Oleh: Raudal Tanjung Banua
Di jalan ke ladang Bukit Timbulun, Kenagarian Rawang, Surantih, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, saya terpana melihat gambar Burung Garuda Pancasila tertempel di kap depan sebuah sepeda motor matic. Persis di bagian atas plat nomor kendaraan atau di bawah lampu sorot utama. Ukuran gambar dari jenis stiker itu cukup besar, mencolok mata.
Saya melihatnya saat sama-sama membeli goreng pisang dengan pemilik kendaraan di sebuah lapau. Si bapak yang saya taksir belum sampai 60 tahun itu, membeli gorengan untuk bekal ke ladang. Dari cakap-cakapnya dengan ibu penjual gorengan, saya dengar ia sedang menggampo gambir di ladangnya.
Sayang saya tidak membawa hp atau kamera lain sehingga tak sempat mengabadikannya. Saya bayangkan alangkah menariknya melihat gambar Burung Garuda seolah bertengger di atas plat BA—tanda plat kendaraan bermotor dari Sumatera Barat. Tapi tak apa. Saya kira dengan menceritakannya mungkin jauh lebih imajinatif, dan mudah-mudahan juga inspiratif.
Apa yang membuat saya terpana bukan lantaran saya merasa asing dengan fenomena gambar-gambar “sakral” tertempel di tempat tak biasa. Di kapal-kapal ikan nelayan Muncar, Banyuwangi dan Pengambengan, Bali, misalnya, saya biasa menjumpai gambar Burung Garuda, Perisai Pancasila, beserta gambar Gus Dur dan logo NU, berbaur dengan gambar Ratu Laut Selatan dan wajah penyanyi kendang kempul.
Namun itu di Jawa Timur dan Bali yang memang sangat familiar terutama dengan simbol NU dan wajah Gus Dur. Simbol ini kemudian juga dianggap dekat dengan gambar Burung Garuda atau Perisai Pancasila. Ada pun Sumbar, kadung dianggap secara tak bertanggung jawab sebagai provinsi yang kurang Pancasilais. Tak tanggung-tanggung, tudingan itu pernah terdengar dari Ketua DPR RI sekaligus pengurus PDIP, Puan Maharani. Sang Ibu, Megawati, secara tersirat mengeluhkan hal yang sama.
Dalam bentuk lain, Mahfud MD juga pernah menyentak dengan pernyataannya bahwa Sumbar termasuk provinsi “garis keras”. Entah kenapa, ini justru diartikan sendiri oleh warga Sumbar sebagai tuduhan ideologis. Jauh sebelumnya, jagad dunia profan—tapi lalu ditarik ke wilayah sakral—digemparkan oleh Putri Indonesia asal Sumbar yang tak hafal sila keempat Pancasila. Belum lagi sebutan-sebutan yang berhampiran dengan ungkapan “kurang Pancasilais”, seperti provinsi intoleransi, yang berhamburan di medsos.
Baca Juga: Langgam Minang dan Jeritan Pancasila di Perapian Buya Syafii
Saya tak akan memunculkan kembali pernyataan-pernyataan yang membuat tanah Minangkabau tercinta ini ramai gempita. Pembaca bisa mencari sendiri di link-link berita dan medsos. Yang jelas, pernyataan semacam itu bukan tanpa sebab. Dan pernyataan (atau tanggapan) balik dari “urang awak” juga bukan tanpa sebab. Bahkan lengkap dengan sebab-akibat. Ada api ada asap. Tapi siapa menyulut api, siapa menggantang asap, saya masih gelap.
Sedang mengingat-ingat demikian, laki-laki peladang itu segera mengambil motornya, menggayutkan sekresek goreng pisang di cantelan, dan bersiap berangkat ke ladang. Sejak dana desa menjadi kenyataan (jumlahnya cukup fantastis, hingga mencapai 1,8 m), jalan ke ladang sudah dipapas dengan lebih landai. Jika dulu sepenuhnya mengandalkan tenaga manusia, sekarang bego, sakai dan jenis alat-alat berat lainnya biasa dikerahkan. Kecuali saat pandemi ini, kegiatan untuk infrastruktur pada distop.
Jalan ke ladang kini dilapisi beton. Sejak saat itu, motor jenis matic pun—yang cocoknya untuk kawasan perumahan dan jalan datar di kota—bisa tancap gas ke ladang, mengantar siempunya tiba di pondok.
Saya pikir, meski dana desa merupakan program Jokowi, yang dalam pilpres lalu kurang didukung pemilih Sumbar (tapi bukan berarti tak banyak pemilihnya), pantas didukung sebab itu wujud pengamalan Pancasila. Kita tentu perlu mengapresiasi apa yang dilakukan seorang pemimpin. Meski jelas yang didukung secara fundamental itu bukan soal siapa sang pemimpin, tapi apa dan mengapa si pemimpin.
Lewat cara ini, hakikatnya dukungan fundamental kita tertuju kepada Pancasila sebagai dasar negara. Barang siapa yang bertekad dan bekerja keras mengupayakan “rakyat adil makmur sentosa” (seperti lirik lagu Garuda Pancasila), maka sesungguhnya ia berpegang teguh pada dasar negara.
Pentingnya merealisasikan sila Pancasila, khususnya bab keadilan dan kesejahteraan, acap diwanti-wanti “bapak bangsa” kita yang baru berpulang, Buya Syafii Maarif (Al Fatiha selalu untuk beliau). Menurut Buya, keadilan dan kesejahteraan merupakan prasyarat untuk menjamin tegaknya marwah dasar negara kita.
Apabila alustitsa TNI kuat menghadapi rong-rongan luar-dalam, tapi rakyat lapar dan hukum berat sebelah, maka kekuatan itu tak ada artinya. Pancasila akan jauh dari kata sakti. Negara goyah dan penduduknya menderita. Itulah satu gambaran tentang pentingnya keadilan dan kesejahteraan.
Dengan mendukung program-program baik pemerintah, terutama dalam pengamalan sila kelima, makin dekatlah kita dengan cita-cita bersama. Lewat cara itu saya bayangkan bukan hanya jalan ke ladang diperbaruhi. Juga harga-harga komoditi ladang yang harus dibuat layak. Dalam arti bukan hanya fisik/infrastruktur yang dibangun, non-fisik juga mesti ditangani.
Untuk pendidikan alhamdulillah sudah ada alokasi dana desa membantu anak-anak kurang mampu. Untuk insentif guru mengaji bahkan ada aturan khusus dari nagari, dan seterusnya.
Peruntukan dana desa memang bisa diprogram di tingkat nagari. Tapi ada unsur-unsur non-fisik lain yang kudu dikelola negara. Selama di kampung, saya mendengar keluhan tentang harga-harga tak sebanding. Maksudnya, harga beli kebutuhan pokok yang melambung sulit diimbangi harga jual yang menukik. Ini tentu menciderai timbangan keadilan dan kesejahteraan.
Harga sekilo gambir (setengah kering) sekarang hanya berkisar Rp 23.000. Harga sawit hanya Rp 1.000/kg. Cengkeh setengah kering Rp 30.000. Bandingkan dengan harga sekilo pupuk urea, Rp 150.000/karung. Harga sekaleng rondot (cairan pembasmi rumput) antara Rp 70.000- Rp 115.000. Ini belum bandingannya dengan celana Levis. Dan tentu saja harga gula dan minyak goreng yang masih terbilang tinggi.
Dalam minggu-minggu ini harga cabe dan bawang merah memang melonjak. Di Pasar Surantih, lado merah (cabe merah keriting) sudah mencapai Rp 75.000/kg dan bawang Rp 45.000/kg. Tapi karena itu bagian kebutuhan sehari-hari, maka yang merasakan efek langsung juga rakyat banyak. Selain itu mesti dilihat, siapakah penikmat sejati dari naiknya harga sepasang komoditi ini? Sebab dalam kasus serupa, penikmatnya belum tentu peladang atau petani. Kerap hanya segelintir orang, seperti pemodal besar, alih-alih tengkulak.
Di sinilah tangan negara mesti ikut bekerja. Jabarannya bisa pemerintah daerah atau pemerintah nasional, Mengingat kasus sejenis terus berulang (terakhir kasus langka dan mahalnya minyak goreng), yang melibatkan mafia dan jaringan besar, maka pemerintah mutlak ambil bagian. Regulasi, kebijakan, subsidi, atau apa pun namanya diperlukan. Tapi tak kalah perlu menegakkan semua aturan itu.
***
Melihat saya berdiri di depan sepeda motornya, sementara si bapak hendak lewat, ia akhirnya ikut berdiri pula. Bahkan ternyata ia cukup lama memperhatikan gerak-gerik saya. Pikirannya yang sehijau daunan gambir dan seulet ranting-ranting cengkeh itu, bisa membaca pikiran saya.
Maka berkatalah laki-laki peladang itu, dengan merujuk gambar yang diusung di sepeda motornya,”Garuda Pancasila, kitalah pendukungnya! Ndak ado nan lain.”
“Iyo, bana,” jawab saya antara gagap dan takjub.
Jelas ia bukan pengusung gambar calon gubernur atau calon presiden dalam greng-greng knalpot saat kampanye. Rakyat kecil ini mengusung dasar negara, naik ke bukit, menurun ke lurah, menuju pondok ladangnya.
Baca Juga: Bersandar Kembali di Urat Tunggang
Ia tak menyebut “aku” seperti dalam baris lagu wajib nasional (“Akulah pendukungmu”), namun langsung menyebut “kita” sebagai representasi aku-kolektif. Saya tersentuh dan menganggap sifat komunal peladang telah membuatnya meleburkan “aku” menjadi “kita”. Spontan dan murni. Dia bukan hanya melewati “aku” yang personal, namun sekalian melewati “kami” yang, meski kolektif, tapi masih merujuk satu pihak.
Ucapan spontan nan tegas itu, membuat mata saya jadi sebak seperti gabak di hulu. Dan laki-laki sederhana yang dari wajahnya tampak melebihi usianya itu, segera berlalu.
Aneh, tiba-tiba saya teringat Marhaen!
Selanjutnya Baca Menulis dari Kampung (2): Wajah Aswaja di Kampung Saya
Leave a Review