Pendidikan Daring Pendidikan Daring Pendidikan Daring Pendidikan Daring
Oleh: Rahmat Nurdin
Keberkahan ilmu akan datang apabila kita bertatap muka dan berhadapan langsung dengan guru secara rendah hati dan hormat dan dia mengakui kita sebagai muridnya. Inilah adab dalam belajar (Mukhlas Nugraha)
Proses pembelajaran daring yang telah kita lakukan selama masa pandemi Covid 19 ini. Kalau dilihat dari positif dan negatifnya lebih banyak keluhnya dari pada senangnya, tidak ada asyik-asyiknya belajar daring ini. Begitu kata sebahagian besar guru.
Berbagai alasan dikemukakan oleh guru, begitupun dengan siswa. Masalah koneksi lemah atau signal tidak ada, tidak paham mengoperasikan berbagai aplikasi yang disediakan seperti Google Classroom, Edmodo, Quizzi, Zoom Could dll.
Penyebab semua itu tidak terlepas dari kebiasaan atau cara belajar kita selama ini yang masih konvensional. Guru dan siswa kita belum terbiasa belajar menggunakan media pembelajaran berbasis teknologi, komputer atau gedget.
Sehingga yang membuat pembelajaran daring kita semakin runyam bukan karena sulit mengoperasikannya, karena pada dasarnya dengan adanya teknologi adalah untuk memudahkan segala pekerjaan kita (ini sifat teknolgi), yang membuat runyam itu karena kita belum terbiasa.
Memang, kalau kita akui secara jujur sistem pembelajaran daring (jarak jauh) memang tidak seefektif dan seefisien sistem pembelajaran tatap muka. Apalagi di tengah kondisi kita saat ini, dan pastinya banyak hal yang perlu kita persiapkan dengan baik agar proses pembelajaran bisa berjalan dengan baik.
Masa Pandemi Covid-19, Guru Makan Gaji Buta?
Misalnya, infrastruktur seperti jaringan internet yang memadai, sebagaimana yang disebutkan di atas, untuk masalah ini dukungan pemerintah sangat menentukan. Pemerintah bekerja sama dengan swasta dituntut untuk benar-benar memastikan fasilitas jaringan sudah tersedia dengan baik.
Kalau kita tinjau dari sudut pandang pendidikan Islam, belajar tidak hanya sekadar transfer knowledge semata, pertemuan fisik antara guru dengan murid akan terjalin hubungan emosional antara guru dengan murid, terbentuknya hubungan ini tidak dengan kata-kata. Tetapi dengan adanya kontak fisik dengan guru.
Maka dari itu, kehadiran guru sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar menjadi sangat penting, agar murid tidak jatuh ke dalam keraguan dan kebimbangan. Bak kata Imam al-Ghazali “mencegah orang yang baru belajar dari mencampuri persoalan-persoalan yang meragukan, sama halnya dengan mencegah orang yang baru saja masuk Islam dari pergaulan orang-orang non-muslim kafir” (Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin).
Mungkin juga, karena alasan inilah banyak lembaga pendidikan Islam seperti Pesantren Madrasah tetap melakukan proses pembelajaran tatap muka di masa pandemi ini, karena pembelajaran hampa dari segi transfer adab, sedangkan ilmu tidak akan didapat jika tidak mendahulukan adab.
Dalam situasi kita saat ini, secara mendadak pemerintah mengalihkan pembelajaran “from school to home” untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona (Covid-19) dengan belajar daring (jarak jauh). Jelas ini sangat berlawanan dengan pandangan pendidikan Islam menurut sebagian pakar pendidikan Islam.
Dalam pendidikan Islam secanggih apapun teknologi yang akan dipakai, jika belajar harus berjauhan dengan guru atau belajar hanya melalui teknologi, membaca dan menelaah dari berbagai informasi yang disediakan. Maka akan membawa pada keraguan dan kebimbangan murid.
Dunia pendidikan Islam dan umat muslim pada umumnya perlu berhati-hati dengan gelombang deras informasi ini, karena ketika seseorang sudah merasa bisa tanpa bantuan guru, maka dikhawatirkan ilmunya tidak akan berkah. Na’zhubillah
Syekh Zarnuji pengarang kitab Ta’limul Mutha’alim menuliskan sebuah syair dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra yang berarti: “Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memenuhi enam syarat, Saya akan beritahukan keseluruhannya secara rinci yaitu. Kecerdasan, kemauan, sabar, biaya, bimbingan guru, dan waktu yang lama.“
Ketika sekolah baru saja akan menjalankan proses tatap muka dan merasa lega dengan keputusan ini, tiba-tiba dikejutkan dengan berita “bahwa sekolah adalah klaster baru penyebaran korona virus (covid 19)”, dengan bukti terinfeksinya beberapa guru dan siswa. Sontak sekolah kembali ditutup dan lanjutkan pembelajaran daring.
Pembelajaran daring menurut sebagian besar guru. Tujuan pembelajaran tidak tercapai dengan maksimal dari berbagai aspek, terutama aspek keteladanan dan emosional. Di samping lemahnya infrastruktur jaringan ke daerah-daerah pelosok, kenyataan ini sering kita lihat, kita dengar bagaimana sulitnya perjuangan guru dan siswa hanya untuk mendapatkan sinyal.
Menyilau Buya Zamzami dan Pulang ke Rumah “Ashabul Yamin”
Di sisi lain, kalau kita lihat aktivitas guru dalam pembelajaran daring ini, kebanyakan hanya asalan saja, kalau sudah mengirimkan tugas ke anak pekerjaan mereka selesai. Setelah itu mereka sesama guru ngomong sana-sini, sampai tengah hari sambil menunggu jam pulang tiba.
Tentu saja hal ini mesti kita carikan solusinya dengan tepat. Agar pembelajaran daring kita tidak “nyaring melengking” yang berarti tong besar nyaring bunyinya, hampa dari nilai-nilai spiritual dan keteladanan. Jika hal ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan akan semakin menipisnya pemberian nilai-nilai keteladanan kepada siswa.
Jika kita renungkan syarat untuk mendapatkan ilmu dalam kitab Ta’limul Mutha’lim yang telah kita sebutkan di atas. Maka sekolah, orang tua dan guru dengan biaya yang terbatas serta akses yang terbatas pula dan dalam situasi saat ini, mesti mensiasati bagaimana pembelajaran yang kita lakukan serasa pembelajaran tatap muka?
Merasakan pembelajaran daring serasa pembelajaran tatap muka, tentu dibutuhkan kelihaian dari para guru. Sekali lagi, ini jelas tidak akan selesai dengan guru seorang, dibutuhkan campur tangan setiap elemen, stake holder yang paham dengan dunia pendidikan. Karena tidak seorang pun yang tahu kapan masa pandemi ini akan berakhir.[] Wallahu ‘alam
Leave a Review