Salah satu alasan dari sekian banyaknya alasan kenapa seorang muslim dianjurkan untuk menjadi Penghafal al-Qur’an (Hafiz al-Qur’an) adalah agar al-Qur’an terjaga dari kekeliruan-kekeliruan, baik yang disengaja maupun kealpaan. Memang, al-Qur’an sudah mendapat garansi penjagaan dari Allah Swt. seperti yang termaktub dalam Q.S. al-Hijr: 9, namun bukan berarti manusia sebagai pemegang dan peyakinnya bisa lepas tangan dari kerja-kerja penjagaannya. Bahkan, di negara ini sampai dibentuk sebuah lembaga resmi negara yang bertugas mengawasi keorisinalan teks al-Qur’an. Begitu pentingnya menjaga al-Qur’an dari berbagai kekeliruan.
Sebagai umat yang tidak pernah ikut duduk bersila dengan Nabi Muhammad Saw. saat mengajarkan al-Qur’an dahulu, hari ini kita mendapati al-Qur’an dalam bentuk teks berbahasa Arab dalam lembaran-lembaran kertas yang diapit dua sampul tebal, atau di balik layar kaca elektronik. Keduanya lazim disebut mushaf. Meski satu kesatuan, al-Qur’an dan mushaf adalah dua hal yang bisa dibedakan. al-Qur’an ciptaan Allah Swt., sedangkan mushaf adalah ciptaan tangan manusia. Al-Qur’an murni dari berbagai kesalahan, sedangkan mushaf mungkin saja salah.
Seiring dengan berlalunya waktu, percetakan mushaf semakin luber di mana-mana. Berbagai macam model dan gaya mushaf telah dicetak demi semakin memudahkan umat muslim berinteraksi dengan kitab sucinya. Menyikapi hal itu, Lembaga Pentashih al-Qur’an telah hadir mengawasi setiap cetakan mushaf yang diterbitkan, sehingga kekeliruan-kekeliruan pada teks al-Qur’an dalam mushaf pun nyaris hilang. Sayangnya, lembaga tersebut hanya bekerja untuk teks-teks al-Qur’an dalam mushaf yang dicetak resmi. Oleh karena itu, kehadiran para hafiz Qur’an masih dibutuhkan untuk menjadi penjaga teks al-Qur’an dari kealpaan manusia di luar mushaf. Teks al-Qur’an yang ada pada kitab-kitab tafsir misalnya.
Hafiz Qur’an yang dimaksud di sini berbeda dengan penghafal Qur’an yang banyak dipersepsikan mayoritas umat hari ini. Hafiz yang dimaksud di sini bukanlah penghafal teks al-Qur’an dari awal hingga akhir saja. Bukan juga orang yang tahu sampai ke posisi-posisi kalimat dan nomor-nomor ayat, bukan juga orang yang mampu melantunkan suara teks al-Qur’an dari awal hingga akhir tanpa salah satu pun. Namun Hafiz Qur’an yang dimaksud di sini adalah orang yang mampu menjaga al-Qur’an dari berbagai kekeliruan yang ada. Entah itu kekeliruan bunyi suara, penulisan teks, sampai keakuratan ragam qiraat yang digunakan. Tentunya hal ini bermuara kepada pemahaman makna dan kandungan yang tepat yang menjadi tujuan utama al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat muslim.
Untuk menjadi hafiz yang dimaksud, terlalu banyak disiplin ilmu yang disangsikannya. Tak cukup hanya dengan kemampuan mengingat teksnya, atau bunyinya saja. Ilmu gramatika Bahasa Arab (Nahu-Sharaf), Ilmu Tajwid, Ilmu Qiraat, Ulumul Qur’an, Pemahaman Makna -untuk menyebutkan beberapa—adalah ilmu yang harus dimiliki seorang Hafiz Qur’an. Kenapa? Karena semua disiplin ilmu tersebut menjadi wajib ada ketika berinteraksi dengan teks al-Qur’an di luar mushaf yang masih butuh penjagaan dan antisipasi dari kekeliruan. Misalnya dalam kitab tafsir.
Sebagai contoh, dalam satu kitab Tafsir al-Jalalain cetakan salah satu penerbit dalam negeri yang jamak dibaca para santri di negeri ini, saya menemukan banyak sekali kekeliruan dalam penulisan ayat al-Qur’an. Awalnya saya hanya melihat ini sebagai inkonsistensi qiraat yang digunakan untuk memberi pelajaran kepada pembaca agar juga menguasai ilmu Qiraat, sebagaimana yang telah dijelaskan penulisnya di muqaddimah kitab. Setelah membaca lebih lanjut, saya menemukan semakin banyak kekeliruan yang bukan lagi varian qiraat tapi memang kealpaan. Seperti salah penulisan harkat, penambahan huruf, pengurangan huruf, bahkan juga ada kalimat yang hilang.
Di bawah ini saya lampirkan foto teks Al-Qur’an yang ditulis keliru oleh penerbitnya. Ada kekeliruan yang menurut saya akan sulit diketahui oleh orang yang hanya hafal saja tanpa paham ilmu gramatika Bahasa Arab. Pada foto pertama, kalimat Lil malaaikati-sjuduu ditulis tanpa alif (hamzah washal). Secara bunyi lafaz memang tidak akan mengubah apapun. Kekeliruan dalam hilangnya hamzah washal ini hanya akan diketahui oleh orang yang paham bahwa kata usjuduu adalah fi’il amar dari fi’il mujarrad yang harus pakai hamzah washal di awalnya.
Adapun foto-foto berikutnya adalah beberapa contoh kekeliruan dalam menulis harkat kalimat yang tentu saja akan dengan mudah terdeteksi oleh orang-orang yang hafal bunyi lafaz teks, karena kekeliruannya serta-merta mengubah bunyi teks. Namun, tidak semua kekeliruan bunyi lafaz teks dalam kitab ini bisa dianggap salah, terkadang hal itu disengaja untuk menampakkan keragaman qiraat al-Qur’an (lihat foto terakhir). Tak lain tujuannya adalah agar pembaca kitab ini juga tidak melupakan ilmu Qiraat yang juga harus dimiliki setiap pembelajar al-Qur’an. Sayangnya, untuk menguasai Ilmu Qiraat ini, juga dibutuhkan segudang ilmu pendukung lagi.
Di beberapa kitab lain hal ini juga sering terjadi, tapi karena ini teks al-Qur’an, sesuatu yang di mata mayoritas umat adalah kitab suci dan pasti benar, maka kekeliruan-kekeliruan dalam penulisan menjadi sulit untuk dimaafkan.
Dari beberapa contoh kasus di atas dapat dipahami bahwa proses penjagaan teks al-Qur’an di luar mushaf ini memang membutuhkan peran para Hafiz Qur’an. Namun Hafiz yang dibutuhkan adalah Hafiz yang menguasai teks-teks Al-Qur’an lengkap dengan ilmu-ilmu seputar al-Qur’an sebagaimana di atas. Bukan yang hanya hafal teksnya saja. Orang yang hafal teksnya saja belum tentu menguasai ilmu-ilmu seputar al-Qur’an, bahkan belum tentu paham dengan isi kandungan al-Qur’an. Agaknya hari ini sebagian kecil kita ada yang terlalu terobsesi dengan penghafal al-Qur’an sehingga setiap penghafal al-Qur’an otomatis dianggap alim dan mampu menyelesaikan seluruh problem beragama. Padahal, dia belum tentu Hafiz, alih-alih menjaga al-Qur’an dari berbagai kekeliruan dan kesalahan. Apapun bentuknya, di manapun adanya, al-Qur’an tetap harus murni dan luput dari kesalahan sekecil apapun.
Leave a Review