Beberapa hari yang lalu saya mengikuti seminar Balai Peletarian Nilai Budaya, Padang. Salah satu topik yang menarik ialah tentang surau suluk dan pengobatan tradisional. Kajian ini tentu menjadi fokus bagi saya, bukan hanya karena secara akademik saya banyak melakukan studi tentang beberapa surau di Sumatera Barat, lebih dari itu saya tumbuh dan besar dalam lingkungan surau itu. Pengetahuan yang saya peroleh tentang surau bukan hanya pada literatur saja, namun karena pergaulan yang begitu rapat dengan tuanku-tuanku di surau, khususnya Limapuluh Kota.
Surau dan pengobatan, tema yang menjadi pembuka diskusi pada seminar itu. Perlu ditekankan bahwa pengobatan yang dimaksud ialah berdasarkan doa-doa berupa ayat al-Qur’an dan hadis yang disusun sedemikian rupa oleh orang-orang saleh di masa silam. Secara konten, doa-doa itu dapat dikategorikan ruqyah, meskipun orang-orang surau (sebutan yang saya sematkan kepada para syekh dan tuanku beserta anaksiak) tidak menamainya dengan ruqyah. Mereka lebih suka menyebut dengan bahasa daerah, yaitu “monto” yang bermakna doa. Selain doa, obat-obatan yang dipakai ialah berasa dari alam, berupa tumbuhan-tumbuhan yang biasa dijadikan herbal.
Pengetahuan pengobatan di surau itu diturunkan dari generasi ke generasi. Kader ahli pengobatan di surau tidak bisa dipatok berdasarkan intelensianya, seperti dalam pengobatan modern. Keberhasilan seorang anaksiak dalam meramu obat dan menjadi ahli pengobatan itu ditentukan oleh kesalehan dan ketaatannya dalam agama. Ini yang membedakan dengan pengobatan modern yang memerlukan sekolah tinggi dan sertifikasi dari lembaga berwenang. Pengobatan di surau, sertifikasinya lebih ditentukan oleh masyarakat; pengakuan dari masyarakat, tentunya setelah diberi “kata pemutus” oleh gurunya, tuanku atau syekh.
Baca Juga: Surau Datuak Kapuak
Baca Juga: Kebersihan Hati: Sebuah Kajian Tasawuf
Apakah pengobatan dan kemampuan mengobati adalah komoditi dari orang surau? Atau apakah pengobatan adalah profesionalitas untuk mendapatkan harta kekayaan bagi orang surau? Tentu tidak, meskipun ada oknum-oknum yang “memperjual-belikan” kemampuan mengobati untuk mengejar dunia dan segala isinya. Apa yang saya dapati di lapangan, setelah persentuhan intens dengan buya-buya di surau, di berbagai daerah, bahwa pengobatan bagi orang-orang surau bertujuan untuk menolong, bahkan itu dijadikan cara dakwah untuk membawa orang untuk ke surau (untuk taat beribadah). Mereka tidak mementingkan ada pasien atau tidak, karena kehidupan mereka sudah ditopang oleh hasil bertani dan berternak, begitu juga sedekah “tak diundang” yang bisa mengantar mereka ke Makkah. Saya lihat beberapa tuanku itu menolak untuk dibayar. Dan kalau pun mereka menerima, itu hanya sebatas sedekah; tidak ada istilah mahar atau patokan harga.
Kenapa berobat ke surau? Karena surau adalah tempat pulang. Banyak orang yang saya lihat, dari berbagai kalangan, setelah jenuh ke mana-mana tempat, mereka pulang ke surau. Di sana pintu selalu terbuka lebar; tidak ada masalah yang akan menemui jalan buntu, dan tidak ada pula penyakit yang tidak dapat diobati, selama iman dan ma’rifat masih ada.[]
26 Desember 2017
Leave a Review