Salah satu masalah yang muncul dalam zakat fitrah dewasa ini adalah tentang berzakat dengan uang. Uang telah menjadi alat transaksi yang bersifat qimah (menjadi standar harga, pengukur nilai). Dalam perkembangannya malah muncul zakat fitrah secara Online via ATM atau semisalnya. Masalah tersebut menjadi bahasan menarik dalam fiqih karena beberapa alasan. Pertama, teks-teks hadis yang memerintahkan zakat fitrah membatasi zakat pada bahan makanan yang sifatnya makanan pokok pada saat ini seperti berbagai jenis gandum (hinthah, sya’ir, burr), kurma, kismis atau keju. Makanan tersebut pada saat itu juga menjadi salah satu alat transaksi dalam jual beli meskipun telah ada uang. Kedua, perbedaan pendapat ulama tentang tujuan pensyariatan zakat fitrah antara murni ibadah saja atau hal yang lebih mengutamakan kepentingan fakir miskin sebagai orang yang berhak menerima zakat.
Secara umum, para ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat dalam masalah zakat fitrah dengan uang. Dalam masalah ini, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (selanjutnya dibaca Tarbiyah) sebagai ormas yang kukuh memegang mazhab Syafi’i berpedoman kepada pendapat dalam mazhab Syafi’i yaitu tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan qimah termasuk uang. Beberapa pendapat ulama dalam mazhab Syafi’i yang dipegang oleh Tarbiyah di antaranya adalah sebagai berikut:
A). An-Nawawi (w. 676 H) di dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut:
قد ذكرنا أن مذهبنا أنه لا يجوز إخراج القيمة في شئ من الزكوات وبه قال مالك وأحمد وداود
Dan telah kami sebutkan, bahwa madzhab kami berpendapat tidak bolehnya mengeluarkan zakat menggunakan qimah. Dan hukum ini berlaku pada semua jenis zakat. Dan pendapat ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad dan Dawud.
لا تجزئ القيمة في الفطرة عندنا
Dalam mazhab kami, tidak memadai (sah) mengeluarkan zakat fitrah dengan qimah
B). Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab asy-Syafi’iyah tidak membolehkan mengeluarkan zakat selain dari bahan makanan pokok. Sebagaimana di dalam kitab Al-Minhaj Al-Qawim beliau menuliskan sebagai berikut :
فلا يجزئ من غير غالب قوت محل المؤدي
Maka tidak sah (membayar zakat) dari selain mayoritas makanan pokok penduduk setempat.
********
Argumentasi yang dipakai oleh mazhab Syafi’i untuk menguatkan pendapatnya adalah sebagai berikut:
(1). Hadis dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra beliau berkata;
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
”Rasulullah SAW mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan zakat ini sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat ‘id.” (H.R. Al-Bukhari).
(2) Hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, ia mengatakan:
كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Dahulu di zaman Nabi SAW kami menunaikan zakat fitrah berupa 1 sho’ bahan makanan, 1 sho’ kurma, 1 sho’ gandum atau 1 sho’ kismis.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan,
أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ
“Atau 1 sho’ keju.”
Rasulullah SAW dengan sangat jelas menyatakan bahwa zakat fitrah itu adalah dengan satu sho’ dari beberapa jenis makanan yang disebutkan. Beliau tidak menyebutkan qimah atau uang. Padahal keduanya sudah ada dan dipakai di zaman tersebut. Seandainya boleh dengan keduanya, tentu akan dijelaskan oleh Rasulullah SAW.
Baca Juga: Hukum Memberikan Zakat kepada Saudara Kandung
********
Tujuan zakat fitrah adalah untuk memberi makanan pada orang miskin. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas ra, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”
Sedangkan jika yang dibutuhkan fakir miskin adalah uang, emas, atau hewan ternak, maka diperoleh bukan dari zakat fithri tetapi dari zakat harta.
Imam Al-Haramaini Al-Juwaini asy-Syafi’i mengatakan, “Bagi mazhab kami, sandaran yang dipahami bersama dalam masalah dalil adalah bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Pelaksanaan semua perkara yang merupakan bentuk ibadah itu harus mengikuti perintah Allah. Andaikan ada orang yang mengatakan kepada utusannya (wakilnya), ‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini tahu bahwa tujuan majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang lebih manfaat bagi majikannya (daripada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak menyelisihi perintah majikannya. Meskipun dia melihat hal itu lebih bermanfaat daripada perintah majikannya . (Jika dalam masalah semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan, pent.) maka perkara yang Allah wajibkan melalui perintah-Nya tentu lebih layak untuk diikuti.”
Inilah pendapat yang dipegang oleh mazhab Syafi’i. Bahwa zakat fitrah harus dengan bahan makanan pokok. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan teks hadis (termasuk bahan makanan pokok suatu negeri). Pendapat ini pula yang difatwakan dan diamalkan oleh warga Tarbiyah secara umum.
Pendapat yang sama dari Kalangan Mazhab Maliki, Hanbali dan Zhahiri
Bahkan jika kita membaca khazanah fiqih mazhab, kita akan menemukan bahwa pendapat mazhab Syafi’i tersebut (yang dipakai oleh Tarbiyah) juga didukung oleh mayoritas mazhab yakni juga dipakai oleh mazhab Maliki dan Hanbali. Di antara pendapatnya adalah sebagai berikut:
a). Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut :
ولا يجزأ فيها ولا في غيرها من الزكاة القيمة عند أهل المدينة وهو الصحيح عن مالك وأكثر أصحابه
Tidak boleh didalam zakat fitrah dan juga zakat yang lain membayar menggunakan qimah menurut Ahli Madinah. Dan pendapat ini adalah yang benar dari Imam Malik dan ulama Malikiyah.
b). Ad-Dasuqi (w. 1230) yang juga ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitabnya Hasyiah Ad-Dasuqi menuliskan sebagai berikut.
بدفع قيمة لم تجز
(Membayar zakat) menggunakan qimah tidak diperbolehkan.
c). Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
لنا، أن النبي – صلى الله عليه وسلم – فرض صدقة الفطر أجناسا معدودة، فلم يجز العدول عنها، كما لو أخرج القيمة
Hujjah kami, bahwa Rasulullah ﷺ memfardhukan shodaqoh fitrah hanya dalam komoditas tertentu. Maka tidak boleh membayar dengan yang semisalnya. Seperti halnya membayar dengan qimah.
d). Abu An-Naja (w. 968 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Iqna’ Fi Fiqhi Al-Imam Ahmad Bin Hambal menuliskan sebagai berikut :
ولا يجزي إخراج القيمة: سواء كان حاجة أو مصلحة أو في الفطرة أولا
Tidak boleh membayar zakat dengan qimah. Baik karena keadaan yang memaksa ataupun maslahah. Baik dalam zakat fitrah atau selainya.
e). Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :
ولا يجزئ إخراج بعض الصاع شعيرا وبعضه تمرا، ولا تجزئ قيمة أصلا
Dan tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah, dengan sebagian menggunakan gandum dan sebagian lagi menggunakan kurma. Dan tidak boleh menggunakan qimah secara mutlak.
Solusi untuk Kondisi saat Ini
Harus diakui bahwa posisi uang saat ini hampir sama dengan bahan makanan atau komoditas yang disebutkan dalam teks hadis zakat fitrah. Dahulu bahan makanan tersebut selain menjadi makanan pokok juga menjadi alat transaksi utama yang berlaku. Bahan makanan lebih mudah ditemukan, dipakai dan juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hal yang berbeda dengan saat ini di mana posisi komoditas tersebut digantikan oleh uang. Persoalannya adalah zakat fitrah merupakan ibadah murni menurut mazhab Syafi’i sehingga harus sesuai dengan teks dalil.
Walau begitu, terkhusus di Indonesia yang mayoritas menganut mazhab Syafi’i, kondisi tersebut bisa disiasati dan dicarikan solusi yaitu dengan cara panitia zakat mempersiapkan beras milik panitia untuk melayani para pembayar zakat yang datang dengan uang. Atau bisa juga panitia mengadakan kerja sama dengan penjual beras. Ketika para pembayar zakat hanya membawa uang, mintalah mereka untuk membeli beras (yang sudah disiapkan oleh panitia atau dari penjual beras yang kerja sama dengan panitia). Setelah itu baru zakat fitrah ditunaikan.
Yang harus menjadi catatan adalah dalam mazhab Syafi’i zakat fitrah yang disalurkan juga harus berupa makanan pokok. Selain itu, beras yang ada pada panitia (untuk dijual kepada pembayar zakat) haruslah beras asli miliki panitia, bukan merupakan beras hasil zakat fitrah dari pembayar yang lain.
Pendapat yang Membolehkan Zakat Fitrah dengan Uang
Pendapat ini diusung oleh mazhab Hanafi, Sufyan Ats-tsauri, Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al-Bashri, Abu Yusuf dan Abu Ja’far Ath-Thahawi. Walaupun pendapat ini bukan pendapat mayoritas, namun perlu juga diketahui sebagai bahan perbandingan, bahkan sebagai solusi bagi kalangan awam dalam kondisi darurat.
1). Pendapat Sufyan Ats-Tsauri (salah satu mujtahid dari kalangan Tabi’in)
لا يشترط إخراج التمر أو الشعير أو البر في زكاة الفطر بل لو أخرج قيمتها مما هو أنفع للفقير جاز لأن المقصد منها إغناء الفقراء عن المسألة وسد حاجتهم في هذا اليوم
Tidak disyaratkan mengeluarkan kurma, gandum atau burr (sejenis gandum) dalam masalah zakat fitrah,tetapi seandainya seseorang mengeluarkan harganya saja setara dengan hal yang lebih bermanfaat bagi fakir, maka hukumnya adalah boleh. Karena tujuan dari zakat itu adalah mencukupi kebutuhan orang fakir atau menutupi hajat mereka di hari itu (hari raya).
2). Pendapat Umar bin Abdul Aziz
عن قرة قال جاءنا كتاب عمر بن عبد العزيز في صدقة الفطر نصف صاع عن كل إنسان، أو قيمته نصف درهم،
Dari Qurrah, ia berkata: Datang surat ketetapan dari Umar bin Abdul Aziz kepada kami tentang zakat fitrah sebanyak setengah sha’ untuk setiap orang atau harganya sebanyak setengah dirham.
3). Pendapat Hasan Al-Bashri
وعن الحسن قال: لا بأس أن نعطي الدراهم في صدقة الفطر
Hasan Al-Bashri berkata: Tidak masalah membayarkan dengan dirham untuk zakat fitrah.
4). Pendapat Abu Ishaq
وأبو إسحاق قال: أدركتهم وهم يعطون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام
Abu Ishaq berkata: Aku bertemu mereka (sahabat), dan mereka membayarkan zakat Ramadhan (maksudnya zakat fitrah) dengan dirham sesuai dengan harga makanan
5). Pendapat Abu Ja’far Ath-Thahawi
وكان الفقيه أبو جعفر رحمه الله تعالى يقول: أداء القيمة أفضل، لأنه أقرب إلى منفعة الفقير، فإنه يشتري به ما يحتاج إليه، والتنصيص على الحنطة والشعير كان لأن البياعات في ذلك الوقت بالمدينة يكون بها، فأما في ديارنا البياعات تجري بالنقود، وهي أعز الأموال، فالأداء بها أفضل
Al-Faqih Abu Ja’far Ath-Thahawi ra berkata: membayar zakat dengan qimah (harga) lebih utama karena hal itu lebih dekat dengan manfaat bagi fakir. Dengan qimah tersebut ia bisa membeli kebutuhannya. Adapun Nash (redaksi tekstual) tentang perintah zakat dengan gandum dan sya’ir (sejenis gandum juga), maka itu karena jual beliau di waktu itu di Madinah menggunakan keduanya. Sedangkan di negeri kita yang memberlakukan jual beliau dengan uang, maka inilah harta yang terbesar, dan tentu saja mengeluarkan zakat dengannya lebih utama.
6). Pendapat mazhab Hanafi
(a.) As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut:
فإن أعطى قيمة الحنطة جاز عندنا؛ لأن المعتبر حصول الغنى وذلك يحصل بالقيمة كما يحصل بالحنطة
Ketika membayar dengan qimah dari gandum maka hukumnya boleh menurut madzhab kami. Karena yang penting adalah tercukupinya kebutuhan. Dan hal itu dapat dicapai baik dengan qimah ataupun gandum.
(b.) Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi As-Syarai’ menuliskan sebagai berikut:
فيجوز أن يعطي عن جميع ذلك القيمة دراهم، أو دنانير، أو فلوسا، أو عروضا، أو ما شاء وهذا عندنا
Maka boleh hukumnya membayar zakat menggunakan qimah dari dirham, dinar, uang, barang dagangan, atau apapun. Dan ini adalah madzhab kami.
(c.) Az-Zaila’i (w. 743 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut:
والدراهم أولى من الدقيق لأنه أدفع لحاجة الفقير
(Membayar) menggunaka dirham lebih utama dibandingkan dengan gandum. Karen dirham lebih dibutuhkan oleh faqir.
(d.) Pendapat Abu Yusuf
: والدقيق أولى من البر والدراهم أولى من الدقيق فيما يروى عن أبي يوسف
Diriwayatkan dari Abu Yusuf: Tepung lebih utama dari burr (gandum) dan uang dirham lebih utama dari tepung (dalam masalah mengeluarkan zakat)
والدراهم أولى من الدقيق لأنها أدفع لحاجة الفقير وأعجل به يروى ذلك عن أبي يوسف واختاره الفقيه أبو جعفر
Diriwayatkan dari Abu Yusuf dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Al-Faqih Abu Ja’far : Uang dirham lebih utama dari tepung (gandum) karena uang tersebut lebih tepat untuk menutupi kebutuhan faqir dan lebih segera (tertutupnya kebutuhan) dengannya.
(e.) Pendapat pengarang Maraqi Al-Falah
وجاء في حاشية مراقي الفلاح: ويجوز دفع القيمة وهي أفضل عند وجدان ما يحتاجه لأنها أسرع لقضاء حاجة الفقير، وإن كان زمن شدة فالحنطة والشعير وما يؤكل أفضل من الدراهم
Dalam kitab Maraqi Al-Falah: boleh mengeluarkan zakat dengan qimah, dan hal inilah yang lebih utama ketika diperoleh hal yang dibutuhkan oleh faqir. Karena qimah lebih cepat dalam menunaikan kebutuhan faqir. Namun jika berada dalam zaman sulit (di mana susah menemukan bahan makanan) maka gandum, sya’ir dan apa saja yang menjadi bahan konsumsi lebih utama ketimbang dirham.
(f.) Ibnu Hajar Al-Haitami dan Al-Bulqini
Ada nukilan menarik dari Sayyid ‘Alawi Ahmad As-Saqaf dalam kitabnya Tarsyih Al-Mustafidin. Dihikayatkan bahwa Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 973 H) dan Al-Bulqini (w. 805 H) -salah satu fuqaha’ besar dalam mazhab Syafi’i- justru cenderung membenarkan pendapat yang difatwakan oleh Imam Abu Hanifah (tentang bolehnya zakat fitrah dengan qimah). Pendapat ini menunjukkan kepada kita tentang lapang dan luasnya dinamika fiqih dalam internal mazhab Syafi’i. Pendapat ini kemungkinan besar lebih didasarkan kepada pertimbangan maslahah.
Baca Juga: Adakah Bagian Amil dalam Zakat Fitrah?
***
Dalam konteks fikih, apabila ingin menggunakan uang sebagai alat zakat fitrah, harus konversi atau pindah kepada madzhab Hanafi. Namun ada beberapa ketentuan yaitu diwajibkan mengikuti satu qadliyah (satu paket hukum). Dalam hal ini, seseorang harus mengikuti paket hukum zakat sesuai konsep mazhab Hanafi supaya tidak tebang pilih bermadzhab dengan mengikuti yang mudah saja (tatabu’ ar-rukhas).
Menurut mazhab Hanafi, meskipun zakat dikeluarkan dalam bentuk uang, namun nilainya harus setara dengan nilai kadar ukuran nash (redaksi tekstual) hadis Nabi Muhammad SAW yaitu berupa 1 sho’ tamr (kurma), atau 1 sho’ gandum sya’ir atau ½ sho’ zabib (anggur) atau ½ sho’ gandum burr, bukan beras sebagai acuan.
Adapun harga patokannya ialah saat waqtul wujub (harga saat orang dijatuhkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah) yaitu saat memasuki maghrib terakhir bulan Ramadlan dan di waktu inilah seseorang wajib menunaikan zakat fitrah saat di mana ia berada. Misalnya jika seseorang pulang mudik dari Jakarta ke Padang menjelang hari raya idul fitri. Namun ketika waktu wajib zakat fitrah datang (yaitu saat maghrib terakhir bulan ramadlan) ia masih berada di Palembang, maka ia harus menunaikan zakatnya di sana (di Palembang) dengan harga komoditas wajib zakat fitrah sesuai di sana.[]
Assalamualaikum ustdz,Ana dari Tembilahan Skolah di Ponpes Ashhbul yamin Lasi, boleh izin untuk di jadikan sebuah lembaran kertas dari penjelasan tersebut ustdz…Untuk di sebarkan?
Boleh Ustad, tentunya dengan mencantumkan sumber/Penulisnya.
Assalamualaikum Ustadz.
Zakat fitrah yang selama ini kita amalkan adalah sebesar 1 sha’ atau lebih kurang 3 Kg beras. Andai kata si Miakin menjual beras tersebut, harga beras harganya 15 ribu per Kg, maka jumlahnya adalah 45.000.
Orang makah berzakat dengan 1 sha’ kurma, lebih kurang 3 kg. Andai kata si miskin menjual kurma tersebut dengan harga 1 kg 50.000 maka akan berjumlah 150.000.
Andai kata orang indonesia berzakat fitrah menurut harga kurma, maka harusnya dia berzakat sebnyak 10 kG beras.
Disini saya ragu, Kenapa ulama indonesia dulu tidak mengkonfersi sha’ kedalam bentuk dirham atau dinar?
Mohon pencerahannya ustadz.
Izin menjawab min.
Sekaitan dengan persoalan ini, yg perlu diperhatikan bahwa
“Analogi (qiyas) 1 sha’ beras adalah kepada 1 sha’ gandum/kurma, bukan kepada harga gandum/kurma”.