Baca Sebelumnya: Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum Islam Bagian 1
Telaah Pembaruan Hukum Keluarga dalam Kompilasi Hukum Islam
Terbentuknya hukum Islam (hukum keluarga) yang tertulis, sebenarnya sudah lama menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat muslim. Sejak diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum keluarga, rasanya sangat diperlukan adanya hukum keluarga Islam di Indonesia tertulis. Sehingga muncullah gagasan penyusunan Kompilasi Hukum Islam dalam rangka mencari pola fikih yang bersifat khas Indonesia atau fikih yang bersifat kontekstual. Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme putusan hakim pengadilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena digali dari tradisi-tradisi bangsa Indonesia. KHI telah menjadi buku hukum atau pedoman hukum, bersifat mandiri dan hasil ijtihad pakar fikih Indonesia. Menurut Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam merupakan upaya akomodatif dari mazhab-mazhab fikih klasik. Kendatipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa materi hukum dalam KHI masih didominasi oleh mazhab Syafi’i.
Dalam rangka pemberlakuan KHI maka keluarlah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I tentang perkawinan, terdiri dari 9 bab dan 170 pasal (pasal 1 s/d pasal 170), Buku II tentang kewarisan, terdiri dari 6 bab dan 43 pasal (pasal 171 s/d pasal 214) dan Buku III tentang perwakafan, terdiri dari 5 bab dan 12 pasal (pasal 215 s/d pasal 228).
1. Bidang Perkawinan
Peraturan yang ada dalam KHI untuk bidang hukum perkawinan tidak lagi hanya terbatas pada hukum substantif saja yang memang seharusnya menjadi porsi dari kompilasi, akan tetapi sudah cukup banyak memberikan peraturan tentang masalah prosedural yang seharusnya termasuk dalam porsi undang-undang perkawinan. Walaupun pada dasarnya, ada beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki kesamaan yang termuat dalam KHI. Adapun perbedaan (hal-hal baru) yang termuat dalam KHI merupakan sebagai kemajuan dari pengembangan hukum keluarga di Indonesia.
Sebagai pengembangan dari hukum perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan, maka KHI tidak boleh lepas dari misi yang diemban oleh undang-undang tersebut, kendatipun cakupannya hanya terbatas bagi kepentingan umat Islam, antara lain, kompilasi mutlak harus mampu memberikan landasan hukum perkawinan yang dapat dipegangi oleh umat Islam.
a. Pencatatan Perkawinan.
Pasal 5 KHI menyebutkan “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Jika kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kata harus yang tercantum dalam pasal 5 tersebut bermakna wajib[1] begitu juga dalam hukum Islam. Dengan demikian menurut KHI, perkawinan yang tidak dicatat dan dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 5 tersebut dikuatkan pasal 7, yang menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga dapat dikatakan bahwa, pencatatan perkawinan merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam yang melangsungkan perkawinan.
Pencatatan perkawinan yang dimaksudkan dalam KHI harusnya berkaitan dengan sah tidaknya suatu perkawinan yang dilaksanakan, karena pencatatan perkawinan tersebut berkaitan dengan hubungan keperdataan, yakni perkawinan yang tidak dicatat oleh pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum menurut hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga tidak sah perkawinan tersebut menurut hukum Islam. Hal itu dilakukan agar setiap orang yang berkaitan dengan terjadinya perkawinan tersebut dapat dijamin hak-haknya menurut peraturan perundangan-undangan di Indonesia.
b. Talik Talak
Dalam KHI pasal 45 disebutkan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk talik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Artinya KHI membenarkan cara lain bagi seorang istri untuk dapat bercerai dari suaminya, yaitu melalui institusi talik talak. Meskipun cara perceraian yang paling umum dilakukan dalam ikatan perkawinan orang-orang Islam Indonesia adalah melalui institusi talak. Pembaharuan terhadap hukum keluarga tersebut dilakukan mengingat, merupakan hal yang biasa bagi suami mengucapkan talik talak pada saat memulai suatu perkawinan, di mana ia mengajukan syarat bahwa, jika ia menyakiti istrinya atau tidak menghiraukannya selama jangka waktu tertentu, maka pengaduan istri terhadap pengadilan agama akan menyebabkan istri tersebut terceraikan.
c. Menikahkan Wanita Hamil Karena Zina
KHI juga menganut pembaruan dengan lintas mazhab (intra-doctrinal reform). Pembaruan model ini dapat diperhatikan pada ketentuan bolehnya menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang menghamilinya (Pasal 53 ayat (1) KHI) dan anak yang dilahirkannya menjadi anak yang sah. Akibatnya, anak tersebut memiliki hubungan nasab pada keduanya tanpa harus melihat terlebih dahulu apakah anak zina yang dikandungnya itu lahir setelah atau sebelum enam bulan dari hari pernikahannya (Pasal 99 huruf a KHI). Konsekuensi hukumnya, anak yang lahir tersebut mendapatkan kewarisan dari keduanya dan dari keluarga keduanya tanpa memperhitungkan apakah ia lahir setelah enam bulan atau sebelumnya terhitung dari hari pernikahannya.[2]
Ketentuan tentang status hukum anak zina tanpa mempertimbangkan kapan kelahirannya yang tertuang dalam Pasal 99 huruf a KHI ini bersumber dari mazhab Hanafi, sedangkan umat Islam Indonesia pada umumnya menganut mazhab Syafi’i. Hal ini menunjukkan adanya pembaruan dengan lintas mazhab. Meskipun ketentuan pasal ini menganut mazhab Hanafi, para penyusun Kompilasi Hukum Islam tetap memasukkan dalam pasal KHI. Alasan mereka adalah bahwa dalam hal ini, pendapat mazhab Hanafi lebih memberikan kemaslahatan hukum bagi masyarakat muslim Indonesia. Bagi mereka, berpindah mazhab boleh dilakukan asalkan dalam satu rangkaian hukum.
Baca Juga: Berkurban untuk Orang Meninggal Dunia
d. Persetujuan untuk Dilangsungkannya Pernikahan
Pembaruan model lintas mazhab (intra-doctrinal reform) juga terjadi pada ketentuan mengenai keharusan adanya persetujuan untuk dilangsungkannya pernikahan. Jika ternyata perkawinan itu tidak didasarkan atas persetujuan kedua mempelai, maka dapat dibatalkan (Pasal 71 huruf a dan f KHI). Ketentuan dalam pasal ini tidak membedakan antara wanita yang masih perawan dan wanita yang sudah janda bagi calon mempelai wanita. Keduanya dianggap sama dalam aspek hukumnya.[3]
Para ulama fikih sepakat bahwa calon mempelai pria tidak dapat dipaksa untuk menikah dan pernikahannya didasarkan atas kehendak dan persetujuannya. Akan tetapi, para ulama fikih membedakan status hukum bagi calon mempelai wanita antara yang masih perawan dan yang sudah janda. Bagi mazhab Hanafi, persetujuan calon mempelai wanita baik yang masih perawan maupun yang sudah janda menjadi syarat untuk dapat dilangsungkannya pernikahan. Bagi mazhab ini, wali tidak menjadi rukun nikah. Dengan demikian, wali tidak berhak memaksa terhadap calon mempelai wanita untuk dinikahkan. Mazhab Maliki dan Syafi’i membedakan calon mempelai wanita dewasa antara yang masih perawan dan yang sudah janda. Bagi kedua mazhab ini, persetujuan dari calon mempelai wanita dewasa yang sudah janda menjadi syarat untuk dapat dilangsungkan pernikahannya. Sedangkan calon mempelai wanita dewasa yang masih perawan tidak perlu dimintai persetujuannya terlebih dahulu. Walinya dapat saja memaksanya untuk menikahkan dengan pria yang sebanding (kafā’ah) dengannya. Ketentuan dalam Pasal 71 huruf d dan f KHI ini sejalan dengan pandangan mazhab Hanafi dan pasal ini meninggalkan pandangan mazhab utama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yaitu mazhab Syafi’i.
e. Usia Minimal yang Diperbolehkan Kawin.
Pembaruan selanjutnya yang terdapat dalam KHI dapat dilihat pada ketentuan usia minimal yang diperbolehkan kawin, yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita[4] (Pasal 15 ayat (1) KHI) serta kedua calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua masing-masing karena dianggap belum mandiri secara hukum (Pasal 15 ayat (2) KHI). Para ulama fikih tidak menentukan batas usia minimal bagi sah dan dapat dilangsungkannya perkawinan. Mereka juga tidak mensyaratkan dewasa (baligh) sebagai syarat sah dan dapat dilangsungkannya perkawinan. Bahkan, mereka memandang bahwa nikahnya anak perempuan yang masih kecil dengan anak laki-laki yang masih kecil adalah sah.
Pembatasan umur pernikahan dalam KHI dimaksudkan agar tujuan dari pernikahan dapat tercapai. Selain itu, hal yang belum dibahas dalam kitab fikih klasik adalah ketentuan mengenai status anak yang lahir dari rahim istrinya, tetapi hasil dari pembuahan di luar rahim melalui proses inseminasi buatan (Pasal 99 huruf b KHI).
f. Harta Bersama dalam Perkawinan.
Pasal 85-97 tidak menyebutkan mengenai proses terjadinya harta bersama, seperti yang diatur pasal 35 Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974. Akan tetapi, pasal 1 huruf f dirinci bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Harta bersama suami istri pada dasarnya tidak dikenal, karena hal ini tidak dibicarakan secara khusus dalam kitab fikih. Konsep harta bersama dalam perkawinan merupakan produk hukum Adat yang tereduksi dari nilai-nilai kearifan lokal sebagai bentuk keseimbangan hak antara suami istri dalam kehidupan perkawinan. Pasal-pasal selanjutnya dari kompilasi memberikan pengaturan cukup rinci mengenai masalah harta bersama ini, yang diperoleh selama perkawinan, oleh karenanya, dimiliki secara bersama oleh keduanya.
g. Talak dan Li’an
Pembaruan juga dapat dilihat dalam ketentuan mengenai talak dan li’ān yang dapat diakui jika dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal II7 dan 128 KHI). Sebagai konsekuensinya talak jatuh terhitung sejak dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal 123 KHI). Dengan begitu iddah talak raj’ī terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 153 ayat (4) KHI).
2. Bidang Kewarisan
Hukum kewarisan yang termuat dalam KHI terdiri atas VI bab dan 44 pasal (pasal 171-214), dari segi yuridis formalnya, perkara kewarisan belum pernah dibahas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baru dalam KHI aturan tersebut diberlakukan, selama ini para hakim peradilan agama menetapkan hukum kewarisan berdasarkan sumber hukum, yaitu al Quran dan hadis, dan kitab-kitab fikih.
a. Sistem Kewarisan Bilateral.
KHI membawa perubahan yang cukup penting tentang sistem kewarisan yang selama ini dianut oleh masyarakat beragama Islam di Indonesia pada umumnya menggunakan kitab-kitab yang bersumber dari mazhab sunnī yang menganut sistem kewarisan patrilinier. Sedang sistem kewarisan yang dianut KHI adalah sebagaimana tercantum dalam Q.S. an-Nisā (4): 7 dan 11, yaitu sistem kewarisan bilateral. Menurut sistem ini, anak lakilaki atau cucu dari anak perempuan (zawī al-arḥām) adalah samasama sebagai ahli waris ‘āṣābah/zawī al-furūḍ, maka tidak berhak mewarisi (terhijab hirmān). Dalam KHI, apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda. Dalam pasal ini kata anak disebut secara mutlak tanpa keterangan laki-laki/perempuan. Ini berarti kalau ada anak, tanpa dibedakan apakah anak laki-laki atau anak perempuan, maka menghijab hirmānterhadap saudara-saudara kandung atau paman pewaris. Sedangkan menurut fikih sunnī, kalau anak tersebut perempuan maka hanya dapat menghijab nuqṣān atau mengurangi bagian ahli waris ‘āṣābah.[5]
b. Percobaan Pembunuhan Penghalang Mewarisi.
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: (a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; (b) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Pembaruan dalam pasal ini memberikan tambahan ketentuan halal yang dapat menghalangi hak seseorang untuk mewarisi. Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan di atas bahwa di samping faktor membunuh, faktor percobaan pembunuhan dan menganiaya berat juga menjadi penyebab terhalangnya hak seseorang untuk dapat mewarisi (pasal 173 KHI).
Dalam kitab-kitab fikih, ulama bersepakat bahwa hal-hal yang dapat menghalangi hak mewarisi ada tiga, yaitu karena menjadi hamba sahaya, berbeda agama dan membunuh pewaris. Faktor membunuh menjadi penghalang mewarisi jika memang benar-benar telah melakukan pembunuhan terhadap pewaris. Ulama fikih tidak menetapkan apakah orang yang melakukan percobaan pembunuhan dan penganiayaan berat terhadap pewaris juga menghalangi hak kewarisan seseorang.[6] Ketentuan melakukan percobaan pembunuhan dan menganiaya berat sebagai penghalang hak mewarisi merupakan hasil ijtihad para ahli hukum Islam Indonesia.
c. Ahli Waris Pengganti.
Pembaruan hukum kewarisan berikutnya dapat diperhatikan dalam ketentuan pasal 185 ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya. Bagian untuk ahli waris penggantinya tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikannya (pasal 185 ayat (2) KHI). Ketentuan dalam pasal ini sering disebut dengan ketentuan mengenai ahli waris pengganti (mawāli). Ketentuan mengenai ahli waris pengganti ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih. Pada umumnya, ulama fikih menetapkan kedudukan seseorang sebagai ahli waris tidak dapat digantikan oleh anaknya jika ia lebih dahulu meninggal daripada pewaris, sehingga dalam kita fikih tidak dikenal adanya ahli waris pengganti.
d. Batas Usia Syarat Seseorang yang Hendak Mewasiatkan Hartanya.
Pembaruan selanjutnya terjadi dalam ketentuan mengenai syarat seseorang yang hendak mewasiatkan hartanya harus memenuhi umur sekurang-kurangnya 21 tahun (pasal 194 ayat (1) KHI). Ketentuan ini berkaitan erat dengan batasan seseorang yang dapat dianggap dewasa. Jika seseorang belum mencapai batasan umur ini maka masih belum dianggap dewasa dan belum patut melakukan perbuatan hukum seperti mewasiatkan hartanya. Ketentuan batas usia minimal ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih. Ulama fikih dari mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i hanya mensyaratkan bahwa pewasiat harus sudah baligh (dewasa), sedangkan ulama dari mazhab Maliki dan Hambali hanya mensyaratkan bahwa pewasiat harus sudah mumayyiz (cukup dewasa).[7]
Baca Juga: Istilah-dan Bentuk-bentuknya al-Ahkam Dalil Naqli
e. Wasiat Harus di Hadapan Dua Orang Saksi.
Pembaruan berikutnya terjadi dalam ketentuan pasal 195 ayat (2) KHI yang menyatakan bahwa wasiat harus dilakukan di hadapan dua orang saksi atau notaris baik secara lisan atau tertulis. Ketentuan ini pun tidak dijumpai dalam kitab-kitab fikih. Ulama fikih tidak memasukkan ketentuan adanya dua orang saksi bagi sahnya wasiat. Mereka menetapkan bahwa wasiat mempunyai empat rukun, yaitu pewasiat (mūṣī), penerima wasiat (mūṣā lahu), benda yang diwasiatkan (mūṣā bihi) dan sighat ijab dan qabul[8] Ulama fikih tidak memasukkan dua orang saksi (syahīdāni), apalagi notaris ke dalam rukun wasiat.
f. Penghalang Penerima Wasiat.
Pembaruan berikutnya terjadi dalam ketentuan pasal 197 ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa penerima wasiat terhalang jika; pertama, membunuh, mencoba membunuh atau menganiaya berat terhadap pewasiat; kedua, memfitnah pewasiat bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan dengan hukuman lima tahun atau lebih; ketiga, dengan kekerasan dan ancaman, mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan penerima wasiat.
g. Wasiat Tidak Boleh kepada Pelayan Perawatan.
Pembaruan ini juga dapat diperhatikan pada ketentuan pasal 207 KHI yang menyatakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan dan orang yang memberikan tuntunan kerohanian kepada pewasiat hingga ia meninggal, kecuali jika ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya, dan juga dalam ketentuan dalam pasal 208 KHI yang menyatakan bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut.
h. Wasiat Wajibah.
Selain pembagian harta peninggalan, dalam kewarisan Islam juga diatur tentang peralihan harta peninggalan oleh karena peristiwa kematian pewaris. Tata cara peralihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan dengan cara wasiat.[9] Aturan mengenai wasiyat wajibah yang ada dalam KHI merupakan reformasi hukum, pemberian bagian harta warisan sebanyak 1/3 bagi anak angkat dan orang tua angkat sebagai bentuk penyesuaian ketetapan hukum berdasar atas kebiasaan masyarakat di Indonesia. Pembaruan ini dapat diperhatikan pada 209 ayat (1) dan (2) KHI yang menyatakan bahwa orang tua angkat yang tidak mendapat wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. Ada juga anak angkat yang tidak mendapat wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari warisan orang tua angkatnya. Ketentuan memberi wasiat wajibah kepada orang tua angkat dan anak angkat tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih empat mazhab dan bahkan dari mazhab Daud Zahiri sekali pun. Istilah wasiat wājibah sendiri tidak dikenal dalam kitab-kitab fikih empat mazhab.
Sesuai dengan hukum Adat, sudah umum terjadi dalam keluarga di Indonesia untuk mengadopsi seorang anak laki-laki atau perempuan, untuk kemudian dimasukkan dalam lingkungan keluarga. Sehingga, oleh para ahli hukum Islam Indonesia merasa berkewajiban untuk menjembatani kesenjangan lembaga adopsi ini, maka mereka berusaha mengakomodasi sistem nilai yang ada dalam kedua hukum dengan jalan mengambil dari institusi wasiat wajibah yang berasal dari hukum Islam sebagai sarana untuk fasilitas nilai moral yang ada dibalik praktek adopsi dalam tradisi hukum Adat Indonesia.
3. Bidang Wakaf
Pembaruan fikih juga terjadi dalam pasal-pasal mengenai hukum perwakafan. Pembaruan yang terdapat dalam pasal-pasal ini dilakukan dengan metode extra-doctrinal reform dan regulatory reform.
a. Ikrar Wakaf di Hadapan PPAIW.
Pembaruan dengan metode extra doctrinal reform ini dapat diperhatikan pada ketentuan mengenai ikrar wakaf kepada penerima wakaf yang harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan dua orang saksi (pasal 218).
b. Penerima Wakaf WNI.
Pembaruan model di atas selanjutnya dapat diperhatikan pada ketentuan pasal 219 ayat (1) yang menyatakan bahwa penerima wakaf harus warga negara Indonesia (WNI), muslim, dan bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang diwakafkan. Ketentuan ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih. Para ulama fikih tidak mensyaratkan penerima wakaf harus muslim apalagi warga negara yang sama dengan pewakaf dan bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang diwakafkan. Ketentuan penerima wakaf harus muslim ini lebih merupakan upaya memelihara harta umat Islam agar dipergunakan untuk kepentingan mereka. Sedangkan ketentuan penerima wakaf harus warga negara Indonesia dan bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang diwakafkan ini merupakan aturan-aturan yang memiliki motif politis dan kemudahan administrasi perwakafan.
c. Penerima Wakaf Harus Bersumpah di Hadapan kepala KUA.
Pembaruan selanjutnya terdapat dalam ketentuan mengenai penerima wakaf harus bersumpah di hadapan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dengan di hadiri dua orang saksi (pasal 2I9 ayat 3 KHI). Ketentuan di atas juga tidak dijumpai dalam kitab-kitab fikih dan bahkan dalam perundang-undangan Islam di negara-negara berpenduduk muslim. Ketentuan dalam pasal ini merupakan hasil ijtihad dari para perumus KHI.
d. Jabatan Nazīr Diberhentikan Oleh Kepala KUA.
Pembaruan selanjutnya terdapat dalam pasal 221 KHI yang menyatakan bahwa jabatan nazīr diberhentikan oleh kepala KUA karena mati, atas permohonan sendiri, tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai nazīr dan melakukan kejahatan sehingga dipidana. Ketentuan hanya kepala Kantor Urusan Agama (KUA) yang berhak mengangkat dan memberhentikan jabatan nazir karena alasan-alasan seperti yang terdapat dalam pasal di atas, tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih. Dalam kitab-kitab fikih, para ulama tidak membatasi pada hakim (qāḍi) saja yang memiliki hak untuk mengangkat dan memberhentikan jabatan nazir. Nazir dapat saja berhenti menjadi pengelola wakaf dengan menyerahkannya pada siapa saja yang layak menjadi pemegang amanat wakaf tanpa harus ada campur tangan qādī.
Sejak ditetapkan KHI pada tahun 1991, belum pernah sekalipun mengalami evaluasi dan revisi terhadap isi KHI, karena tidak menutup kemungkinan beberapa pasal dalam KHI tidak lagi dapat diterapkan melihat semakin kompleksnya permasalahan hukum keluarga Islam yang muncul saat ini sehingga senantiasa dapat menjadi sumber dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di era modern ini.
Kesimpulan
Hukum keluarga menempati posisi sangat penting dalam hukum Islam, berkaitan dengan kontribusinya yang amat signifikan dalam upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib dan harmonis. Itulah sebabnya di banyak negara Islam atau yang mayoritas warganya beragama Islam utamanya Indonesia, bidang hukum keluarga senantiasa mendapatkan apresiasi tinggi yang dimanifestasikan dalam bentuk upaya berkelanjutan untuk legislasi hukum Islam menjadi hukum positif ke dalam produk perundang-udangan.
Pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia, adalah suatu keniscayaan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan, pengaruh globalisasi ekonomi, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang hukum, dan juga pengaruh pembaruan pemikiran Islam yang mengharuskan pintu ijtihad senantiasa terbuka untuk menemukan hukum baru terhadap persoalan baru dalam hukum keluarga.
Tujuan pembaruan hukum keluarga Islam yang dipraktekan di Indonesia merupakan untuk menjawab tantangan modernitas dalam bidang hukum keluarga, karena pemahaman konvensional yang mapan tentang berbagai ayat al-Qur;an, hadis dan kitab-kitab fikih dianggap tidak mampu menjawab tantangan problem hukum keluarga yang muncul pada era modern.
Daftar Pustaka
Ali, M. Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Isani Press, 1996.
Ahmad, Amrullah SF dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: GemaInsani Press, 1996.
Alimuddin, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan Bagi Hakim Pengadilan Agama, Makassar: Alauddin University Press, 2011.
Anderson, J.N.D., Islamic law in Moderen World, alih bahasa oleh Machnun Husain, dengan judul: Hukum Islam di Dunia Moderen, Cet.I; Surabaya: Amar Press, 1991
Al-Ẓāhir, Ibnu Ḥazm, al-Muḥalla, Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Badra, Abūal-‘Ain, Ahkām al-Waṣāyāwa al-Hibah, Iskandariyah: Mu’assasah Shabbab al-Jāmiah, t.t.
Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1999.
Brown, L. Carl, Religion and State: The Muslim Approach to Politics, New York: Colombia University Press, 2000.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Donohue, John, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah–masalah, Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Djazuli, A., Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapannya, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Fanani, Ahmad Zaenal, Pmbaharuan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di Indonesia (Prspektf Keadilan Jender), Yogyakarta: UII Press, 2015.
Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006.
Mudzhar, M., Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam, Jurnal Studi Islam, 1, 1999.
Muhyiddin, dan Abdul Hamid, Muhammad, Ahkām al-Mawārith fi Sharā’at al-Islāmīyah ala Maẓāhib al-Arba’ah, t.tp: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.
Miller, David H. Olson dan Brent C. (ed.), Family Studies: Review Yearbook; A General Framework for Family Impact Analysis, London/ Beverly Hills/ New Delhi: Sage Publiction, 1983.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009.
—————————, Arah Pembangunan Hukum Keluarga: Pendekatan Integratif dan Interkonektif dalam Pembangunan Keluarga Sakinah, dalam As-Syir’ah: Jurnall Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 46 No. I, Januari-Juni 2012. 21
Noer, Deliar, Islam dan Politik; Mayoritas dan Minoritas?, Jakarta: Prima, 1998.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Rasito, dan Saiful Ibad, Respon KIAI Pesantren Terhadap Materi KHI di Indonesia (Studi Kasus di Kota Jambi), Kontekstualiata, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 21 No. 1 Juni 2006.
Saeed, Abdullah, Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Baitul Hikmah, 2014.
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
Salah Sultan, Metodological Regulation for the fiqh of Muslim Minorities, dalam www. Salahsoltan. Com/main/index. Php?id.
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Wahid, dan Moh. Muhibbin, Abdul, Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafita, 1994.
Zahrah, Abu, al-Ahwal al-Syakhsiyah, Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi, 1957.
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 343.
[2] Saiful Ibad dan Rasito, Respon KIAI Pesantren Terhadap Materi KHI di Indonesia (Studi Kasus di Kota Jambi), Kontekstualiata, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 21 No. 1 Juni 2006, hlm. 101
[3] Ibid, hlm. 103.
[4] Keputusan menaikkan batas usia minimum kawin bagi perempuan menjadi 19 tahun itu diambil Baleg DPR dalam rapat membahas peninjauan kembali UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kamis (12/09/2019). Sebelumnya, batas minimal usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun. Dari 10 fraksi di DPR, delapan fraksi setuju 19 tahun. Hanya fraksi PPP dan PKS yang meminta 18 tahun.
[5] Alimuddin, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan Bagi Hakim Pengadilan Agama, Makassar: Alauddin University Press, 2011, hlm. 75.
[6] Abdul Hamid, Muhammad Muhyiddin, Ahkām al-Mawārith fi Sharā’at al-Islāmīyah ala Maẓāhib al-Arba’ah, t.tp: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t, hlm. 37-49
[7] Al-Ẓāhir, Ibnu Ḥazm, al-Muḥalla, Beirut: Dār al-Fikr, t.t, hlm. 278-286.
[8] Abūal-‘Ain Badran, Ahkām al-Waṣāyāwa al-Hibah, Iskandariyah: Mu’assasah Shabbab al-Jāmiah, t.t, hlm. 130.
[9] Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafita, 1994, hlm. 45.
Leave a Review