lembaga pendidikan yaitu pesantren (secara umum) dan di surau secara khusus dalam sebutan daerah di Padang Pariaman sekitarnya, meskipun sekarang disebut juga dengan pesantren, karena memang lembaga pendidikan agama itu di Kementerian Agama disebut Pondok Pesantren. Kemudian sama-sama bermukim di pondok dan dibimbing oleh kiai, Ustadz, Buya atau Tuanku. Bedanya ada sebagian pakiah melakukan praktik mamakiah pada setiap hari Kamis dan Jumat untuk memenuhi kebutuhannya di surau, karena kekurangan biaya.
Dulunya terkesan bahwa yang menjadi pakiah adalah berasal dari keluarga kurang mampu, tidak belajar di sekolah formal (umum) seperti SMP atau SMA, nilai pelajaran umumnya rendah. Bahkan ada yang tidak diterima di sekolah umum, kemudian diserahkan mengaji ke surau atau pesantren tradisional. Padahal untuk bisa mempelajari ilmu agama membutuhkan input atau orang-orang yang otaknya cerdas, karena banyak sekali kitab yang harus dipelajari, banyak ayat dan hadis serta hafalan lainnya yang harus dihafal.
Baca Juga: Pakiah: antara Tantangan dan Peluang
Kalau dikaitkan dengan hasil penelitian dari Kimberly Noble, profesor di sekolah kedokteran Columbia University, Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa anak yang lebih miskin cenderung mendapat nilai lebih buruk dalam ujian kognitif. Kesenjangan itu dalam analisis statistiknya berhubungan dengan dimensi otak. Tetapi peneliti sendiri berkesimpulan bahwa hubungan antara otak anak dan pendapatan orang tuanya tidak sungguh-sungguh kokoh. Sebab dari data statistik yang mereka miliki bahwa ada banyak anak miskin yang memiliki otak relatif lebih besar dan sebaliknya ada banyak pula anak kaya yang memiliki otak relatif lebih kecil. Bagi pakiah, meskipun banyak berasal dari keluarga miskin tetapi dengan sentuhan motivasi dan barakaik (berkah) dari guru berdasarkan kaji dan ilmu yang diajarkan bisa mengantarkan pakiah menjadi alim, cerdas dan paham dengan berbagai ilmu agama dan kemasyarakatan.
Ada yang menyebutkan bahwa pakiah sekarang sudah berbeda juga dengan pakiah dulu. Dilihat dari input yang belajar agama di surau atau pesantren sekarang tidak lagi semuanya berasal dari keluarga kurang mampu, sudah banyak juga pakiah (santri pesantren tradisional sekarang) di Padang Pariaman tidak lagi mamakiah, bahkan ada juga beberapa pesantren yang membatasi meskipun tidak melarang secara tegas para pakiah untuk mamakiah pada setiap Kamis dan Jumat. Ativitas itu sendiri sangat padat, karena juga mengikuti belajar umum bahkan ada yang bersekolah umum di luar pondok seperti di SMA. Paginya mereka sudah pergi belajar di SMA dan mengikuti aktivitas proses belajarnya dari pagi sampai siang atau sore kemudian kembali ke pondok karena menginap di pesantren dan mengajinya pada malam hari, sehingga mereka tidak punya waktu untuk pergi mamakiah pada hari Kamis dan Jumat disebabkan mereka harus belajar di sekolah.
Meskipun demikian, pakiah itu banyak dibantu oleh masyarakat dan pada akhirnya mendorong mereka kembali ke masyarakat untuk mengabdi. Selama belajar di surau (pesantren) mereka hidup secara mandiri, tinggal di surau, memasak sendiri, mencuci sendiri dan banyak di antara mereka membiayai diri sendiri. Jujur disampaikan bahwa kebanyakan dari mereka adalah berasal dari keluarga kurang mampu. Dulunya mereka adalah yang tidak sekolah umum, karena keterbatasan biaya. Sehingga mereka dibawa dan diajak oleh Ungku atau Buya untuk mengaji dan belajar di surau.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, mereka pergi mengunjungi rumah-rumah warga untuk mengajak warga untuk berinfak dan bersedekah membantu membiayai hidup mereka. Proses seperti ini menumbuhkan sebuah nilai dan rasa bahwa mereka dalam mengaji dibantu oleh orang banyak, karena adanya perhatian masyarakat terhadap mereka dan pendidikan mereka. Setelah mereka tamat atau menyelesaikan pelajarannya atau studinya di surau (pesantren), mereka kembali berbakti dan mengabdi kepada masyarakatnya atau umat.
Hal yang berbeda jika dilihat dari lulusan lembaga pendidikan lain, yang biaya pendidikannya dibiayai oleh keluarganya secara mandiri cenderung setelah mereka menyelesaikan studinya, ilmu yang mereka peroleh lebih cenderung untuk mereka saja. Bahkan sampai dibuatkan program sarjana kembali ke masyarakat. Rendahnya keinginan mereka untuk mengabdi ke masyarakat, karena dia merasa bahwa ilmu yang mereka dapat adalah dimodali oleh dirinya sendiri atau keluarganya. Sehingga sebagian dari mereka lebih memilih banyak berdiam diri di rumah sambil menunggu informasi penerimaan lowongan kerja.
Masyarakat yang sudah berinvestasi kepada pakiah untuk membiayai hidupnya pada masa studinya di surau, akan membentuk rasa kepedulian pada diri pakiah untuk bisa kembali untuk mengabdikan diri ke masyarakat, Tinggal di surau, mengajar anak mengaji, kadang sambil mengajar mengaji menambah pengetahuan mereka dengan kuliah di perguruan tinggi.
Bandura menyebutkan bahwa sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Dalam pandangan social learning manusia berperilaku didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga dipengaruhi oleh stimulus-stimulus lingkungan. Pakiah dengan mereka mamakiah mengunjungi banyak rumah, dibantu oleh banyak orang akan meningkatkan semangatnya untuk berkhidmat di masyarakat. Banyak orang yang ditemui dan beragam perilaku dihadapi, tentu akan banyak pengalaman dan pelajaran yang didapat.
Baca Juga: Seribu Wajah Pakiah
Berbekal belajar di tengah masyarakat menjadikan pakiah lebih berwibawa dan dewasa. Seperti iklan sebuah pabrik rokok mengatakan dewasa itu adalah pilihan sedangkan tua adalah pasti. Sebab tua itu akan datang juga seiring dengan perjalanan waktu, tetapi yang tua belum tentu dewasa. Pakiah berdasarkan pergumulan interaksi sosial menjadikannya lebih dewasa dan matang secara sosial. Goleman menyebutkan kematangan sosial itu sebagai kemampuan untuk mengerti orang lain dan bagaimana bereaksi terhadap situasi sosial yang berbeda. Doll juga mengatakan bahwa kematangan sosial seseorang tampak dalam perilakunya. Perilaku tersebut menunjukkan kemampuan individu dalam mengurus dirinya sendiri dan partisipasinya dalam aktivitas-aktivitas yang mengarah pada kemandirian sebagaimana layaknya orang dewasa. Hal itu ditandai dengan kemampuan pakiah mengurus diri sendiri (self-help general), memasak untuk kebutuhan makan (self-help-eating), mencuci (self-help-dressing), mengatur diri sendiri (self-direction), mengurus kerjaan (occupation), sosialisasi (socialization) dan komunikasi (communication).
Kematangan pakiah itu sebagai hasil dari proses belajar kehidupan yang diperolehnya saat mengunjungi rumah warga secara door to door. Pakiah menyerap berbagai sikap, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menyambut dan menerimanya sehingga tertanam sebuah nilai bahwa masyarakat peduli terhadapnya dan kemudian akan diwujudkan dalam pengabdian nantinya. Pengalaman itu juga menjadi bekal sosial untuk menjadi orang yang mampu bermasyarakat dan diterima di lingkungan sosialnya. Kalau boleh dikatakan bahwa pakiah bisa menjadi matang secara intelektual karena selalu belajar dan mengaji, matang secara spritual karena selalu dilatih untuk mengamalkan kaji dengan melakukan ibadah, matang secara emosional karena mampu sabar dan menahan emosi saat diremehkan oleh sebagian orang dan matang secara sosial karena belajar dengan kehidupan ketika berinteraksi dengan masyarakat. Sejatinya lembaga pendidikan harus melahirkan manusia yang matang secara intelektual, spritual, emosional dan sosial.
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis mengutip sepenggal kalimat dari salah satu pernyataan mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Hal ini diyakini bahwa pakiah yang semula orang yang biasa saja tetapi setelah menamatkan pendidikannya di surau atau pesantren terangkat derajatnya dan naik maqam sosialnya. Pakiah besar dan alim karena dibantu oleh masyarakat, dari masyarakat dan mengabdi untuk masyarakat. Pakiah yang berpendidikan yang mengaji di surau atau pesantren akan memberikan yang terbaik bagi kampung halamannya dan bisa membawa dampak positif dan bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Pakiah yang nantinya menjadi Tuanku, Imam atau Khatik, kembali mengabdi ke masyarakatnya menjadi “suluah bendang dalam nagari, Palito tarang tangah kampuang, “Tibo di kalam ka manyigi, Batamu lakuang ka manyilau, Duduaknyo nan manyingkalak, Aie ka ilie bapalapehkan, Ikan takilek kanai jalo, Pandai Manjalo dalam rangsang, Pandai balafat ba ma’ana, Tau di Hadis nahu sharaf, Siang rintang dengan kitab, Malam rintangnyo jo pituah, Manjalehkan baiak dengan buruak, Manantukan hala dengan haram, Ka unduang unduang ka Madinah, Ka payung panji ka sarugo, Palito tarang dalam kampuang dan Palito di basa jo pangulu”. Insyaallah.
*Rahmat Tk Sulaiman: Pengasuh PonPes Bustanul Yaqin Pungguang Kasiak Alumni Ponpes Nurul Yaqin Ringan-ringan
Pakiah dari Masyarakat untuk Masyarakat Pakiah dari Masyarakat untuk Masyarakat
Leave a Review