scentivaid mycapturer thelightindonesia

Pemuda dan Kopi Pahit

Menuju tanggal 28 Oktober yang merupakan hari sumpah pemuda, seperti biasanya ramai digaung-gaungkan peranan pemuda, termasuk di media massa. Baik itu dalam bentuk vidiografi, infografis, atau konten-konten kreatif lainnya.

Akan tetapi, hal itu tetap tidak lepas dengan berbagai pertanyaan; pemuda hari ini bisa apa? Tidakan apa yang bisa kita lakukan sebagai pemuda terkhususnya mengingat hari sumpah pemuda itu sendiri? Apakah peran pemuda masih berpengaruh saat ini? Atau pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya. Perihal apakah peranan pemuda masih diperlukan dan berpengaruh saat ini, tentu jawabannya adalah sangat diperlukan dan sangat berpengaruh. Tidak hanya hari ini, akan tetapi juga seterusnya. Lalu dalam bentuk tindakan seperti apa?

Salah satu contoh paling sederhana, bisa kita ambil dari analogi fenomena nongki di sebuah coffee shop yang biasa ditemui di kalangan pemuda hari ini, misalnya. Ketika nongki ini tentunya kadang kurang afdhal rasanya apabila tidak memesan kopi atau teh, bukan? Akan tetapi, bagaimana jika justru kopi yang disajikan justru terasa pahit begitu diteguk?

Dalam hal ini biasanya ada beberapa hal yang biasanya dilakukan anak muda zaman sekarang. Yakni tetap meminum apa yang sudah disajikan karena mager atau malu untuk meminta atau komplain perihal rasanya walaupun terkadang disertai dengan sedikit menggerutu kesal terhadap pelayanan café atau rasa dari pahitnya minuman yang disajikan, atau memberanikan diri untuk speak up bahasanya, untuk memanggil waitersnya guna complain perihal rasa dan sekedar meminta gula.

Dapat dilihat bahwa sebenarnya terjadi fenomena yang cukup sederhana untuk dipahami disini. Dimulai dari si pemuda meneguk minuman tadi itu bisa kita lihat sebagai permisalan dari sebuah pengambilan keputusan yang sudah wajar baginya karena sudah memesan, kemudian perihal rasa kopi itu posisinya adalah sebagai sebuah konsekuensi dari keputusan yang telah dia ambil.

Kemudian beberapa pilihan tindakan berikutnya itu tentunya juga dapat kita lihat sebagai suatu hal yang sudah biasa terjadi, sebagaimana yang kita lihat biasanya pasti sering kita temui, ada pemuda yang tetap memilih untuk diam mengikuti arus begitu melihat berbagai persoalan yang terjadi di hadapannya karena berbagai alasan tentunya, ada yang hanya menggerutu kesal saja namun tanpa adanya pergerakan, atau pemuda yang memutuskan untuk berani speak up mengekspresikan pendapatnya.

Tentunya bagaimanapun respons berbeda-beda yang kita berikan itu bukanlah suatu kesalahan. Akan tetapi, sebagai seorang pemuda yang padanya terbebankan masa depan bangsa, ada baiknya memperhatikan hal-hal yang sebaiknya atau bahkan lebih baik untuk di lakukan ketimbang hal yang biasa.

Sebagai seorang pemuda akan lebih baik bagi kita untuk mengambil opsi yang lebih berani. Yakni menjadi bagian dari analogi pemuda yang berani untuk speak up mengutarakan pendapat atau komplainnya terhadap rasa minuman yang dia pesan tadi.

Keberanian untuk mengekspresikan pendapat bagi seorang pemuda bukan hanya sebatas bentuk kepercayaan diri, akan tetapi terdapat tanggung jawab dan implementasi yang tepat dalam usaha menemukan penyelesaian persoalan yang tengah terjadi.

Namun sayangnya, saat ini pemuda yang berani untuk mengekspreiskan pendapatnya kalah massa dengan para pemuda yang lebih memilih untuk sekadar diam tanpa pergerakan. Hal ini bisa disebabkan oleh semakin menurunnya minat literasi pemuda terhadap berbagai persoalan yang tengah terjadi terutama di era digital, atau bahkan takut akan dituntut dan terseret kedalam keributan yang tidak diinginkan.

Padahal hak untuk menyuarakan pendapat ini juga sudah dijamin dalam pasal 28 UUD 1945 sebagai salah satu bentuk cerminan dari negara demokrasi. Dan sejarah sendiri telah menunjukkan bahwasanya setiap perubahan ataupun penyelesaian masalah selalu diawali dari tindakan-tindakan yang diambil oleh para pemuda.

Sudah seharusnya pemuda saat ini lebih peka lagi terhadap berbagai persoalan yang terjadi di sekitarnya, terkhususnya persoalan-persoalan yang menyangkut kemaslahatan negara dan bangsanya, dan berani mengambil suatu tindakan guna mencari penyelesaian dari berbagai persoalan yang dia temukan.

Sebagaimana Tan Malaka pernah mengatakan ; “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik Pendidikan itu tidak di berikan.

Kembali ke analogi tadi, kalau sekiranya kopimu pahit tidak sesuai dengan yang kamu harapkan, barangkali kamu butuh sedikit tambahan gula, karena selain pahit kopi tanpa gula juga dapat berbahaya bagi orang yang mengidap penyakit hipertensi, jantung, dan insomnia karena efek stimulan dari kafein. Coba beranikan diri untuk memanggil waitersnya. Tentu saja ini tidak hanya berlaku untuk kopi yang pahit saja.

Selamat hari sumpah pemuda, kepada para pemuda intelektual bijaksana yang memikul masa depan bangsa di bahunya.

*Rodiatun Mardiah, Anggota Bidang RPK PK IMM FAI UMY dan mahasiswa aktif di Ekonomi Syari’ah UMY. Alumni Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek, Sumatera Barat.

Tarbiyah Islamiyah
tarbiyahislamiyah.id | Ranah Pertalian Adat dan Syarak