Secara bahasa, Pakiah merupakan dialek lokal Minangkabau dari Fâqih dalam bahasa Arab, yang kurang lebih bermakna “Orang Paham Agama”. Oleh karena itu, di Minang, Pakiah menjadi sebuah gelar yang disematkan kepada setiap orang yang paham dengan ilmu-ilmu agama (dalam hal ini, Islam), dan bisa menjadi penerang di tengah kegelapan umat.
Dalam perjalanannya, Pakiah disematkan kepada orang-orang yang menekuni ilmu agama di surau-surau bersama guru-guru nan alim. Sehingga dapat dikatakan, gelar Pakiah adalah konsekuensi dari imajinasi masyarakat Minang bahwa setiap yang belajar agama di surau-surau, adalah orang yang fâqih. Hadirnya bisa dijadikan “kayu gadang di tangah koto: akarnyo ka tampek baselo, daunnyo nan rindang ka jadi tampek balinduang dari kapanehan dan kahujanan”.
Dalam konteks Minangkabau klasik, Pakiah tidak berdiri sendiri sebagai penyebut para pelajar agama, istilah “Anak Siak” juga menempati posisi yang serupa. Sesedikit yang saya ketahui, perbedaannya ada pada letak geografis. Anak Siak jadi identik di Minang bagian Darek (baca: Darat, kawasan inti yang berada di dataran tinggi Minangkabau), sedangkan Pakiah lebih identik di Minang bagian Rantau (kawasan yang berada di dataran rendah dan membujur di sepanjang pantai Barat Minangkabau). Sampai di sini, Pakiah (maupun Anak Siak), bisa dikatakan tidak menemui masalah apapun.
Namun, di era modern yang menjunjung tinggi norma-norma keseragaman (penyeragaman?) dan emosi berislam nan menggebu-gebu ini, kearifan lama itu harus menghadang badai “La Nina” dan “El Nino”, dua arus utama yang jika tidak ditangani dengan baik, tak akan segan-segan menerjangkan para Pakiah yang kian goyah dari fondasi utamanya. Lebih konkretnya, dua badai itu bisa ditengarai pada dua model keagamaan di Indonesia: Tradisionalis, dan Modernis. Jika tradisonalis di kancah nasional lebih direpresentasikan oleh kelompok NU, maka Modernis direpresentasikan oleh kelompok Muhammadiyah dan Salafi.
Baca Juga: Anaksiak Tarbiyah IslamiyahEsensi Lokus dan Karakteristik
Syahdan, dua arus inilah yang menggerogoti identitas Pakiah secara perlahan di Minang. Uniknya, mereka tidak berjalan sesuai identitas asalnya. Seolah paradoks, NU lebih banyak mengedepankan ekspresi-ekspresi kemodernan, seperti politik praktis dan wacana negara-bangsa. Sedangkan Muhammadiyah dan Salafi akhir-akhir ini cenderung mengedepankan ekspresi-ekspresi ala kaum tradisional Minangkabau. Sebagai contoh, sebuah perusahaan TV swasta milik kelompok Salafi yang bermarkas di Kota Padang, dalam beberapa tahun terakhir ini, tidak lagi menghadirkan pengajian-pengajian dengan tema berat seperti “Akidah Salaf, Fikih Sunnah, Salat ala Rasul,” dan masalah-masalah khilafiyah lainnya, namun mereka berapropriasi dengan menghadirkan pengajian-pengajian yang lebih mengincar masyarakat akar rumput Minangkabau, dan langsung masuk ke dapur dan ruang keluarga masyarakat. Kajian-kajian dengan tema seperti “kawin sasuku”, “salisiah adat”, “gadai sawah”, “tulak bala”, lebih banyak hadir di TV tersebut untuk menggaet penonton dari kalangan muslim perkampungan. Branding pengisi acaranya pun juga sudah tidak lagi menggunakan embel-embel nama ala Ustad-ustad Timur Tengah yang menggunakan nama “Abu” di awal, dan nama nisbat di akhir, tapi mereka mem-branding dirinya dengan menggunakan gelar-gelar keadatan ala pemuka-pemuka agama di Minang dulu, seperti Buya, Malin, Sidi, Sutan, Bandaro, dll.
Sehingga, karena menghadapi badai yang tak menentu itu, Pakiah jadi kebingungan menentukan sikap apa yang harus diambil, sementara identitas sendiri mulai goyah menghadapi badai tak kenal surut. Seiring dengan itu juga, Pakiah tidak lagi pede dengan dirinya. Konsekuensinya, kepercayaan masyarakat atas otoritasnya pun memudar.
Pakiah sebagai identitas dan role model keagamaan di tengah masyarakat Minangkabau harus direvitalisasi lagi. Mereka harus berani membusungkan dada menjawab modus-modus pendatang yang datang membumi. Dan mempertahankan identitas-identitas serta ciri khas yang semula dimiliki agar tak terbang ke langit dibawa angin, dan hilang.
Baca Juga: Sikap Wajar Anak Siak di Tengah Wacana Keislaman Akademis
Menyadari hal itu, beberapa orang Pakiah yang gelisah dengan fenomena ini, mencoba untuk merevitalisasi peran Pakiah di tengah badai modus-modus keagamaan itu dengan mengadakan sebuah webinar yang diberi nama “Halaqah Pakiah Virtual,” mengusung tema “Eksistensi Pakiah: Dulu, Sekarang, dan Masa yang Akan Datang,” bersama tiga orang Guru Tuo (keynote speaker), Buya Zulhamdi Tuanku Kerajaan nan Saliah, khalifah alm. Syekh H. Ali Imran Hasan dan Tarekat Syattariyah; Buya M. Rais Tuanku Labai nan Basa, S.S., pimpinan Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan; dan Buya Ali Basar Tuanku Sutan Sinaro S.Pd.I, pimpinan Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ambung Kapur.
Adapun pertanyaan-pertanyaan pelik yang akan diurai dalam webinar ini adalah: Bagaimana peran dan eksistensi Pakiah dulu sehingga bisa menjadi otoritas keagamaan tersendiri, padahal strata pendidikannya setara dengan pelajar SMP/SMA?, Apa yang berubah dari Pakiah dan masyarakat Minang sekarang sehingga Pakiah mulai meragukan eksistensinya, dan masyarakat pun meragukannya? Bagaimana Pakiah seharusnya menghadapi tantangan masa depan yang terus berubah-ubah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab pada halaqah virtual yang akan diselenggarakan pada Sabtu/13 Juni 2020, pukul 20.00, dengan media Zoom Meeting. Mari bergabung![]
Leave a Review