scentivaid mycapturer thelightindonesia

Parabek dalam Imaji Orang Kerinci

Parabek dalam Imaji Orang Kerinci
Foto Syekh Ibrahim Musa dan murid-muridnya (SUmatra Thawalib Parabek), Foto Dok. Istimewa

Parabek dalam Imaji Orang Kerinci Parabek dalam Imaji Orang Kerinci Parabek dalam Imaji Orang Kerinci Parabek dalam Imaji Orang Kerinci

Sebatas pengertian administratif-kewilayahan, Parabek adalah salah satu jorong (wilayah setingkat dusun) di Nagari Ladang Laweh, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Tapi, sejatinya Parabek bukan sekadar wilayah administratif atau bukan sebatas nama untuk sebuah jorong. Parabek punya makna yang lebih luas dan jauh lebih mengesankan dari itu. 

Jika ada masyarakat Sumatera Barat sedang bercerita bahwa “anak si anu sekolah di Parabek”, itu bukanlah cerita tentang seorang anak yang belajar di sebuah sekolah yang terletak di Jorong Parabek Nagari Ladang Laweh, tapi cerita tentang seorang anak yang menuntut ilmu agama di sebuah pesantren bernama Sumatera Thawalib yang didirikan oleh Syekh Ibrahim Musa. Kebetulan saja, pesantren itu berada di Jorong Parabek Nagari Ladang Laweh.

Apakah setiap anak yang belajar di Pesantren Sumatera Thawalib Parabek otomatis berurusan langsung dengan Kepala Jorong Parabek atau Wali Nagari Ladang Laweh? Belum tentu. Tapi yang pasti, mereka akan selalu bersentuhan dan menjadi bagian dari tradisi keilmuan yang diwariskan oleh Syekh Ibrahim Musa Parabek. Demikian artinya, Parabek bukan hanya bermakna administratif, tapi juga bermakna kultural sekaligus spritual.

Parabek di Kerinci

Selama hampir dua tahun tinggal di negeri Kerinci, saya mendapatkan pemaknaan yang lebih mendalam lagi tentang Parabek. Ternyata, bagi kebanyakan orang Kerinci (setidaknya yang sudah saya temui dan tanyakan), setiap sekolah agama atau pesantren di Sumatera Barat disebut “Parabek”. Setiap anak Kerinci yang belajar di salah satu pesantren di Sumatera Barat akan dikatakan “sekolah di Parabek”, apapun nama pesantrennya, di mana pun lokasinya, sekalipun bukan Pesantren Sumatera Thawalib yang didirikan oleh Syekh Ibrahim Musa, sekalipun sekolahnya bukan di Jorong Parabek.

Suatu kali saat mencari informasi tentang sejarah Buya Ya’kub Kari Tanjung Pauh-Kerinci (1914-1993), saya sempat mendengar ucapan beberapa orang bahwa Buya Ya’kub Kari semasa mudanya belajar di Parabek. Namun, setelah dikonfirmasi langsung pada istri dan anak bungsunya, ternyata Buya Ya’kub Kari merupakan murid langsung Syekh Muhammad Jamil Jaho (Inyiak Jaho). Ya’kub Kari muda belajar di Jaho selama tujuh tahun, rentang 1928 sampai 1935.

Saat menelusuri informasi tentang Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah (PPTI) Sebukar, Kerinci, saya dapat informasi bahwa salah satu pendiri pesantren ini masih hidup dan sekarang sudah berusia 92 tahun. Beliau adalah Buya Jamaluddin. Salah seorang tokoh masyarakat di sana sempat berujar bahwa Buya Jamaluddin dulunya belajar di Parabek. Namun, saat dikonfirmasi langsung ke Buya Jamaluddin, ternyata beliau alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang tahun 1957. Beliau bertemu dan langsung diajar oleh Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang).

Di kali yang lain, saya mendengar pernyataan seorang masyarakat tentang salah seorang dosen di IAIN Kerinci yang biasa dipanggil “Buya Azhar” oleh masyarakat. Ia mengatakan bahwa Buya Azhar adalah tamatan Parabek. Namun, berdasarkan penuturan langsung Buya Azhar ke saya, ia adalah alumni MTI Canduang tahun 1981.

Suatu kali, seorang kolega mendapatkan dua eksemplar majalah lama dari rumah tetangganya yang sudah tua dan akan direvonasi. Kata si empunya rumah, majalah itu adalah peninggalan bapaknya yang dulunya belajar di Parabek. Namun, ternyata kedua majalah itu adalah Majalah al-Mizan tahun 1938 yang diterbitkan oleh Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Majalah Suara Perti (Partai) tahun 1951.

Dugaan saya (karena belum dapat mengonfirmasi lebih jauh), bapak si pemilik kedua majalah ini adalah alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), bisa jadi MTI di Kerinci karena di salah satu halaman majalah terdapat foto-foto MTI Tanjung Pauh Kerinci yang didirikan oleh Buya Ya’kub Kari, tidak tertutup kemungkinan juga alumni MTI di Sumatera Barat, atau justru di tempat lain. Kecil kemungkinan bahwa bapak si pemegang majalah ini adalah alumni Sumatera Thawalib Parabek. Namun, yang dipahami sang anak hanyalah bahwa ayahnya dulu belajar di Parabek.

Suatu kali saat ngobrolngobrol dengan beberapa anak muda pegiat sejarah dan kebudayaan Kerinci, sempatlah obrolan menyerempet pada “orang-orang Kerinci yang belajar ke Parabek”. Saya iseng bertanya, Parabek itu apa? “Ya, tempat belajar agama di Sumatera Barat”, jawabnya. Sebatas itu.

Syekh Sulaiman Arrasuli al-Khalidi Canduang “Pendekar” Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah
Foto Syekh Sulaiman Arrasuli dengan Majlis guru dan murid-muridnya (Tarbiyah Islamiyah)
Ilustrasi/Dok.Apria Putra

Baca Juga: Muhammadiyah Inyiak Parabek

Anak Parabek vs Anak Siak

Mari beralih dulu sejenak ke Minangkabau. Mengapa setiap pelajar agama atau anak pesantren di Minangkabau biasa disebut “anak siak”? Setidaknya ada dua versi penjelasan para sejarawan tentang hal ini. Pendapat pertama mengatakan, karena Islam masuk ke wilayah darek Minangkabau melalui para pedagang dari pesisir timur Sumatera yang menyusuri Sungai Siak. Karena para ahli agama pertama kali muncul melalui Sungai Siak, maka setiap ahli agama kemudian digelari dengan “urang siak”.

Pendapat kedua, karena semenjak abad ke-14 atau 15 banyak anak-anak dari daerah Siak (Provinsi Riau) datang ke Minangkabau untuk belajar agama, sehingga para pelajar agama sering diidentikkan oleh masyarakat dengan anak siak. Di masa-masa setelahnya, bahkan hingga sekarang, setiap anak yang belajar agama di Minangkabau biasa disebut “anak siak”, sekalipun mereka bukan berasal dari daerah Siak Riau.

Dulu saya sempat bertanya-tanya, mengapa hanya gara-gara ada orang datang dari daerah Siak untuk tujuan mengembangkan agama (versi pertama) atau tujuan belajar agama (versi kedua), lantas setiap anak yang belajar agama harus digelari “anak siak” sampai pada masa berabad-abad setelahnya? Jawabannya rasionalnya tentu sudah disediakan oleh para ahli sejarah.

Namun, di samping jawaban rasional dari ahli sejarah itu, ternyata ada penjelasan emosional berupa pengalaman langsung berinteraksi dengan masyarakat, sehingga membantu saya memahami penjelasan ahli sejarah tadi.

Meskipun istilah “anak siak” di Minangkabau tidak sama persis dengan “belajar di Parabek” yang digunakan orang-orang Kerinci, tapi keduanya menyiratkan bahwa: ada satu masa di mana kata “siak” sangat mengesankan bagi orang Minangkabau, dan kata “Parabek” sangat membekas di hati masyarakat Kerinci. Karena pengalaman yang mengesankan dan membekas itulah kata tersebut akhirnya lestari dalam pikiran dan hati mereka, lalu mereka gunakan untuk menunjukkan peristiwa lain yang serupa, meskipun di masa yang berbeda.

Ini bukan soal salah atau benarnya informasi dan pemahaman masyarakat tentang suatu fakta, peristiwa, tempat, dan sebagainya. Toh masyarakat bukanlah wartawan yang dibebani kode etik untuk selalu mengonfirmasi atau bertabayun atas setiap informasi yang mereka peroleh. Namun, ini adalah sebuah penjelasan antropologis bahwa Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek pernah sangat mengesankan bagi masyarakat Kerinci, dan bekasnya masih ada hingga sekarang.

Hanya saja, informasi yang saya peroleh masih sangat terbatas untuk menjelaskan sejak kapan nama “Parabek” itu mulai membekas di hari orang Kerinci. Selama data yang jelas belum diperoleh, tentu kemungkinannya bisa banyak. Bisa jadi, ada satu masa di mana anak-anka Kerinci ramai pergi belajar ke Pesantren Sumatera Thawalib Parabek, bisa jadi ada santri atau alumni Sumatera Thawalib Parabek yang berpengaruh di Kerinci, bisa jadi juga di suatu periode Kerinci dikunjungi oleh guru atau ulama dari Sumatera Thawalib Parabek yang membuat masyarakat amat terkesan, dan masih terbuka kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Baca Juga: Sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah

Saat Orang Kerinci Mengingat Sesuatu

Saya berkesimpulan (sementara), saat orang Kerinci mengalami sesuatu yang berkesan, maka pengalaman itu juga yang akan mereka gunakan untuk menjelaskan peristiwa lain, atau bahkan objek yang sama yang telah mengalami perubahan. Kesimpulan sementara itu setidaknya saya dasarkan pada beberapa pengalaman berikut:

Suatu kali, saat hendak menumpangi ojek dari Pasar Sungai Penuh hendak ke Kampus IAIN Kerinci, terjadilah dialog antara saya dengan tukang ojek (pangkalan):

Saya  : “ojek bang”

Ojek  : “ke mana?”

Saya  : “ke kampus IAIN Koto Lolo” (karena ada tiga kampus IAIN Kerinci. Satu lagi di Sungai Liuk, dan satu lagi di Tanjung Pauh)

Ojek  : “ke kampus? STIE?” (dengan wajah bingung)

Saya  : “bukan, IAIN, yang di Koto Lolo”

Ojek  : (masih kelihatan bingung)

Saya  : “yang dekat MAN 1 Sungai Penuh”

Ojek  : “oo… STAIN?”

Saya  : “hmm… Iya”

Rupanya, walaupun kampus ini telah mengalami alih status dari STAIN ke IAIN semenjak 2017, masyarakat tetap menyebutnya “STAIN Kerinci”, karena nama STAIN-lah yang lebih awet dan membekas dalam ingatan mereka. Tak peduli bahwa di papan nama kampus ini atau di gapuranya sudah dituliskan dengan huruf cukup besar: IAIN Kerinci. Tapi, bagi masyarakat, sekali STAIN tetap STAIN! Hidup STAIN!!!

Di kali lain, saya kembali menumpangi ojek:

Saya  : pak, ke kampus IAIN di Koto Lolo, dekat MAN 1

Ojek  : ke kampus?

Saya  : iya

Ojek  : yuk…

Saya pikir, bapak ini sudah paham bahwa kampus yang dulunya bernama STAIN Kerinci sudah berganti nama jadi IAIN Kerinci semenjak tiga tahun yang lalu. Jadi, saya tidak perlu jelaskan lebih detail lagi seperti kasus naik ojek pertama tadi.

Namun, setelah sampai di simpang empat Koto Lolo, ojek terus lurus aja, padahal seharusnya belok kiri, karena kampus I IAIN Kerinci ada di kiri. Saya pun berkomentar:

Saya  : pak, belok kiri!

Ojek  : oo… ke STAIN?

Nah, beberapa hari yang lalu, seorang kawan yang biasa memanggil saya dengan sapaan “abang”, bertanya dengan serius: “bang, saya kemaren baca tulisan salah seorang alumni Parabek di tarbiyahislamiyah.id, apa dia satu sekolah dengan abang di Canduang dulu?” Nah…

Saya pernah belajar sehari di Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek, yaitu dalam rangka mengikuti pelatihan pembuatan web. Itu sekitar tahun 2005. Saya diutus oleh Organisasi Santri Tarbiyah Islamiyah (OSTI) MTI Canduang. Tapi, walau hanya pernah belajar sehari di Parabek, setelah sampai di negeri Kerinci ini, saya pun sudah jadi “alumni Parabek”.

Karena itu, saat seorang kolega dari Kabupaten Merangin kemaren menelpon, meminta informasi tentang pesantren-pesantren di Bukitttinggi dan sekitarnya untuk anaknya yang akan menamatkan SD pada tahun ini, saya pun menyebutkan sejumlah pesantren sejauh yang saya tahu. Dua di antara yang saya sebut itu tentu saja Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang dan Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek.[]

*(tulisan ini adalah penggalan dari diskusi “Kelompok Studi Kerinci” pada Jumat, 12 Desember 2020)

Baca Juga: Jalan Sunyi Perti di Bumi Kerinci

Nuzul Iskandar
Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung. Pernah aktif sebagai peneliti di Smeru Research Institute. Sekarang Dosen Hukum Islam di IAIN Kerinci Jambi