scentivaid mycapturer thelightindonesia

Pemilu 2024: Edo-Tensei Adagium Hitler

Pemilu 2024 Edo-Tensei Adagium Hitler

Oleh: Wahyu Ciptadi Pratama

Penggemar Serial Anime Naruto tentu tak asing mendengar “Edo-Tensei”. Jurus terlarang yang diciptakan Tobirama Senju untuk menghidupkan orang yang sudah mati dengan mengorbankan satu tubuh orang hidup. Jurus ini pada perkembangannya disempurnakan oleh Orochimaru untuk menghidupkan para Hokage. Hanya saja untuk melanggengkan kepentingan busuknya. Bahkan, jurus Edo-Tensei ini pada perang Shinobi ke-IV, Kabuto menggunakannya untuk menghancurkan dunia.

Kaitannya dengan dunia politik. Selama ini politik sering kali menanggalkan kebaikan. Diskursus politik selalu bertema tentang kemenangan partai saja. Bukan torehan kinerja yang pantas disebut prestasi. Maka tak heran, jika jurus Edo-Tensei juga akan digunakan oleh para politikus untuk menghidupkan adagium dari Hitler, “Kebohongan yang diulang terus-menerus bisa menjadi kebenaran”. Adagium ini serupa mantra sakti di mana level mujarabnya jelas tak akan setara dengan bualan Jindan keturunan Mbah Priok (katanya). Adagium ini sanggup membius kehidupan manusia pada semua aspek.

Kiwari, 2023 telah mengucapkan “welcome” pada kita. Welcome untuk menghadapi tahun politik yang eksentrik, sarat kritik, dan penuh intrik.

Ada dua pertanyaan yang wajib diutarakan. Apakah isu agama masih menggeliat di pemilu 2024? Bagaimana posisi politikus perihal adagium Hitler, mereka tersangka atau korban?

Saya masih bisa meruncingkan ingatan perihal tulisan Bung Karno berjudul “Kuasanya Kerongkongan”. Dalam goresannya, ia menyoroti siasat Hitler yang merampas wilayah Jerman hanya dengan kerongkongannya. Propagandanya mengumandang terus-menerus, sistematis, dan masif. Makin kuat kerongkongan bekerja, makin baik propaganda menggema.

Geliat Isu Agama Pada Pemilu 2024

            Pada pemilu 2019 lalu, tagline propaganda benar-benar mencederai kontestasi pesta demokrasi. Isu agama menyeruak ke permukaan bertujuan memblokade garapan suara lawan. Rakyat yang dilumpuhkan oleh fanatisme buta sangat rentan menelan muntahan janji para politikus. Muntahan yang lebih busuk dibandingkan muntahan kucing kampung. Akhirnya, warta yang tersebar dianggap sebuah kebenaran yang harus ditegakkan.

Tagline propaganda pada ujung jangkanya akan merasuk ke alam bawah sadar rakyat. Mereka akan mati-matian berjuang demi kemenangan. Kemenangan yang sesuai tuntunan agama (katanya), kemenangan yang menggeneralisasi cara memilih pemimpin yang benar (katanya), kemenangan yang berpihak pada kepentingan rakyat (katanya). Namun, mereka lupa cara mendeteksi kebohongan dalam kemenangan. Walhasil, mereka menganggap kemenangannya adalah kebenaran, padahal bisa saja itu sekadar pembenaran.

            Tak mustahil jika sihir hoaks tetap akan beroperasi pada pemilu 2024 nantinya. Bagaimana tidak? Hoaks seolah sudah menjadi pernak-pernik pesta demokrasi. Hoaks hari ini dikemas dalam balutan digital yang makin masif. Rakyat menyelenggarakan sayembara cipta Shinobi demi kemenangan. Ada klan “merasa menang” dan klan “yakin menang”. Tampaknya, warisan perang dari Hashirama Senju dan Uchiha Madara tak bisa lepas dari Indonesiagakure.

Tentu saja, isu agama di pemilu nanti potensinya masih ada. Namun, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memperkirakan praktik politisasi agama untuk mendulang suara pada pemilu 2024 tak terlalu signifikan. Disebutkan bahwa sepanjang tahun 2020 hingga 2021, IPR (Indeks Potensi Radikalisme) Indonesia tercatat 12,2 %. Angka ini terbilang rendah ketimbang 2019 yang mencapai 38,4 %. Bagi saya, sekecil apa pun angka surveinya, menggunakan agama untuk kepentingan busuk dalam pesta demokrasi itu kecelakaan.

Dalam rangka meminimalisir isu agama menyeruak ke permukaan. Kemenko PMK bekerjasama dengan Kantor Wilayah Agama DKI Jakarta telah mengadakan kegiatan “Focus Group Discussion (FGD) Penguatan Moderasi Beragama Sebagai Antisipasi Politisasi Agama menjelang tahun Pemili 2024” pada tahun 2022 kemarin. Kegiatan ini diusung sebagai salah satu strategi dalam mendukung kebijakan pembangunan kerukunan umat beragama di Indonesia. Bahkan, kegiatan ini sudah masuk dalam RPJMN 2020-2024. Apa pun bentuk kegiatannya, saya cukup mendoakan saja semoga nawaetu-nya betul-betul termanifestasi ke dunia nyata.

Para Politikus Perihal Adagium Hitler. Tersangka atau Korban?

            Saya cukup waspada jika harus menduga mereka adalah tersangka. Pada ranah hukum pidana, seseorang berstatus tersangka jika memiliki dua barang bukti atas kejahatannya. Ranah hukum tentu berbeda dengan politik. Maka, saya menempatkan para politikus itu sebagai terduga saja. Syaratnya, tidak melebihi dari satu kebohongan. Cukup satu saja yah!

            Dalam koridor agama, kebohongan adalah sifat tercela, sebab mengkhianati kepercayaan. Namun, pada ranah politik, hal ini tidak tabu. Adagium Hitler akan selalu ada dalam politik di negara demokrasi. Bahkan, Niccolo Machiavelli dengan sadis berceloteh bahwa seorang politikus yang menginginkan kekuatan, kekuasaan, dan mempertahankannya, harus berani berbuat tidak manusiawi. Mereka harus mengalienasi dirinya dari moral agama menuju moral politik. Moral politik tentu saja adalah pencitraan dan kebohongan. Maka, patut diduga setiap politikus akan meng-Edo-Tensei Adagium Hitler demi sebuah kemenangan. Setiap politikus fardhu ain berstatus tersangka, walaupun belum tentu mereka terdakwa apalagi terpidana.

            Satu hal pasti yang harus kita ketahui bahwa adagium Hitler tetap mencongol di pemilu 2024. Kebohongan dalam politik adalah mainan para politikus demi meraup suara. Para politikus yang merasa duduk di singgasana negara sebagai raja, pada dasarnya ia menempatkan diri sebagai penguasa berdalih seorang pemimpin, namun hakikatnya ia hanya petugas negara. Mari menghadapi tahun politik dengan akal sehat!

Wahyu Ciptadi Pratama
Wahyu Ciptadi Pratama, lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 02 September 1995. Ia menyelesaikan studi S1-nya di Institut Agama Islam As'adiyah Sengkang Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat Islam tahun 2019. Saat ini, ia juga berstatus sebagai mahasiswa penerima program beasiswa PBSB Kemenag di Universitas Islam Bunga Bangsa Cirebon Fakultas Manajemen Pendidikan Islam Jurusan Manajemen Pendidikan Islam. Selain itu, ia pernah mondok di PP Syekh Muhammad Ja'far Banyorang Kabupaten Bantaeng, Sulsel.Lalu, di PP Nurul Falah Borongganjeng Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Lalu, di PP As'adiyah Sengkang Kabupaten Wajo, Sulsel. Terakhir, di PP Darul Ulum Ad-Diniyah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ia juga aktif sebagai relawan PMI di Kabupaten Wajo, serta, menjabat sebagai Wakil Ketua BSO Moragister Kemenag Periode 2021-Sekarang. Dan, saat ini bekerja sebagai Wartawan di Bimas Islam Kementerian Agama RI. FB: Wahyu Ciptadi Pratama Ig: Wahyu Ciptadi Pratama Twitter: Wahyu-Mho