Oleh: al-Haqir al-Faqir ila Rahmatillah Zulkifli
Akal bukan untuk merasa, hati bukan untuk berpikir, keduanya menjadi bagian penting kehidupan manusia, yang mesti dipadukan. Pemaduan dua unsur ini sangat akrab di dalam pepatah Minangkabau “raso dibaok naik, pareso dibaok turun” (rasa dibawa naik, periksa dibawa turun). Siklus ini senantiasa berkelanjutan dalam proses kehidupan manusia. Rasa dingin yang dirasakan diri mengalir ke dalam akal. Akal berpikir tentang bagaimana mengantisipasi agar rasa dingin itu tidak lagi dirasakan. Ketika itu, akal memikirkan bahwa alternatif –secara zahir– adalah menyelimuti tubuh dengan balutan beberapa helai kain, sehingga tubuh tidak lagi merasakan rasa dingin itu. Begitu juga sebaliknya, ketika akal memutuskan bahwa ada kain pembalut yang dipakai mampu menghalangi rasa dingin, kembali lagi ke dalam rasa yang merasakan tentang apakah berpakaian seperti ini layak atau tidak layak untuk dipakai. Akhirnya, akalpun kembali memikirkan standarisasi kepatutan di dalam memakai pakaian. Beginilah seterusnya –tanpa henti– manusia untuk belajar, belajar, dan belajar, sampai tapal batas kehidupan.
Alur di atas, senantiasa mengitari kehidupan para pendiri Tarbiyah Islamiyah. Mereka senantiasa berikhtiar –yang dibangun di atas ketawakkalannya kepada Sang Maha Segalanya– untuk memformulasikan substansi penyelenggaraan pendidikan. Hasil ikhtiar itu melahirkan pilihan bahwa lembaga pendidikannya disebut dengan Tarbiyah Islamiyah, bukan Mu’allimin ataupun sejenis, sekalipun di saat itu sudah bertebaran penggunaannya. Sebab, persandingan pemikiran kaum tuo dan kaum mudo direfleksikan melalui lembaga pendidikan. Atas dasar itu, pilihan diksi untuk sebuah nama lembaga pendidikan (madrasah) serta nama organisasi (al-ittihad atau persatuan) dengan Tarbiyah Islamiyah mesti diselidiki dan dipahami lebih mendalam.
Menelisik diksi-diksi di atas, pakar pendidikan Islam berbeda pendapat terkait dengan diksi yang tepat untuk mengungkapkan arti pendidikan Islam. Apakah pendidikan Islam itu makna dari Tabiyah atau Ta’lim? Atau apakah cakupan makna kata Tarbiyah lebih luas daripada Ta’lim? Atau apakah diksi Tarbiyah untuk makna pendidikan secara luas, sementara itu diksi Ta’lim untuk makna aktivitas pembelajaran? Terlepas dari perbedaan itu, sesuatu yang pasti bahwa para pendiri telah memastikan bahwa lembaga pendidikannya dinamai dengan Tarbiyah Islamiyah. Atas dasar itu, apapun dan bagaimanapun kondisinya mesti diartikulasikan secara rasional dan terukur di dalam dunia akademik.
Terlepas dari menguraikan perbedaan pakar pendidikan Islam, sesuatu yang pasti bahwa diksi Tarbiyah merupakan proses penumbuh-kembangan sekaligus perawatan terhadap sesuatu yang dimiliki. Ilustrasi sederhana dari hal itu terdapat di dalam teks do’a yang senantiasa dilontarkan pada saat selesai salat, yaitu “… warham huma kamaa rabbayanaa shagira” (kasihanilah keduanya [ayah ibu kami] sebagaimana keduanya menyayangi kami sewaktu kecil). Dalam konteks ini, diksi Tarbiyah itu acapkali muncul di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan betapa besarnya kasih sayang Allah Swt. terhadap makhluk-Nya, seperti ayat kedua Q.S. al-Fatihah: alhamdulillahi rabb al-‘alamiin (segala pujian milik Allah, Tuhan [penumbuh-kembangan, memelihara, dan menjaga] alam semesta). Atas dasar itu, pilihan diksi Tarbiyah oleh para pendiri mengandung isyarat agar penyelenggara pendidikan mesti membimbing, mengarahkan, menjaga, dan merawat para murid yang belajar.
Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan diksi Ta’lim, yang berasal dari kata ‘allama. Diksi ini dijumpai di dalam Q.S. al-Baqarah tentang peristiwa Nabi Adam a.s. diinformasikan oleh Allah Swt. tentang nama-nama segala sesuatu. Di sisi selanjutnya, Allah memerintahkan kepada Nabi Adam a.s. agar menginformasikan lagi kepada para malaikat. Dalam konteks ini, Nabi Adam a.s. yang memperoleh ilmu pengetahuan digambarkan dengan diksi ‘allama bukan dengan diksi rabbaa. Oleh sebab itu, antara Ta’lim dengan Tarbiyah pasti dua diksi yang memiliki visi yang berbeda pada saat diambil menjadi diksi lembaga pendidikan. Atas dasar itu, pendapat yang menempatkan bahwa diksi Tarbiyah lebih luas cakupan maknanya daripada diksi Ta’lim, lebih mendekati kepada makna etimologi dari masing-masing diksi.
Bava Juga: PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)
Diksi Tarbiyah disifati dengan diksi Islamiyah. Hal ini menggambarkan bahwa al-maddah (materi) yang akan dibimbingkan kepada para murid berawal dari materi rukun Islam kemudian dilanjutkan dengan kajian-kajian keislaman, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, pengkajian terhadap Islam itu sendiri dimulai dengan kajian syahadatain, salat, puasa, zakat, dan diakhiri dengan pembahasan tentang haji. Sebab, keberadaan lima rukun Islam ini menjadi syarat sah setiap amalan yang dilakukan oleh umat. Kendati demikian, dua rukun yang pertama menjadi dua bagian yang dikenal dengan Awwal al-Din Ma’rifatullah (pondasi agama itu adalah mengenal Allah) dan al-Shalat ‘Imad al-Din (shalat adalah tiang agama). Atas dasar itu, dua rukun pertama dari lima rukun yang ada, tidak memiliki rukshah meninggalkannya, sekalipun hanya ditandai dengan kedipan mata. Sementara itu, tiga rukun Islam berikutnya berpotensi ada ruang rukhsah meninggalkannya, seperti penggantian kewajiban berpuasa dengan cara membayar fidyah bagi orang tua renta yang tidak berpotensi mampu lagi untuk berpuasa. Begitu juga dengan bahasan zakat dan haji.
Beranjak dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan Tarbiyah Islamiyah, baik lembaga pendidikan (madrasah) maupun organisasi (persatuan) mengemban amanah untuk menumbuh-kembangkan, membimbing, menjaga, dan merawat para murid ataupun masyarakat dengan nilai-nilai dasar agama (Tauhid yang berimplikasi Tasawuf) dengan memberikan pakaian yang sesuai dan patut dipakai oleh para murid ataupun masyarakat (Fikih). Dalam hal ini, para pendiri Tarbiyah Islamiyah sepakat bahwa “jalan” yang ditempuh dalam kajian Tauhid adalah hasil pemikiran Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidiy. Sementara itu, kajian Tasawuf yang diikuti para pendiri Tarbiyah adalah percikan kesufian Imam al-Ghazali sebagai perefleksian kematangan dan kekokohan akidah (tauhid). Begitu juga dengan kajian Fikih bahwa mazhab yang diikuti adalah pendapat Syafi’iyah (pendapat para ulama yang memformulasikan turunan hukum lebih lanjut terhadap pemikiran-pemikiran hukum yang ditetapkan Imam al-Syafi’i). Atas dasar itu, filosofi tali tigo sapilin di dalam bangunan penyelenggaraan pendidikan (Madrasah Tarbiyah Islamiyah) dan organisasi Tarbiyah Islamiyah terefleksi di dalam bingkai: Tauhid sebagai Ruhnya; Tasawuf sebagai Tubuhnya; dan Fikih Syafi’iyah sebagai Pakaiannya.
Prinsip tali tigo sapilin di atas pada hakikatnya mampu mengantarkan nama harum lembaga pendidikan sekaligus organisasi Tarbiyah Islamiyah di zaman awal. Sosok Syekh Sulaiman Arrasuli –sekalipun cenderung disebut Fakih– karya tulisnya lebih didominasi oleh kajian Tauhid dan Tasawuf, jika dibandingkan dengan kajian Fikih, ataupun lainnya. Begitu juga dengan Syekh Abdul Wahid al-Shalihiy yang telah melahirkan karya tulis tentang kajian Tauhid, serta sosok Syekh Muhammad Jamil Jaho yang melahirkan karya tulis tentang kajian Tasawuf. Kondisi ini paling tidak memberikan isyarat bahwa lembaga pendidikan MTI dan organisasi Tarbiyah menjadi fasilitas sekaligus membentengi masyarakat dengan pondasi yang kokoh. Kendati demikian, persoalan hari ini di lembaga pendidikan ataupun organisasi Tarbiyah lebih didominasi oleh pembahasan ataupun perdebatan di ranah Fikih. Sementara itu, kajian Tauhid yang berimplikasi ke dalam ranah pembentukan nilai ketashaufan mulai terabaikan. Jika hipotesa ini benar, maka keberadaan warga Tarbiyyin bagaikan “orang-orang di tengah sawah ladang” (pakaian yang tubuh dan raganya hampa).
Pakaian yang tidak memiliki tubuh dan raga dapat dipastikan kondisinya mudah terombang-ambing ditiup angin. Kondisi ini menggambarkan tentang warga tarbiyyin yang senantiasa beribadah ataupun melaksanakan aturan-aturan Fikih tanpa memiliki tujuan hakiki serta tanpa keyakinan terhadap Zat Yang Maha Mengatur. Di sisi lain, warga ini juga tidak mampu menemukan rasa kehinaanya di hadapan Zat Yang Maha Mulia sekaligus tidak menemukan rasa kebesaran Zat Yang Maha Besar (inilah makna hakiki dari ibadah). Dalam konteks ini, sesuatu hal yang sangat wajar jika pakaian itu akan dipakai oleh tubuh dan raga yang berbeda nilai dengan prinsip ajaran yang dibangun oleh para pendiri Tarbiyah Islamiyah, sehingga wajar sekiranya ada warga Tarbiyah yang bertubuh dan beraga Wahabiy, ataupun lainnya. Sebab, warga itu hanya memiliki pakaian, sementara tubuh dan raganya tidak memperoleh bimbingan, penjagaan, dan perawatan dari para Murabbiynya. Atas dasar itu, pakaian di atas akan dimakan hancur-lapuk disebabkan senantiasa berhujan dan berpanas.
Di sisi lain, tubuh yang berpakaian tanpa raga selalu disebut sebagai mayat. Kondisi ini menggambarkan tentang warga Tarbiyyin yang tidak memiliki keberdayaan untuk berbuat dalam rangka pencapaian visinya sebagai khalifatullah fi al-ardh. Mereka lebih memilih menghindari tugas-tugasnya di dalam kehidupan dunia semata-mata untuk memenuhi kebutuhan syahwat khaffiyah pada saat mereka masih memiliki ruang berbuat demi keluarga dan umat. Sebab, sosok mayat hanya memiliki harapan agar bisa dimandikan, dikafani, disalatkan, dikuburkan, dan memperoleh pahala amalannya tanpa dapat berbuat apapun lagi. Atas dasar itu, para pendiri Tarbiyah Islamiyah sangat tidak menyukai warganya yang berpangku tangan untuk tidak mengkaji dan menyelami dunia raganya melalui kajian Tauhid-Bertasawuf. Bahkan, kondisi ini sangat tercela atau haram di dalam ranah Fikih atau Syari’at.
Bahkan uraian di atas juga mencakup ke dalam ranah “tubuh yang memiliki raga serta berpakaian, belum tentu dianggap mampu untuk berbuat”. Hal ini juga bergantung kepada tingkat kemurnian raga (baca: ikhlas dalam beramal). Tubuh yang berpakaian tanpa raga yang ikhlas, maka sama dengan kondisi tubuh yang berpakaian tanpa ada raga. Sebab, kemurnian raga menjadi alasan penting untuk menyatakan sosok warga tarbiyyin sebagai manusia yang hidup dan layak untuk menumbuhkembangkan, menjaga, merawat, memelihara, dan khalifatullah fi al-ardh. Dengan demikian, keberadaan raga menjadi pokok dasar bagi tubuh yang mampu berpakaian.
Di ranah yang berbeda, raga yang bertubuh tetapi tidak berpakaian memiliki dua kemungkinan. Pertama, sosok raga yang bertubuh itu menempatkan pakaian (baca: Fikih) sebagai sesuatu yang tidak penting ataupun lebih daripada itu sebagai sesuatu yang tidak wajib, maka kondisi ini menunjukkan sikap zindiq yang sedang menyelimuti dirinya. Bahkan di dalam kajian Fikih lebih dari sekedar zindiq, yaitu sosok raga yang bertubuh seperti ini mesti dihukum pancung. Kedua, sosok raga yang bertubuh itu, pakaiannya telah melebur di dalam raga dan tubuh. Bahkan, dia menempatkan pakaian (Fikih) sebagai sesuatu yang wajib dan penting, tetapi pada saat-saat tertentu yang terlihat hanya raga yang tidak terlihat lagi pakaian dan tubuhnya secara lahiriah. Dalam konteks yang kedua ini, menjadi implikasi nyata dari makna kata al-ittihad atau kesatuan diri dengan Sang Maha Pemilik Raga, Tubuh, dan Pakaian. Oleh sebab itu, konsekuensi logis dari Madrasah Tarbiyah Islamiyah adalah lembaga pendidikan yang senantiasa menumbuh-kembangkan, merawat, dan menjaga para murid untuk mampu memiliki kesatuan raga, tubuh, dan pakaian sekaligus. Limbak dari pada itu, kesatuan raga, tubuh, dan pakaian menjadi instrumen utama untuk mempertemu-suakan setiap individu yang tergabung di dalam organisasi Tarbiyah Islamiyah.
Beranjak dari ilustrasi di atas, semakin nyata bahwa prinsip tigo tali sapilin di dalam bangunan lembaga pendidikan ataupun secara organisasi Tarbiyah Islamiyah merupakan suatu keniscayaan. Keniscayaan itu akan berimplikasi ke dalam dua bentuk jawaban dari pertanyaan “pentingkah merumuskan dan mempelajari pelajaran tertentu yang disebut dengan ‘ketarbiyahan’, sebagaimana organisasi Muhammadiyah merumuskan ‘kemuhammadiyahan’ di lembaga pendidikan mereka”?
Pertama, pelajaran ketarbiyahan itu penting dirumuskan dan diajarkan bagi para pemula yang berlatar belakang pendidikan non-MTI. Hal ini sudah dicontohkan oleh para guru besar kalangan tarbiyyin yang senantiasa mengkaji dan membahas kajian Tauhid melalui kitab Syarh al-Hikam setiap hari Sabtu di kantor Tarbiyah-PERTI. Bahkan hal ini mesti diapresiasi dan dilestarikan sebagai Ruh Perjuangan Penerus Founding Father Tarbiyah Islamiyah. Mereka menyatukan diri dalam rangka membimbing, merawat, menjaga, dan melestarikan nilai-nilai ketarbiyahannya.
Kedua, pelajaran ketarbiyahan –jika dipahami secara substansial– itu tidak penting untuk dirumuskan dan diajarkan di lembaga pendidikan Tarbiyah Islamiyah. Tidak pentingnya terdapat pada rumusan kurikulum lembaga yang menempatkan kajian Tauhid, Tashauf, dan Fikih sebagai kelompok pelajaran Dasar-Wajib. Sekiranya dirumuskan dan diajarkan, berpotensi terjadinya overlapping serta menghabiskan waktu. Padahal ketersedian waktu pelajaran di lembaga pendidikan Tarbiyah Islamiyah hari sangat sedikit. Kendati demikian, jika pelajaran ketarbiyahan dipahami secara historis, maka sangat penting untuk dirumuskan dan dipelajari di lembaga pendidikan Tarbiyah Islamiyah. Sebab, catatan-catatan sejarah yang ada dapat membangun dan memotivasi generasi pewaris khazanah intelektual generasi masa lalu. Atas dasar itu, sebuah catatan penting adalah sampai kapan kita harus melihat orang lain, sementara sebuah mutiara yang sangat berharga milik kita harus dilepaskan. Ibarat kata pepatah macaliak gonjong musajik urang, lupo jo musajik kito.
Menyederhanakan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Setiap lembaga pendidikan Tarbiyah Islamiyah mesti memiliki sosok Murabbiy atau sederhananya Mursyid yang memiliki sanad Thariqah Mu’tabarah sebagai benteng yang akan mengawal pengkajian Tauhid, Tasawuf, dan Fikih Syafi’iyah di lembaga tersebut. Sebab, kekuatan utama atau kharismatiknya para pendiri MTI dulunya terdapat di dalam ketajaman ma’rifatullahnya bukan disebabkan oleh kekuatan ekonomi ataupun lainnya.
2. Ketika lembaga pendidikan MTI hanya ditinggali atau dikelola oleh Mu’allim atau sederhananya seorang guru –apalagi tidak bersanad– maka di saat itu lembaga MTI akan dihinggapi oleh raga-raga dan tubuh-tubuh serta pakaian yang tidak bertuan. Ketika tidak memiliki tuan, maka tuannya adalah Iblis ataupun Syaitan –na’uzubillah min dzalik–.
3. Setiap lembaga pendidikan Tarbiyah Islamiyah mesti menempatkan kajian Tauhid, Tasawuf, dan Fikih Syafi’iyah sebagai kajian utama dan paling utama di atas segala-galanya. Sebab, kajian ini adalah modal dasar dan utama untuk mencari kunci kehidupan akhirat (iman) yang dilepaskan pada saat tanggisan pertama kali ke atas dunia ini. Tanpa kunci itu, secara syariatnya tidak mungkin raga itu akan kembali kepada Sang Maha Pemilik Raga.
4. Sesuatu keniscayaan bagi warga tarbiyyin yang memiliki pemahaman akidah bahwa Allah Swt. Pasti Wujud. Instrumen penting dan utama untuk mengantarkan ketashdiqan (kebenaran wushul terhadap Wujud Allah) adalah zikir (ingat atau menyebut) setiap tarikan dan melepaskan nafas. Dalam hal ini, secara teknis zikir itu mesti di bawah bimbingan Mursyid. Di sisi lain, Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) menulis bahwa salah satu pembeda antara orang Tarbiyah dengan Wahabiy adalah setiap selesai mengerjakan salat fardhu mesti membaca tahlil (la ilaaha illallah) sebagai zikirnya.
5. Terakhir mungkin hanya sebatas introspeksi diri sendiri, lembaga pendidikan, ataupun organisasi Tarbiyah Islamiyah, yaitu: berapa lembaga pendidikan Tarbiyah Islamiyahkah yang masih menjaga, merawat, dan mengawal Mursyid yang bersanad di lembaga MTI? berapa lagikah warga tarbiyyin yang masih melaksanakan zikir dan tahlil setiap kali selesai melaksanakan shalat fardhu (5 kali dalam sehari-semalam)? Atau tersisa berapa masjidkah yang berani melaksanakan zikir dan tahlil secara bersama-sama dengan jama’ahnya? Sekiranya ini masih terawat dan terjaga, kita semua patut bersyukur sekaligus mendo’akan semoga lembaga MTI tersebut tetap berkomitmen dalam rangka mengembangkan MTI secara keilmuan. Namun sebaliknya, sekiranya tidak ada, cepatlah kembali ke dalam warisan intelektual leluhur kita warga tarbiyyin, agar nur atau cahaya Allah senantiasa berada di dalam diri kita.
6. Ataukah di lembaga MTI yang tersisa hari hanya sekadar Mu’allim yang setiap hari datang ke lembaga pendidikan hanya sebatas memberitahukan dan menginformasikan pengetahuan yang pernah diperolehnya?
Wallahu’alam al-Shawab!!!
Leave a Review