Pertemuan saya dengan Maulana Syaikh siang tadi bernatijah berupa kaedah-kaedah penting, terutama bidang tasawuf, terkhusus dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Di surau, beliau berbicara dari hati ke hati.
Menurut saya, beliau ialah salah satu ulama thariqat yang khas di kampung saya, yang patut dimintai nasehat dan petuah. Gayanya seperti orang biasa, tapi pandang bashirah, nyata terlihat.
Beliau bercerita soal pengalaman spritual, termasuk didatangi Nabi Khidir dalam suluk khalwatnya. Dan beliau juga menjelaskan posisi beliau, dalam soal-soal tasawuf, dengan kalam yang itsbat. Saya tidak syak. Mengaminkan apa yang beliau sampaikan.
Baca Juga: Air Wajah Ahli Naqsyabandi di Pedalaman Minangkabau
********
Dari apa yang beliau sampaikan saya mendapatkan kesimpulan, bahwa pengalaman-pengalaman spritual itu murni hanya untuk yang bersangkutan, yang mengalami, yang tidak selayaknya diceritakan kepada orang lain. Kenapa? Pengalaman itu atas izin Allah, entah sebagai mauhibah atau ujian semata.
Pengalaman spritual ini pun tidak bisa jadi hujjah untuk umum. Yang tetap jadi hujjah ialah apa yang tertulis dalam kitab ulama, yang ahli dalam bidang masing-masing.
Bisa jadi pengalaman ruhani itu sah buat diri kita, namun belum tentu dapat terpakai oleh orang lain. Pemberian berbeda-beda. Sebagaimana wirid berlainan warid. Maka tidak bisa dipaksakan orang lain terhadap apa yang kita alami secara ruhani itu. Sebab ia sangat subjektif.
Maka bagi saya, menyampaikan pengalaman ruhani sendiri, dalam halaqah umum, sebagai burhan, adalah hal yang tidak tepat. Dan ini tidak sesuai dengan adab Thariqat Naqsyabandiyah khalidiyah. Dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, pengalaman ruhani hanya boleh dikhabarkan pada guru, dan gurulah kemudian menafsirkan atau menakwilkan apa yang terlihat dalam kasyaf atau lainnya itu.
Pembicaraan tentang Nabi Khidir, siang tadi, hanya karena sedang bercerita dengan saya. Toh, saya tidak wah mendengar itu, dan beliau tahu soal itu. Dan kisah bersama Nabi Khidir itu, ingin menjelaskan posisi Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Nabi Khidir menyebutkan ahwal para salik Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, bukan hal yang aneh-aneh.
Dan Maulana Syaikh tegas mengatakan: “Bila beliau dicari, ndakkan pernah bersua.”
*********
Keluar surau, setelah mencium tangannya (tradisi Minang, lazim mencium tangan guru/ orang shalih, seperti kaum santri daerah-daerah lainnya), saya semakin menggenggam:
الهي انت مقصودي ورضاك مطلوبي
“Tuhanku, Engkau jualah yang aku maksud, dan ridha-Mu jualah yang aku tuju.”
Menyerah bulat-bulat kepada Allah, itulah inti Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Ringan diucapkan, sulit buat diamalkan.
(Kesimpulan-kesimpulan ini, juga saya dapatkan dari diskusi panjang dengan istri saya. Bahkan sampai saya menduga, bahwa sebenarnya dialah yang dapat gelar khalifah. Tapi tidak ada gelar khalifah, dalam Naqsyabandiyah Khalidiyah, bagi kaum hawa).
Baca Juga: Pesantren dan Tarekat
Cerita pengalaman spiritual penulis menarik, tapi setelah saya membaca, timbul pertnyaan,,,
Saya ingin tau siapa Maulana Syeikh yg penulis maksud, dimana tempatnya??,,,