scentivaid mycapturer thelightindonesia

Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum Islam Bagian 1

Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum Islam
Ilustrasi/Dok.http://abbashadjian.com/

Hukum keluarga Islam dimaksudkan kelak sebagai solutif atas perosoalan-persoalan keluarga yang terjadi belakangan ini

Hukum keluarga Islam sebagai tawaran untuk menyelesaikan beberapa permasalahan, sebab hukum keluarga dianggap sebagai inti syariah. Pada hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum di sini bersifat solutif, artinya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga berakibat kepada anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam.

Secara historis, berbagai regulasi hukum keluarga di Indonesia dijabarkan secara personal oleh para ulama atas dasar pembacaan dan pembelajaran mereka dari guru-guru mereka. Pada sisi inilah maka progresivitas hukum menjadi terhambat karena penjelasan dari para ulama dianggap sakral dan tidak boleh dipertentangkan apalagi dievaluasi dan direvisi. Tidak bisa dipungkiri bahwa era stagnasi (jumud) ilmu pernah terjadi pada masa lalu akibat sakralisasi masyarakat terhadap ulama, baik pribadinya maupun pemikirannya.

Di Indonesia, upaya konkret pembaruan hukum keluarga Islam dimulai sekitar tahun 1960-an yang kemudian berujung lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum hukum perkawinan diatur, urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, antara lain hukum adat, hukum Islam tradisional, ordonasi perkawinan Kristen, hukum perkawinan campuran dan sebagainya sesuai dengan agama dan adat istiadat masing-masing penduduk. Upaya pembaruan hukum keluarga berikutnya terjadi pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali. Upaya ini ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang diperuntukkan untuk umat Islam.

Saat ini umat Islam di Indonesia merasa nyaman dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam dan berimplikasi pada sakralitas baru sehingga KHI seolah-olah tidak lagi dapat dievaluasi apalagi direvisi. Padahal, sejarah banyak mencatat dan menggambarkan tentang evolusi hukum termasuk dalam hal hukum keluarga. Oleh karena itu, melalui pendekatan historis, makalah ini akan menggambarkan secara holistik sejarah evolusi hukum keluarga Islam di Indonesia seputar konsep, metode dan model pembaharuannya serta aspek pembaharuan yang dilakukan.

Periodesasi Pembentukan Hukum Keluarga di Indonesia

Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum di dunia ini banyak yang hilang dari peredaran, kecuali hukum keluarga. Dewasa ini hukum Islam bidang keluarga di Indonesia yang mempunyai daya tahan dari hempasan arus westernisasi yang dilaksanakan melalui sekularisme di segala bidang kehidupan, telah diperbaharui, dikembangkan selaras dengan perkembangan zaman, tempat, dan dikodifikasikan,  baik secara parsial, maupun total, yang telah dimulai secara sadar sejak awal abad XX setahap demi setahap.[1] Perkembangan hukum Islam bidang keluarga di Indonesia cukup terbuka disebabkan antara lain oleh Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan ungkapan lain bahwa konstitusi sendiri memang mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan hukum keluarga, agar kehidupan keluarga yang menjadi sendi dasar kehidupan masyarakat, utamanya kehidupan wanita, istri, ibu dan anak-anak di dalamnya, dapat terlindungi dengan ada kepastian hukumnya.

Sepanjang sejarahnya, bahwa hukum keluarga di Indonesia telah mengalami pasang surut seirama dengan pasang surut sampai perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia pada zaman penjajahan Barat dahulu. Pada masa Kerajaan Islam di Pulau Jawa (berlangsung sekitar tahun 1613-1882), al-ahwal al-syakhsyiyyah (hukum keluarga), menunjukkan lahirnya realitas baru, yakni diterimanya norma-norma sosial Islam secara damai oleh sebagian besar penduduk Nusantara. Hukum keluarga Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, karena kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakannya dalam kekuasaannya masing-masing.

Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[2] Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.[3] Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga / perkawinan.[4] Hal ini sesuai dengan konteks Indonesia, sebuah negara yang telah melakukan pembaruan dalam hukum keluarga Islam.[5] Secara historis, pembaruan hukum perkawinan Islam di Indonesia dapat dibagi dalam tiga periode yaitu:[6] (1) para penjajahan; (2) masa penjajahan; dan (3) masa kemerdekaan (masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa reformasi). Dalam masing-masing periode ini, hukum keluarga Islam mengalami perubahan dan pembaruan. Secara historis, hukum Islam sudah lama menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia. Di antara hukum Islam yang menjadi hukum positif di Indonesia adalah bidang hukum keluarga. Sejak zaman penjajahan sampai sekarang hukum keluarga yang bersumber dari hukum Islam sudah diikuti dan hidup di tengah-tengah mayoritas rakyat Indonesia.[7]

Baca Juga: Ahli Fikih Mengapa Harus Kekinian

Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Pembaruan pemikiran hukum Islam pada masa kontemporer, umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang digunakan lebih cenderung menekankan wahyu dari sisi konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dengan perubahan sosial tidak hanya disusun dan dipahami melalui interpretasi lateral tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Ada dua konsep dalam pembaruan, yakni; (1) konsep konvensional, dan (2) konsep kontemporer yang muncul dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam kontemporer dalam bentuk kodifikasi.

Penerapan metode konvensional, para ulama terlihat dalam berijtihad dan menerapkan pandangan hukumnya dengan mencatat ayat al-Quran dan Sunah. Para ahli menetapkan, ada beberapa ciri khas atau karakteristik metode penetapan hukum Islam (fikih) yaitu; menggunakan pendekatan parsial (global), kurang memberikan perhatian terhadap sejarah, terlalu menekankan pada kajian teks/harfiah, metodologi fikih seolah-olah terpisah dengan metodologi tafsir, terlalu banyak dipengaruhi budaya-budaya dan tradisi-tradisi setempat, dan dalam beberapa kasus di dalamnya meresap praktek-praktek tahayul, bid’ah dan kufarat, khususnya yang berkaitan dengan ibadah. Masuknya unsur politik di dalamnya atau pengaruh kepentingan penguasa dalam menerapkan teori-teori fikih. 

Sedangkan metode kontemporer pada prinsipnya metode pembaruan yang digunakan dalam melakukan kodifikasi hukum keluarga Islam kontemporer di Indonesia yaitu:

  1. Takhayyur yaitu memilih pandangan salah satu ulama fikih, termasuk ulama di luar madzhab, takhayyur secara substansial disebut tarjih.
  2. Talfiq, yaitu mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama (dua atau lebih) dalam menetapkan hukum satu masalah.
  3. Takhshish al-qadla, yaitu hak negara membatasi kewenangan peradilan baik dari segi orang, wilayah, yuridiksi dan hukum acara yang ditetapkan.
  4. Siyasah syar’iyah yaitu kebijakan penguasa menerapkan peraturan yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari’ah, reinterpretasi nash terhadap nash (al-Qur’an dan sunnah).

Adapun sifat dan metode reformasi yang digunakan di negara-negara muslim modern (termasuk Indonesia) dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

  1. Intra doctrinal reform tetap merujuk pada konsep fikih konvensional dengan cara; tahyir (memilih pandangan salah satu ulama fikih, termasuk ulama diluar madzhab), dapat pula disebut tarjih, dan talfiq, (mengkombinasikan sejumlah pendapat).
  2. Extra doctrinal reform pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fikih konvensional tapi merujuk pada nash al-Quran dan sunah dengan melakukan penafsiran ulang terhadap nash (reinterpretasi).[8]

Konsepsi Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting dalam Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Hal ini berkaitan dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum keluarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam agama Islam. Pada dasarnya sesuatu itu tidak akan terbentuk karena tidak adanya sesuatu hal yang mendasarinya, seperti halnya hukum keluarga Islam tidak akan pernah ada tanpa adanya sesuatu yang melatarbelakanginya. Pembahasan ini penting dilakukan karena tidak semua masyarakat Indonesia beragama Islam sehingga sejarah, peristiwa dan sebab lahirnya hukum keluarga Islam dianggap sangat kontroversial.

Hukum keluarga Islam sangat penting kehadirannya di tengah-tengah masyarakat muslim karena permasalahan tentang keluarga dan lain sebagainya yang tidak bisa disamakan dengan yang beragama non muslim, sehingga masyarakat menginginkan adanya hukum keluarga Islam yang berlaku khusus, apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin berkembang pula sehingga dibutuhkan metode-metode untuk pembaruan hukum. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah jawaban dari keresahan, ketidakpastian dan tuntutan masyarakat muslim untuk menjadi pedoman, dan rujukan dalam mengatasi permasalahan seputar hukum keluarga.

Pada zaman modern, khususnya abad ke 20, bentuk-bentuk literatur hukum Islam telah bertambah menjadi dua macam, selain fatwa, keputusan pengadilan agama, dan kitab fikih. Adapun yang pertama ialah undang-undang yang berlaku di negara-negara muslim khususnya mengenai hukum keluarga. Sedangkan yang kedua adalah kompilasi hukum Islam yang sebenarnya merupakan inovasi Indonesia. Kompilasi bukan kodifikasi, tetapi juga bukan kitab fikih.[9] Sikap para ulama terhadap diundangkannya materi-materi hukum keluarga di negara-negara muslim telah menimbulkan pandangan pro dan kontra. Di antara para ulama ada yang tetap ingin mempertahankan ketentuan-ketentuan hukum lama dengan kalangan pembaharu baik yang menyangkut metodologi maupun substansi hukumnya.[10] Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, umat Islam Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memadai untuk mengatur masalah-masalah keluarga (perkawinan, perceraian dan warisan serta masalah wakaf).

Sementara itu ada sebagian ulama tradisional Indonesia masih ada yang belum sepenuh hati dalam memahami atau menyetujui berbagai aturan dalam kedua undang-undang tersebut karena dianggap tidak selamanya sesuai dengan apa yang termuat dalam kitab-kitab fikih. Akan tetapi sebagian ulama lain justru merasa bangga dengan lahirnya kedua undang-undang itu karena dianggap sebagai kemajuan besar dalam perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Apalagi dengan disepakatinya hasil Kompilasi Hukum Islam oleh para ulama Indonesia pada tahun 1988 yang kemudian diikuti oleh Instruksi Presiden Nomor 1 tanggal 10 Juni 1991 untuk menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan isi kompilasi tersebut, hal ini telah menandai lembaran baru dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia khususnya dalam bidang hukum keluarga.[11]

Hukum Keluarga Islam di Indonesia antara Syariah dan Hukum Sekuler

Jumlah umat Islam di dunia mencapai hampir seperempat jumlah manusia seluruhnya.[12] Mereka tinggal menyebar di beberapa negara, baik sebagai kelompok mayoritas maupun minoritas. Sebagai mayoritas, umat Islam berada di 44 negara seperti di negara-negara Timur Tengah dan beberapa negara di Asia. Empat negara yang penduduknya paling banyak beragama Islam adalah Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan India.[13] Indonesia merupakan negara yang jumlah mayoritas penduduknya beragama Islam, namun konstitusi negaranya tidak menyatakan diri sebagai negara Islam melainkan sebagai negara yang mengakui otoritas agama dalam membangun karakter bangsa. Indonesia mengakomodir hukum-hukum agama sebagai sumber legislasi nasional, selain hukum adat dan hukum barat. Kondisi demikian menyebabkan hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum di dunia ini seperti lenyap di permukaan kecuali hukum keluarga.

Dalam pembaharuan hukum keluarga Islam, Indonesia cenderung menempuh jalan kompromi antara syari’ah dan hukum sekuler. Hukum keluarga di Indonesia dalam upaya perumusannya selain mengacu pada kitab-kitab fikih klasik, fikih modern, himpunan fatwa, keputusan pengadilan agama (yurisprudensi), juga ditempuh wawancara kepada seluruh ulama Indonesia. Pengambilan terhadap hukum barat sekuler memang tidak secara langsung dapat dibuktikan, tetapi karena di Indonesia berjalan cukup lama hukum perdata (Burgelijk Wetbook) yang diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum acara perdata (Reglemen Indonesia yang diperbarui) warisan Belanda, dan hukum-hukum lain, berdasarkan asas konkordansi, adanya pengaruh hukum Barat yang tidak bisa dinaifkan begitu saja. Seperti halnya bidang pencatatan dalam perkawinan, kewarisan, perwakafan, wasiat dan sebagainya. Upaya akomodasi ataupun rekonsiliasi hukum keluarga Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman demi menciptakan ketertiban masyarakat menjadi salah satu bukti dari keunikan tersebut.[14]

Pembangunan yang hanya menekankan hukum normatif semata memang bisa dianggap tidak cukup untuk mengatasi kompleksitas permasalahan keluarga di abad modern. Dalam hal ini diperlukan pendekatan atau aspek lain yang dapat dipadukan dengan hukum keluarga Islam sehingga menimbulkan kesatuan yang untuk yang lebih komprehensif mencapai tujuan dibentuknya hukum keluarga. Sejalan dengan tulisan Khoiruddin Nasution “Arah Pembangunan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Pendekatan Integratif dan Interkonektif dalam Membangun Keluarga Sakinah”, merupakan salah satu rujukan penting dalam menemukan konsep arah membangun keluarga untuk masa mendatang.[15] Diperlukan adanya berbagai pendekatan dan aspek yang melingkupi hukum keluarga yang selama ini masih belum banyak dikaji. Satu wujud dari kajian pembangunan hukum keluarga dari perspektif hukum keluarga antara syariah dan berbau sekuler dikaitkan dengan hukum keluarga di Indonesia, dalam rekonstruksi pembangunan hukum keluarga Islam.

Dalam hal ini, hukum keluarga dapat dikatakan sebagai kebijakan publik dalam program-program sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan dapat mengantisipasi kegagalan program administrasi. Selain itu kebijakan yang dibentuk hendaknya memiliki dampak yang bagus dalam kehidupan keluarga di masa mendatang.[16] Dengan demikian, sangat penting adanya sebuah konstruksi hukum keluarga di Indonesia dengan berbagai pendekatan, salah satunya adalah pendekatan hukum modern (barat).

Pembangunan hukum keluarga dengan pendekatan interdisipliner merupakan bentuk pengembangan kebutuhan kompetensi hukum keluarga yang lebih komprehensif. Selain itu, dapat menambah khazanah keilmuan untuk memperluas jangkauan hukum keluarga yang selama ini lebih dekat dengan aspek normatif semata (fikih). Selanjutnya, pendekatan interdisipliner dalam hukum keluarga diharapkan dapat membantu menangani berbagai kasus keluarga yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan yang lain, sehingga dapat memberikan arahan dan rekonstruksi hukum keluarga baik yang formil maupun materiil. Selanjutnya, konstruksi hukum keluarga di Indonesia akan bisa bersifat adaptif dalam perubahan keluarga dengan berbagai aspek dan segala konsekuensinya.

Baca Juga: Hukum Islam Itu Bukan Living Law Tanggapan untuk Yusril Ihza Mahendra

Kilas Balik Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Secara historis, hukum keluarga Islam mencuat kepermukaan bermula dari diakuinya peradilan agama secara resmi sebagai salah satu pelaksana “judicial power” dalam negara hukum melalui Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Lebih lanjut, kedudukan, kewenangan atau yurisdiksi dan organisatorisnya telah diatur dan dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang mempunyai kewenangan mengadili perkara tertentu: (1) perkawinan, (2) waris, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infak, (7) sedekah,  (8) zakat dan (9) ekonomi syariah, bagi penduduk yang beragama Islam.

Kenyataan eksistensi pengadilan agama belum disertai dengan perangkat atau sarana hukum positif yang menyeluruh, serta berlaku secara unifikasi sebagai rujukan. Meskipun hukum materiil yang menjadi yurisdiksi pengadilan agama sudah dikodifikasi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo aturan pelaksanaannya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, namun pada dasarnya hal-hal yang diatur di dalamnya baru merupakan pokok-pokok saja. Akibatnya, para hakim yang seharusnya mengacu pada undang-undang, kemudian kembali merujuk kepada doktrin-doktrin yang tertuang dalam kitab fikih klasik. Sehingga tidak heran terdapat perbedaan putusan hukum antar pengadilan agama tentang persoalan yang sama adalah suatu hal yang dapat dimaklumi, sebagaimana ungkapan different judge different sentence.[17] Dari realitas di atas, Pemerintah kemudian berinisiatif melengkapi pengadilan agama dengan prasarana hukum yang unifikatif lewat jalan pintas berupa Kompilasi Hukum Islam.

Meskipun dari catatan sejarah di Indonesia, isu pembaharuan hukum keluarga Islam telah muncul sejak lama adanya, bahkan sebelum kemerdekaan diraih. Ketika momentum Konggres Perempuan 1928, isu ini muncul karena banyaknya kasus yang menimpa kaum perempuan selama dalam kehidupan perkawinan. Seperti, terjadinya perkawinan di bawah umur, kawin paksa, poligami, talak yang sewenang-wenang dan mengabaikan hak-hak perempuan dan sebagainya. Pada tahun 1937, pemerintah kolonial Belanda pernah menyusun rancangan undang-undang perkawinan modern yang disebut ordonansi pencatatan perkawinan. Langkah ini diambil atas desakan kuat dari organisasi-organisasi perempuan yang ada saat itu. Ordonansi pencatatan perkawinan ini berlaku bagi penduduk pribumi, Arab dan Asia bukan Tionghoa, yang ada di Indonesia. Hebatnya ordonansi ini menetapkan aturan monogami serta memberi hak cerai yang sama pada perempuan dan laki-laki. Meski begitu, ordonansi ini hanya diberlakukan bagi mereka yang memilih aturan pencatatan atas pernikahannya.

Selanjutnya pada tahun 1950, hukum perkawinan yang mengakomodir semua kepentingan lintas agama maupun ras yang ada di Indonesia, belum dimiliki negeri ini. Ordonansi perkawinan yang berasaskan monogami itu ditolak Pemerintah Republik Indonesia. Sebelumnya memang ada perundang-undangan pemerintah Republik Indonesia Tahun 1946, yang menetapkan pendaftaran perkawinan, menyarankan ketidaksetujuan pada perkawinan anak-anak dan perkawinan paksa, menyarankan agar pejabat perkawinan menasihati pasangan nikah tentang hak mereka, serta berusaha mencegah terjadinya talak dengan meneliti masalah dari kedua belah pihak yang berselisih (suami-istri). Tapi sayang, dalam praktek baik perkawinan anak-anak maupun paksa tetap banyak terjadi. Barangkali karena aturan tersebut hanya bersifat anjuran belaka. Akibatnya desakan adanya undang-undang perkawinan yang memberikan jaminan hak yang sama bagi semua warga negara, terus bergulir hingga terbentuknya komisi perkawinan pada tahun 1950. Komisi perkawinan terdiri dari para ahli agama yang tentu saja mayoritas laki-laki, serta para tokoh perempuan dari berbagai kalangan, termasuk kalangan umat Katholik dan juga Islam. Dalam prosesnya, komisi ini berhasil merancang undang-undang perkawinan umum yang bisa digunakan semua warga negara Indonesia. Tetapi di dalam rancangannya perkawinan didasarkan pada rasa suka sama kedua pasangan, dan poligami diizinkan dengan persyaratan yang ketat.

Upaya pembaharuan hukum keluarga itu terus bergulir hingga tahun 1974. Oleh sejumlah tokoh dalam sebuah public hearing dengan Dewan Perwakilan Rakyat saat itu, diajukan tuntutan segera dibentuknya undang-undang yang mengatur tentang perkawinan. Dengan tuntutan tersebut, akhirnya aturan yang dikehendaki itu ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Meski ada tuntutan agar diadakan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kembali marak. Tidak saja di Indonesia, di berbagai negara muslim lain pun dihadapkan pada tuntutan yang sama, mengingat hukum keluarga yang berlaku di negara mereka dirasa masih bias gender dan belum memenuhi hasrat keadilan bersama. Tidak heran, upaya reformasi hukum keluarga akan selalu jadi isu kontroversi di negara-negara muslim modern. Sebagai konsekuensinya upaya pembaharuan hukum keluarga selalu menghadapi perlawanan kuat, khususnya dari kelompok pemilik otoritas agama, sebab mengubah hukum keluarga dianggap mengubah esensi agama itu sendiri. Upaya pembaharuan hukum keluarga bisa-bisa dimaknai sebagai pembangkangan terhadap syariat Islam. Akibatnya, belum semua negara berpenduduk muslim melakukan pembaharuan terhadap hukum keluarganya.

Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Indonesia meski tidak tergolong negara Islam, melainkan mayoritas berpenduduk muslim, adanya suatu upaya pembaharuan hukum keluarga ini tidak terlepas dari munculnya pemikir-pemikir reformis muslim, baik dari tokoh luar negeri maupun dalam negeri. Dari luar negeri bisa disebutkan antara lain Rifa’ah al-Tahtawi (1801-1874), Muhammad Abduh (1849-1905), Qasim Amin (1863-1908), dan Fazlur Rahman (1919-1988). Sedang tokoh dari reformis muslim nasional antara lain ada sejumlah tokoh-tokoh pembaharu yang ada di Indonesia, seperti, Hasbi Ash-Shiddiqi dengan “Fiqh Indonesia”, Hazairin dengan “Fiqh Mazhab nasional”, Munawir Syadzali dengan “Reaktualisasi Ajaran Islam”, Abdurrahman Wahid dengan “Pribumisasi Islam”, Sahal Mahfudz dengan “Fiqh Sosial” dan Masdar F. Mas’udi dengan “Agama Keadilan”. Pembaruan hukum Islam sebagai upaya mencari relevansi hukum Islam dengan perkembangan kekinian bukanlah upaya yang berdiri sendiri, tapi ada faktor yang mendorongnya.

Jika dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum keluarga secara garis besar bertujuan meningkatkan status perempuan dalam segala aspek kehidupan dan hukum keluarga termasuk hukum waris. Meski tujuan ini tidak disebutkan secara eksplisit, materi hukum yang dirumuskan bahwa undang-undang seputar hukum keluarga yang dibuat umumnya merespons sejumlah tuntutan status dan kedudukan perempuan yang lebih adil dan setara. Undang-undang perkawinan khususnya yang dimiliki Mesir dan Indonesia jelas menggulirkan tujuan tersebut. Tujuan lain yang dimiliki negara-negara Muslim dalam memperbaharui hukum keluarga adalah unifikasi hukum. Usaha unifikasi hukum ini dilakukan karena masyarakatnya menganut bermacam-macam mazhab atau bahkan pemahaman agama yang berbeda-beda. Di Tunisia misalnya, upaya unifikasi hukum perkawinan ditujukan untuk semua warga negara tanpa memandang perbedaan agama. Selain tujuan-tujuan tersebut, ada lagi tujuan lain dari upaya pembaharuan hukum keluarga yaitu untuk merespons tuntutan zaman. Di mana tuntutan zaman dan dinamika perkembangan masyarakat tersebut adalah akibat dari pengaruh global yang mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam reformasi hukum keluarga tersebut, umumnya upaya terfokus pada masalah status personal, yang masih diatur oleh hukum Islam yang telah mapan di beberapa negara muslim. Untuk mengurangi keberatan kaum konservatif, pembaharuan ini sering dilakukan secara tak langsung melalui jalur prosedural.

Dengan memperhatikan uraian di atas dapat diketahui bahwa pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta sesuai dengan tuntutan zaman yang telah dilalui. Hal ini disebabkan karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fikih tidak cocok atau sudah tidak mampu lagi memberi solusi atau jawaban terhadap masalah-masalah baru yang terjadi khususnya dalam bidang hukum keluarga. Perlu diketahui secara sederhana, fikih memiliki dua wilayah, ada wilayah prinsip, dan ada wilayah fleksibel. Demikian juga dengan hukum keluarga tentu ada wilayah prinsip, dan ada wilayah fleksibel. Wilayah prinsip serupa dengan hukum alam tidak bisa dan tidak mungkin diubah seperti rukun nikah dan wilayah kedua adalah wilayah fleksibel, atau lebih tepat disebut sebagai wilayah perbedaan, aspek ini yang mentoleransi adanya perbedaan dalam penetapan hukumnya, seperti pembatasan syarat poligami yang diperketat.

Faktor-faktor Penyebab Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia

Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, pembaharuan hukum Islam yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor,[18] termasuk di dalamnya hukum keluarga:

  1. Untuk mengantisipasi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fikihtidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum terkait masalah yang baru terjadi sangat mendesak untuk diterapkan;
  2. Pengaruh globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya;
  3. Pengaruh reformasi berbagai bidang yang memberikan peluang terhadap hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional;
  4. Pengaruh pembaharuan pemikiran hukum Islam yang di laksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional ataupun nasional.

Pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia disebabkan karena adanya perubahan kondisi, situasi tempat dan waktu sebagai akibat dari faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas. Perubahan ini adalah sejalan dengan teori qaul qadim dan qaul jadid yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, bahwa hukum dapat juga berubah karena berubahnya dalil hukum yang diterapkan pada peristiwa tertentu dalam melaksanakan maqâsyid syari’ah. Dengan memperhatikan uraian di atas dapat diketahui bahwa pembaharuan hukum keluarga Islam telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini disebabkan karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fikihsudah tidak mampu lagi memberi solusi terhadap masalah baru yang terjadi. Dalam kaitan ini J.N.D. Anderson mengatakan bahwa hukum keluarga dianggap sebagai inti syariah, karena bagian inilah yang oleh umat Islam dianggap sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam wilayah agama dan masyarakat.[19]

Konflik Hukum Islam, Sipil, dan Adat Bidang Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Di Indonesia, terjadi konflik antara hukum Islam, hukum Sipil (Barat), dan hukum Adat. Konflik antara ketiga sistem hukum ini berawal sejak masuknya penjajahan Belanda di Indonesia, dan terus berlanjut hingga saat ini. Sebenarnya setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia berupaya untuk mengatasi konflik tersebut, namun hingga sekarang belum kunjung selesai. Realita sejarah menunjukkan bahwa konflik antara ketiga sistem hukum itu bukanlah terjadi secara alamiah, melainkan ada unsur kesengajaan, yakni ditimbulkan oleh sistem kolonialisme waktu itu dan rekayasa dari pihak-pihak yang tidak menghendaki perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa lalu dan saat ini. Konflik hukum mengandung arti konflik nilai-nilai sosial dan budaya yang timbul secara wajar. Jika ada pertemuan antara dua atau lebih sistem nilai yang asing bagi suatu masyarakat, biasanya akan selesai dengan sewajarnya, karena setiap masyarakat memiliki daya serap dan daya adaptasi terhadap sistem nilai asing, namun jika konflik sistem nilai itu ditimbulkan dengan sengaja dan kadang-kadang secara artifisial sesuai dengan kebutuhan politik, maka sulitlah menghapuskan konflik itu secara tuntas.

Islam yang masuk ke Indonesia pada abad-abad pertama hijriyah telah membawa sistem nilai baru berupa akidah, syariah dan akhlak. Ketika itu kondisi masyarakat Indonesia telah memiliki secara memadai sistem nilai yang berlaku lama berupa peraturan-peraturan adat di setiap masyarakat yang beragam. Selaras dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai hukum Islam itu diresapi dan diamalkan dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan nilai-nilai adat setempat yang telah sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai aqidah, syari’ah dan akhlak Islam. Pergumulan kedua sistem nilai itu berlaku secara wajar, tanpa adanya konflik antara kedua sistem nilai tersebut. Karena itu, L.W.C. Van den Berg, seorang sarjana Belanda, berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang Indonesia yang beragama Islam berlaku motto receptio in complexu yang berarti orang-orang Islam di Indonesia menerima dan memperlakukan syari’at Islam secara keseluruhan.[20] Pada masa itu (sampai dengan 1 April 1937), pengadilan agama mempunyai kompetensi yang luas, yakni seluruh hukum sipil (perdata) bagi perkara-perkara yang diajukan, diputus menurut hukum Islam.

Khusus hukum keluarga, konflik antara hukum Islam, hukum Adat, dan hukum Sipil di Indonesia dapat dijelaskan dengan bahwa Islam sangat memperhatikan pembinaan pribadi dan keluarga. Akhlak yang baik pada pribadi dan keluarga akan menciptakan masyarakat yang baik dan harmonis, oleh karena itu pula, hukum keluarga menempati posisi penting dalam hukum Islam. Hukum keluarga dirasakan sangat erat kaitannya dengan keimanan seseorang, karena seorang muslim akan selalu berpedoman kepada ketentuan dan peraturan syariat dalam setiap aktivitas pribadi dan dalam hubungan dengan keluarga. Kendatipun dalam ilmu fikih hukum keluarga digolongkan mu’amalah, akan tetapi unsur ibadatnya lebih terasa, karena itu selalu hukum keluarga berkaitan erat dengan agama Islam. Di sinilah konflik-konflik timbul, yaitu manakala ada sistem hukum lain (hukum Sipil dan Adat) yang akan menukarnya, terlebih lagi karena sejarah penjajahan atas negeri–negeri Islam mencatat, kehendak yang berkuasa untuk memberlakukan hukum Sipil itu diwarnai oleh politik kekuasaan.

Hukum Sipil pun, terutama bidang hukum keluarga, erat sekali kaitannya dengan moral dan kesusilaan masyarakat Barat tempat hukum Sipil bermula dan berkembang, moral dan kesusilaan mana tentunya berakar pada agama Kristen. Sementara itu hukum Adat juga erat pertaliannya dengan moral dan susila masyarakat tertentu, yang niscaya berakar pada agama dan kepercayaan terutama pada zaman bahari yang berkembang pada masing-masing masyarakat adat.[21]

Baca Juga: Berkurban untuk Orang Meninggal Dunia

Al-Ahwal al-Syakhsiyah sebagai Komponen Fikih

Dalam dunia Ilmu Fikih dikenal adanya bidang al-Ahwal al-Syakhsiyah atau hukum keluarga, yaitu fikih yang mengatur hubungan antara suami-istri, anak, dan keluarganya. Pokok kajiannya meliputi; 1). munakahat, 2). mawaris, 3) wasiat, dan 4). wakaf. Mengenai wakaf, memang ada kemungkinan masuk ke dalam bidang ibadah apabila dilihat dari maksud orang mewakafkan hartanya (untuk kemaslahatan umum), namun dapat dikategorikan dalam bidang al-ahwal al-syakhsiyah apabila wakaf itu waqf dzurri, yakni wakaf untuk keluarga. Munakahat atau pernikahan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang pria dan seorang wanita serta menetapkan hak-hak dan kewajiban di antara keduanya.[22] Pembahasan fikih munakahat menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 74 tentang Perkawinan, perkara yang ada dalam bidang perkawinan sejumlah 22 macam. Di antaranya mencakup topik-topik tentang peminangan, akad-nikah, wali nikah, saksi nikah, mahar, mahram, rada’ah, hadanah, hal-hal yang berkaitan dengan putusnya perkawinan, ’iddah, ruju’, ila’, dzihar, li’an, nafkah, dan lain-lain.

Mawaris atau kewarisan mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa saja yang berhak terhadap harta warisan, bagaimana cara pembagiannya untuk masing-masing ahli waris. Fikh mawaris disebut juga fara’id, karena mengatur tentang bagian-bagian tertentu yang menjadi hak para ahli waris. Pembahasan fikih mawaris mencakup masalah tajhiz (perawatan jenazah), pembayaran hutang dan wasiat, kemudian tentang pembagian harta warisannya. Di samping itu dibahas pula mengenai penghalang untuk mendapatkan warisan, juga dibicarakan tentang zawil arham, hak anak dalam kandungan, hak ahli waris yang hilang, hak anak hasil perzinaan, serta masalah-masalah khusus.

Wasiat adalah pesan seseorang terhadap sebagian hartanya yang diberikan kepada orang lain atau lembaga tertentu yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah ia meninggal dunia. Pembahasannya meliputi orang yang berwasiat dan syaratnya, orang yang diberi wasiat dan syaratnya, hukum bagi penerima wasiat yang membunuh pemberinya, tentang harta yang diwasiatkan dan syaratnya, hubungan antara wasiat dengan warisan, tentang lafaz dan tata cara berwasiat, tentang penarikan wasiat, dan lain-lain.

Wakaf adalah penyisihan sebagian harta benda yang bersifat kekal zatnya dan mungkin diambil manfaatnya untuk maksud/tujuan kebaikan. Di dalam kitab-kitab fikih dikenal adanya istilah wakaf dzurri (keluarga) dan wakaf khairi (untuk kepentingan umum). Pembahasan mengenai wakaf meliputi syarat-syarat bagi orang yang mewakafkan, syarat- syarat bagi barang yang diwakafkan, syarat-syarat bagi orang yang menerima wakaf, shighat/ucapan dalam pewakafan, mengenai macam dan siapa yang mengatur barang wakaf beserta hak dan kewajibannya, tentang penggunaan barang wakaf, dan lain sebagainya.[23]


[1] M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1997, hlm. 92.

[2] Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 53. 

[3] Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 53. 

[4] Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 70. 

[5] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2005, hlm. 162-164.

[6] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009, hlm. 15-90.

[7] Ahmad Zaenal Fanani, Pmbaharuan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di Indonesia (Prspektf Keadilan Jender), Yogyakarta: UII Press, 2015, hlm. 1.

[8] Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta: Tazzafa dan Accamedia, 2007, hlm 47.

[9] M. Mudzhar, Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam, Jurnal Studi Islam, 1, 1999, hlm. 172.

[10] John Donohue, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalahmasalah. Jakarta: Rajawali Press, 1995, hlm. 365.

[11] M. Mudzhar, Dampak.., hlm. 173.

[12] L. Carl Brown, Religion and State: The Muslim Approach to Politics, New York: Colombia University Press, 2000.

[13] Salah Sultan, Metodological Regulation for the fiqh of Muslim Minorities, dalam www. Salahsoltan. Com/main/index. Php?id.

[14] Abdullah Saeed, Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Baitul Hikmah, 2014, hlm. 103. 

[15] Khoiruddin Nasution, Arah Pembangunan Hukum Keluarga: Pendekatan Integratif dan Interkonektif dalam Pembangunan Keluarga Sakinah, dalam As-Syir’ah: Jurnall Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 46 No. I, Januari-Juni 2012, hlm. 84.

[16] David H. Olson dan Brent C. Miller (ed.), Family Studies: Review Yearbook; A General Framework for Family Impact Analysis, London/ Beverly Hills/ New Delhi: Sage Publiction, 1983, hlm. 31-32.

[17] Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 17.

[18] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 154.

[19] J.N.D. Anderson, Islamic law in Moderen World, alih bahasa oleh Machnun Husain, dengan judul: Hukum Islam di Dunia Moderen, Cet.I; Surabaya: Amar Press, 1991, hlm. 42.

[20] Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 5.

[21] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Isani Press, 1996, hlm. 42- 44.

[22] Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi, 1957, hlm. 19.

[23] A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapannya, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 49-50.

Baca Selanjutnya: Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum Islam Bagian 2

Alfitri
Alumni MTI Canduang, Ketua Umum DPC Ikatan Pemuda Tarbiyah Islamiyah Kodya Bandar Lampung 1995-2000, Saat ini Wakil Ketua Pengadilan Agama Tulang Bawang Barat dan Mahasiswa S3 Hukum Keluarga Raden Intan Lampung