scentivaid mycapturer thelightindonesia

Pelajaran Hidup dari Mohammad Hatta

Ilustrasi/Dok. Istimewa

Kata-kata tersebut dilontarkan oleh Mohammad Hatta dalam pidato pembelaannya, ketika ia dan kawan-kawannya mendapat penahanan preventif di Belanda. Mohammad Hatta dan beberapa orang kawannya ditangkap karena tiga kasus tuduhan, Pertama, menjadi anggota perhimpunan terlarang. Kedua, terlibat dalam pemberontakan. Ketiga, menghasut untuk menentang kerajaan Belanda (lihat halaman 289). Walaupun ada kesempatan untuk melarikan diri, mereka tidak melarikan diri. Dengan lantang Muhammad Hatta mengatakan, ‘Kami terlalu jantan untuk lari. Kami berjuang untuk cita-cita tinggi dan lari hanya merusak tujuan kami sendiri’. Malahan dengan penangkapan itu, Belanda telah membantu menunjukan kepada dunia kondisi Indonesia saat itu, bahwa Belanda menjajah Indonesia.

Penulis           : Mohammad Hatta

Judul Buku     : Bukittingi-Rotterdam LewatBetawi

Penerbit         : Kompas

ISBN               : 978-979-709-540-6

Halaman         : 324; 14 cm x 21 cm.

Dalam otobiografi ini bisa kita temukan bahwa sifat anti terhadap penjajah itu sudah tertanam di benak Mohammad Hatta dan beberapa kawannya semenjak ia masih kecil, ketika Mohammad Hatta dan kawan-kawannya mengaji di Surau Syekh Muhammad DJamil Djambek di Minangkabau. Pada saat itu Mohhammad Hatta melihat Surau penuh dan sesak di setiap malam, tapi keesokan hari kawan-kawannya hanya bermain, menolong orang tua, dan menggembala Kerbau.

Hanya satu tanah yang dapat disebut sebagai tanah airku, ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu adalah usahaku

(Rene de Clerq)

Bung Hatta: Pendidikan Politik

Mohammad Hatta bertanya-tanya, tetapi setiap pertanyaan ia dapati jawaban yang hampir serupa: ‘’buat apa itu?’’, kata mereka. ‘’Sekolah itu kan bikinin Belanda untuk menjinakkan kita, lebih baik jauhi saja. Asal kita rajin-rajin mengaji, kita tidak akan kalah dalam pengetahuan dengan orang-orang yang tamat sekolah Rakyat itu’’ (lihat halaman 31). Hal seperti itu, tentu tak lepas dari cangkokan orang tua terhadap anak-anaknya. Pada saat-saat itu juga terjadi perang Kamang, dimana masyarakat Kamang memberontak kepada Belanda, karena ingin menerapkan pajak kepada masyarakat. Dalam pribahasa adat masyarakat Kamang merepresentasikan keadaan itu dengan ‘’lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai’’. Dan banyak kejadian-kejadian lain yang membuat Bung Hatta anti penjajah ketika itu, seperti penangkapan Rais teman Pak Gayeknya di Payakumbuh akibat mengkritik pemerintah Hindia Belanda, serta cara Belanda menerapkan pendidikan di sekolah rakyat, sekolah raja, dan lain-lain.

’Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai’

Mohhamad Hatta dan Perjuangannya

Mohammad Hatta atau lebih sering kita sebut dengan Bung Hatta, dilahirkan di Bukittinggi, tepatnya di Aur Tajungkang, 12 Agustus 1902 dan meninggal 14 maret 1980. Setelah Bung Hatta berumur delapan bulan, ayahnya meninggal dunia. Ketika masih belita, Bung Hatta tinggal di keluarga ibunya, baru pada akhirnya ia bertemu dengan pamannya dari pihak keluarga ayahnya. Bung Hatta pada mulanya diniatkan oleh kedua belah pihak keluarganya untuk belajar agama ke Mekkah dan dilanjutkan ke Kairo, namun takdir menyudahi, ketika Pak Gayeknya ingin berangkat ke Mekkah malah yang pergi pamannya, karena ketika itu umur Bung Hatta masih kecil. Bung hatta jika dilihat dari pendidikannya, ia bukanlah mahasiswa ‘kupu-kupu’ seperti kebanyakan orang bilang saat ini (kampus-pulang). Pada awal pendidikannya, Bung Hatta memulai sekolah swasta milik Tuan Ledoboer sesudah ia tidak diterima di sekolah Rakyat karena belum cukup umur. Setahun setelah itu, Bung Hatta baru diterima di sekolah rakyat bersama dengan kakaknya Rafi’ah. Pada pertengahan 1913, Bung Hatta pindah ke sekolah MULO di Padang.

Dari sekolah MULO ini, Bung Hatta masuk dalam sebuah perkumpulan sepak bola, ia ikut bertanding, dan dalam pengurusan ia menjadi bendahari dan penulis. Di padang, Bung Hatta juga bergabung dengan Jong Sumatra Bond cabang Padang (1917) dan menjabat sebagai bendahari. Selanjutnya Bung Hatta melanjutkan sekolah PHS (Prins Hendrik School) di Betawi. Setelah tamat, Bung Hatta melanjutkan sekolah ke Belanda dengan uang tabungan dan beasiswa berkat bantuan dari Tuan Duyvetter dan Tuan Z. Stokvis. Sebelum berangkat, Bung Hatta juga membuat kesepakatan dengan Kasuma St. Pamuntjak akan mengirim karangan ke surat kabar (Neratja) setelah di Belanda.

Bung Hatta sampai di Belanda 5 September 1921, ia mendaftar ke sekolah Handelshogeschool. Di Belanda Bung Hatta bertemu dengan kawan-kawannya Jong Sumatra Bond serta kawan-kawannya yang lain. Berselang waktu sebentar, Bung Hatta bergabung dengan indische vereeniging, yang kemudian berubah nama menjadi indonesiche Vereeniging, dan akhirnya berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (1925), dan ia menjadi ketua pada tahun 1926 setelah sebelumnya masuk dalam pengurusan. Dalam otobiografi ini kita bisa membaca, bagaimana Bung Hatta dan kawan-kawannya membangun organisasi dengan semangat anti penjajah, perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, serta memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Namun tentu tidaklah mudah membangun gerakan kemerdekaan di negeri yang menjajah, dengan segala konsekuensi dan kegigihan demi masyarakat, usaha itu berhasil. Sehingga pada akhirnya Bung Hatta dan kawan-kawannya di tangkap. Bung Hatta mengatakan bahwa semenjak perhimpunan Indonesia memperkenalkan nama ‘Indonesia’, mulai pada saat itu orang telah menyebut untuk tanah air yang dulunya Hindia Belanda dengan Indonesia.

Baca Juga: Dalam Masa-masa Gelap Pancasila

Bukan hanya gerakan atau sistem keorganisasian yang dikuasai oleh Bung Hatta, Taufik Abdullah dalam pengantar buku ini mengatakan bahwa Bung Hatta selain terkenal dengan sifat sederhana, jujur, dan sopan, ia adalah salah seorang proklamator yang terus memikirkan bentuk dan corak kebangsaan dan kerakyatan yang dicita-citakannya, demokrasi, dan hak asasi manusia. Bung Hatta juga seorang bapak bangsa yang menyempatkan dirinya menulis tentang filsafat yunani, dan tantangan ilmu sosial dalam perubahan zaman.

Kebanyak anak muda di Minangkabau, daerah tempat Bung Hatta dilahirkan, tidak mengetahui Bung Hatta.

Muetia Hatta

Bukan hanya itu, Taufik Abdullah juga mengatakan bahwa jika dilihat dari otobiografi ini, Bung hatta dalam segi intelektual bisa digolongkan kepada tiga bagian, yaitu seorang kolomnis, intelektual, dan ilmuan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Bung Hatta adalah orang pertama kali yang memperkenalkan dalam bahasa Indonesia pemikiran dan teori dari beberapa teori teoritikus modern, seperi Max Weber, Somber, dan lain-lain.

Dalam biografi ini, Bung Hatta juga menuliskan buku-buku bacaannya, dan pengalaman perjalannya selama berada di luar negri, termasuk ke Swedia dan Denmark untuk mempelajari gerakan koperasi. Namun seperti yang ditulis oleh Meutia Farida Hatta Swasono di bagian sambutan keluarga bahwa lama kelamaan nama Bung Hatta semakin hari semakin luput dalam pembicaraan. Memang Meutia menyadari bahwa hal itu tidak terlepas dari periodesasi sejarah dan politik Orde Baru yang mengkultuskan politikus ketika itu. Jauh dari pada itu Meutia mengatakan bahwa kebanyak anak muda di Minangkabau, daerah tempat Bung Hatta dilahirkan, tidak mengetahui Bung Hatta.

Baca Juga: Hatta dan Kelompok Muda pada H-1 Kemerdekaan

Agaknya bukan saja nama Bung Hatta yang mulai luput dalam pembicaraan, tetapi gagasannya dalam merumuskan corak kebangsaan dan kerakyatan juga sudah mulai dilupakan oleh kebanyakan pemimpin hari ini. Kita bisa melihat, setiap hari media memberitakan, menayangkan, bagaimana para pemimpin kita disibukkan dengan kepentingan individu dan kelompok, seakan tak peduli dengan masyarakat atau lupa bahwa mereka adalah perwakilan dari masyarakat. Bukan hanya itu, kelompok-kelompok sosial keagamaan juga menciderai apa yang telah disusun oleh bapak bangsa terdahulu, dan rentetan permasalahn lain. Berangkat dari itu, agaknya tidak apa kita belajar dari buku otobiografi, Muhammad Hatta: Untuk Negeriku, diterbitkan Kompas, 2014, ini. Buku ini merupakan terbitan keempat, dan dibagi menjadi III jilid. Dalam jilid I ini, kita bisa melihat bagaimana Bung Hatta menyusun corak kebangsaan dan kerakyatan, bagaimana semangat anti penjajah, perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia, serta kondisi sosial apa yang membentuk ia mempunyai pemikiran dan pendirian kuat terhadap apa yang diyakininya, dan pelajaran-pelajaran yang lain.[]

Desip Trinanda
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakrta dan aktif berdiskusi di Surau Tuo Institute Yogyakarta.