Pakiah, sebagai sebutan penyebut pelajar agama di Minang, merupakan anggota masyarakat yang biasanya masih dalam usia remaja. Namun, pada kasus-kasus tertentu ada juga yang sudah berkepala dua, bahkan tiga. Namun meskipun begitu, mereka masih mau malenggokkan kaki dan menghayunkan tangan mengaji ke surau atau pesantren secara rutin. Dalam tulisan kali ini, penulis hendak bermaksud mengemukakan Pakiah dalam kategori pertama. Yaitu yang masih remaja.
Pakiah berusia remaja rata-rata adalah mereka yang baru tamat Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama. Setelah tamat (SD/SMP), mereka langsung mendaftarkan diri ke tempat pengajian atau sekolah agama. Sementara teman-temannya yang lain memilih masuk sekolah umum. Perihal faktor penyebab apa yang menyebabkan mereka harus memilih sekolah agama, mungkin akan dibahas di lain waktu. Atau barangkali ada penulis lain yang ingin menceritakannya. Semoga! Kali ini, penulis hanya ingin berkisah tentang beberapa pengalaman yang dialami Pakiah remaja sewaktu menjalani masa pendidikannya dalam konteks persentuhannya dengan masyarakat umum, di mana dia cenderung dipandang ‘sebelah mata’.
Ada beberapa waktu dan tempat yang menurut penulis, Pakiah dan masyarakat bersentuhan secara langsung. Pertama, ketika hari Kamis atau Jum’at di wilayah yang sangat dengan sengaja sang Pakiah melakukan ‘kunjungan’nya. Di hari dan tempat itu, tak jarang sang Pakiah mendapat semacam ‘kuliah umum’, ‘sidang pengadilan umum’, ‘komentar buzzer’ bagaikan buzzer politik di media sosial, dan lain-lainnya lagi, bagaikan ‘lirikan tetangga’ dari rumah yang Pakiah datangi tersebut. “Badan lai gadang, sehat, tapi bukannyo karajo, malah mamintak-mintak karajo” (Tubuh besar, sehat, tapi bukannya kerja, malah minta-minta yang dijadikan pekerjaan). Begitulah kira-kira bunyi kuliah dari masyarakat tersebut. sebenarnya, masih banyak redaksi kalimat serupa, namun ini hanya salah satu contoh saja. Mengenai benar atau tidaknya, sama dengan sebelumnya, tidak termasuk dalam pembahasan ini. Menurut hemat penulis, kalimat ini benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Pembaca silakan menerka-nerka sendiri!
Baca Juga: Pakiah: Dulu, Sekarang, dan Masa yang Akan Datang
Memang, ada waktu dan tempat-tempat tertentu pada hari Kamis dan Jumat yang bak sarang orang-orang menghina Pakiah. Transportasi umum misalnya. Sudah menjadi hal yang lumrah bagi Pakiah, kalau ada orang yang baru naik setelah dia, maka Ia akan menjadi sasaran empuk untuk diminta berdiri dan memberikan bangku tempat duduknya tersebut kepada orang yang baru naik itu. Kira-kira, semacam fenomena rasisme antara ras kulit hitam dan kulit putih di Amerika dulunya (sekarang konflik itu juga masih ada). Dalam hal ini, Pakiah adalah yang berkulit hitam.
Dua hal di atas kerap terjadi pada hari Kamis dan Jumat, harinya Pakiah berkelana demi sesuap nasi di surau, dan sekadar sedekah “bukak kunci” kaji kepada guru. Namun, ada lagi waktu dan tempat di mana sang Pakiah menerima ‘ujian’ sebagai penuntut ilmu agama. Yakni ketika di kampung sewaktu si Pakiah pulang kampung. Masyarakat ‘alergi’ –bisa saja dari kalangan keluarga dekatnya sendiri, sanak famili, teman sebaya maupun masyarakat biasa– padanya. Banyak ragamnya cara mereka ‘menyambuk’ si Pakiah. Adakalanya teman di kampung tak lagi ingin bergaul seperti sewaktu bersama dahulu, karena Pakiah –khususnya di Pariaman— mesti, bahkan wajib menggunakan peci atau kopiah. Atribut ini bagi mereka para remaja melambangkan kekurang-gaulan, bahkan memalukan. Sehingga, tak jarang si Pakiah remaja mencoba melakukan ‘improvisasi’ dalam memakai kopiah: memperlihatkan rambut depannya dengan sedikit menaikkan posisi depan kopiahnya agar –setidaknya—juga terlihat gaul, layaknya para remaja non-Pakiah.
Sementara dia merasa kesepian dan krisis sosial seperti itu, keluarga terdekat pun ‘menyambuk’nya juga dengan cara memberikan gambaran umum masa depan orang-orang yang bersekolah umum. Bahkan membanding-bandingkan persoalan gaji, fasilitas, serta kemewahan yang sifatnya ‘duniawi’ semu itu. Tentu kalau dipikir-pikir, cara ini akan sangat efektif dalam rangka ‘mengaburkan gambar’ sang Pakiah ke depan, apalagi pembandingnya adalah teman sebayanya itu sendiri. Alhasil, besar kemugkinan Pakiah remaja pun bimbang.
Sebenarnya masih banyak lagi momentum-momentum sang Pakiah menerima entah itu namanya ujaran kebencian, hinaan, bullying, dan tindakan-tindakan tidak mengenakkan lainnya.
Tidak banyak memang yang kenal dengan istilah Pakiah sebagai penyebut seorang pelajar agama. Istilah ini baru lekat bagi orang Pariaman. Tapi tidak dipungkiri, orang luar Pariaman juga banyak yang paham dengan Pakiah dan seluk beluk kehidupannya. Bagi orang Pariaman, panggilan Pakiah hanya untuk mereka yang pergi belajar ke lembaga pendidikan agama baik ke Surau maupun Pesantren. Atau, bisa dikatakan, sama dengan santri di Jawa. Namun, panggilan Pakiah pun hilang dan berganti secara otomatis ketika dia telah dikukuhkan sebagai seorang Tuangku (gelar keulamaan di Minang yang terlegitimasi adat).
Seiring dengan hilangnya panggilan, persoalan-persoalan pelik Pakiah juga berputar balik secara drastis karena sang Pakiah telah menampakkan taringnya. Lebih tepatnya saat gelar Tuangku melakat. Ketek banamo gadang baggala; gala agamo lah lakek pulo ka tubuahnyo; lah banyak nan maangguak, maanjuang tinggi mahambo gadang; dulu Pakiah masiak, kini lah Tuangku pulo imbauannyo; Mahormati urang kasadonyo. Begitu lah gambaran masyarakat memuji dan menghormatinya. Memandang Tuangku layaknya Nabi di Kota Makkah sana. Suluah bendang dalam nagari. Tetapi, meski bagaimanapun, gelar ini hanyalah sebuah gelar dalam masyarakat, sama seperti Pakiah dahulu.
Baca Juga: Seribu Wajah Pakiah
Kebutuhan masyarakat akan sosok Tuangku ihwal keagamaan seolah menghapus dosa-dosanya saat menghantam Pakiah dengan berbagai stigma dan pandangan sinis di masa lampau. Mereka lupa, bahwa Tuangku yang sekarang mereka puja dan panuti adalah Pakiah yang dulunya mereka hina lantaran ‘door to door’ mengais rezeki barang seribu rupiah. Tuangku yang mereka idam-idamkan sebagai calon menantu itu adalah Pakiah dekil dan korengan yang dulu mereka jawab salam lengkapnya dengan sepatah kata “maaf lu, Kiah”. Kiah, yang jika dipahami sebagai bahasa Arab, akan bermakna “nanah”.
Tuangku-Tuangku itu tak akan mendapat otoritasnya jika dia tidak bertahan mengaji di Surau saat keluarga dan masyarakat menghujaninya dengan iming-iming duniawi. Untuk bertahan di Surau sampai jadi Tuangku itu bukanlah hal yang mudah. Ratusan orang yang mendaftarkan diri jadi Pakiah dulunya, hanya akan menyisakan Tuangku-Tuangku dalam hitungan jari. Seleksinya ketat. Tidak hanya seleksi kealiman yang ditempakan guru di Surau atau Pesantren, justru seleksi alam dari masyarakat itulah yang bak jalan mendaki nan terjal lagi berbatu runcing-runcing bagi si Pakiah.
Walhasil, dahaga keagamaan masyarakat yang tertumpu kepada Tuangku tak akan lepas jika dulunya si Pakiah tidak ‘basipakak’ mendengar hinaan demi hinaan yang datang padanya. Artinya, menghargai Pakiah layaknya menghargai otoritas Tuangku adalah sebuah tindakan tepat jika tidak ingin ‘mati kehausan’ di masa yang akan datang.
Terakhir, tulisan ini hanyalah serangkaian kata dari buah pengalaman fisik; pengalaman mata yang melihat; dan pengalaman telinga yang mendengar cerita sesama Pakiah. Tulisan ini juga tidak bermaksud membully kembali, atau mengorek luka lama. Namun, tulisan ini ingin menghadirkan bahwa masih banyak yang melihat Pakiah dengan kacamata gelap yang ‘kurang mengenakkan’ bagi si Pakiah, tapi di sisi lain, saat dia sudah bermetaforsis, mereka mendapuk Tuangku sebagai garda terdepan dalam membentengi umat di masa depan, atau dapat juga dikatakan sebagai ‘oase’ di tengah banyaknya kegersangan moral kalangan remaja, dan masyarakat pada umumnya. Entah akan bagaimana nasib Pakiah ke depannya. Wallahu a’lam.
Leave a Review